webnovel

Impian Akemi

(POV Akemi)

Apa sih mimpi itu? Apa semua orang harus mempunyai mimpi? Apa hidup biasa-biasa saja tidak boleh? Apakah berjalan dan mengalir bersama waktu itu salah? Hmm...

Aku yang dijuluki teman-teman si cewek alien tidak bisa menjawab pertanyaan mudah itu. Kalau pertanyaannya mudah kenapa tidak bisa dijawab? Hmm...

Malam tadi, ibuku menelpon. Setiap seminggu sekali, ibuku memang selalu menelpon. Tentu saja, karena dia kangen. Ibuku yang dari Osaka jarang mampir ke Tokyo. Jadi, kami berdua melepas kangen lewat obrolan asik di telpon.

"Halo."

"Akemi sayang. Ibu kangen. Kabarmu gimana? Sudah punya pacar belum?" tanya ibu di telpon.

"Aku juga kangen. Tadi sore aku main tenis sama Sera, aku sehat jasmani dan rohani Bu. Pacar? Makhluk apa itu?" tanyaku.

"Ih... pura-pura gak tau. Dasar Akemi si cewek jomblo forever. Hahaha," Ibuku tertawa.

"Heee... gak forever juga bu." Aku protes.

"Iya, iya... ibu cuman bercanda." Ibuku masih tertawa.

Malam itu, kami terlarut dalam obrolan yang menyenangkan. Kami menceritakan tentang keseharian kami selama berada di tempat masing-masing. Aku memang sangat dekat dengan ibu, jadi sangat asik ketika telponan.

Tiba-tiba, ibuku menanyakanku tentang mimpi dan cita-citaku.

"Akemi sayang. Sejak kamu kecil ibu penasaran, mimpi dan cita-citamu itu apa, sih?"

Aku berpikir sejenak, "Aku tidak tahu bu, Hehehe," jawabku yang dilanjutkan dengan tertawa bodoh.

"Hee... harus tahu dong. Kalau gak punya mimpi, hidup kamu gak akan terarah loh. Bisa nyasar, atau ketabrak tukang becak."

Aku terdiam cukup lama, tidak menjawab pertanyaan ibu.

"Kamu sudah ngantuk? Ya sudah, ibu tutup saja telponnya, ya. Kamu punya tugas! Kamu harus cari tahu apa mimpimu. Nanti ibu telpon lagi. Selamat malam sayang." Ibuku menutup telponnya.

Aku belum sempat mengucapkan selamat malam pada ibu. Aku langsung mengiriminya pesan singkat. Kemudian, aku tidur.

***

Aku masih bingung menjawab pertanyaan dari Ibuku. Aku memang ikut ekskul Astronomi, tapi itu sebatas kelaparanku pada ilmu pengetahuan saja. Aku tidak berniat menjadi astronot ataupun pakar antariksa.

Jadi guru? Hmm... Aku memang suka belajar, tapi aku kurang pandai dalam mengajari orang lain. Sepertinya aku kurang cocok.

Duh... aku sangat bingung. Kalau dipikirkan sendiri rasanya mustahil. Aku harus tanya teman-temanku tentang mimpi mereka.

Aku berjalan mendekati tempat duduk Kensel dan Rock.

"Kensel. Apa kamu punya mimpi?" tanyaku.

"Mimpi? Tentu saja! Aku ingin bermain di Liga Inggris." Kensel menjawab dengan penuh percaya diri.

Kemudian aku menoleh ke Rock.

"Kalau kamu, Rock?" tanyaku.

"Mimpiku tidak tinggi-tinggi. Aku hanya ingin meneruskan usaha toko manisan milik keluargaku saja," ucap Rock, meyakinkan.

Kensel menoleh. "Hee... jadi cita-citamu itu bukan jadi pemain Smack Down, ya?"

"Itu cita-citaku yang nomor tiga."

"Nomor duanya apa?"

"Mempunyai toko boneka. Aku suka hal yang imut-imut, sama seperti wajahku. Hehehe." Rock tersipu.

Kensel memandangku. "Akemi, apa kau punya kantung keresek? Rasanya aku mau muntah."

"Woy!"

Aku hanya tertawa mendengar ocehan mereka. Mereka berdua memang akrab.

Kalau dipikir-pikir, rasanya mimpinya Kensel terlalu tinggi. Menjadi pemain sepak bola professional itu sangatlah sulit. Apalagi sampai bermain di Liga Inggris. Tapi, aku tahu, Kensel itu pemain sepak bola yang hebat. Aku yakin, dia bisa mewujudkannya dengan cepat.

Kalau Rock, aku sedikit ragu. Wajahnya yang menyeramkan rasanya kurang pas untuk menjaga toko manisan. Pelanggan yang melihat wajah Rock pasti akan langsung kabur. Sepertinya, di masa depan Rock akan menjadi pemain Smack Down.

Setelah itu, aku juga bertanya pada Lullin.

"Mimpiku? Aku... ingin jadi seorang istri," ucap Lullin malu-malu.

Entah kenapa, aku jadi senyum-senyum sendiri mendengarnya.

Setelah bertanya pada Lullin, aku bertanya pada Hoshi tentang mimpinya.

"Hoshi. Cita-citamu ingin jadi apa?" tanyaku.

Hoshi memandangku serius. Hoshi yang biasanya suka bercanda, kali ini menatapku serius. Ia berdiri dan mendorongku sampai ke tembok.

"U-uwaah... inikah yang namanya Kabedon?" pikirku

Hoshi membuka mulutnya. "A-aku... A-aku... A-aku..." Hoshi gelagapan, sementara aku masih tersender di tembok tanpa ekspresi. "Aku MALU!!!" Hoshi tetiba berlari keluar kelas.

Aaaah, sayang sekali Hoshi. Padahal kau sudah bertindak keren. Seandainya kau menembakku hari ini, aku pasti akan tetap menolakmu.

Kemudian aku bertanya pada Roman.

"Roman apa kau punya mimpi?" tanyaku.

"Mimpi? Aku ingin jadi PNS. Cukup itu saja," jawab Roman dengan gaya percaya diri khasnya.

"Keren!" pujiku.

"Benarkah?"

"Ya!"

Roman kemudian tersenyum.

Sungguh, senyuman Roman begitu memikat hati. Perempuan mana pun pasti akan luluh jika melihat senyumnya hari ini. Seandainya Roman menembakku, aku pasti akan menolaknya dengan halus.

Setelah bertanya pada Roman, rasanya kurang pas kalau tidak bertanya pada Sera.

"Sera, mimpimu apa?"

"Mimpiku? Aku ingin membangun perpustakaan paling besar di dunia. Aku ingin membuat semua orang betah di perpustakaan, dan gemar membaca buku. Aku ingin menyebarkan virus kutu buku milikku ini. Hahahaha." Sera tertawa jahat, tapi maksudnya baik.

Yah, kehidupan Sera memang tidak terlepas dari buku. Buku adalah identitas Sera.

***

Lev ingin menjadi pemain band terkenal, Nana ingin menjadi perancang baju professional, Shino ingin jadi... rahasia. Yah, semua anak di sini memiliki mimpinya masing-masing, termasuk Shuu. Meski terlihat madesu, Shuu bilang dia ingin menjadi pebisnis professional.

Aku yakin, mimpi Jui-sensei adalah menjadi seorang guru. Dia selalu bersemangat ketika mengajar di kelas.

Oh, iya. Ada satu anak lagi yang belum aku tanya.

"Gen hari Senin. Mimpimu apa?"

"Sebenarnya mimpiku sudah terwujud. Mimpiku adalah bisa sekolah di SMA Subarashii," ucap Gen, malu-malu.

"Oh, begitu. Selamat!" ucapku.

"Tapi, karena mimpiku sudah terwujud. Sekarang aku mempunyai mimpi yang baru."

"Apa mimpimu yang baru?"

"Aku ingin lulus dari sini dengan nilai yang baik," jawabnya.

"Hah? Itu saja?" Aku mengerutkan kening.

"Jujur, aku tidak tahu mimpiku apa. Tapi, rasanya hampa bila hidup tidak ada tujuan. Makanya, untuk sementara ini, aku menetapkan lulus dengan nilai bagus sebagai mimpiku. Selama mengejar mimpiku ini, aku akan mencari mimpiku yang sebenarnya."

Gen tersenyum, dia ternyata cukup tampan. Sayang, dia sudah punya pacar. Kalau belum, aku pasti akan mengenalkannya pada teman di kampungku.

Ahh, rasanya kata-kata Gen sangat menggambarkan diriku saat ini. Aku bersyukur bertanya pada Gen. Aku mendapatkan pencerahan.

"Mimpimu apa Akemi? Kamu kan pintar, aku yakin mimpimu pasti tinggi. Benar, 'kan?"

"R-a-h-a-s-i-a," jawabku.

***

Malamnya, aku menelpon ibu. Aku ingin memberitahu ibu tentang mimpi dan cita-citaku.

"Halo."

"Ibuuuu. Aku sudah tahu mimpiku!"

"Apa mimpimu Akemi?" tanya ibu.

Aku mengambil napas sejenak.

"Aku ingin membahagiakan Ibu dan juga almarhum Ayah," ucapku.

Siguiente capítulo