webnovel

Gedruwo

"Sekarang percaya kan pa? Kalau mereka itu memang ada?" Tanyaku saat memasuki lift.

"Siapa? Mereka siapa? Cuma suara daun kering yang tertiup angin." Jawabannya benar benar membuatku gemas. Aku tak merasakan ada angin yang berhembus di koridor bawah tadi, daun kering memang berserakan disana, tapi gak ada angin.

"Masih belum percaya? Sungguh?" Suamiku tak menjawab, hanya mempercepat langkah kakinya saat kami sampai di lantai 15.

"Kita istirahat saja, rasanya papa meriang, Mual gak jelas. Bisa minta tolong pesankan teh ma?" Sesampainya di kamar, ku ambil gagang telp dan ku tekan nomor resto hotel, ku pesan teh panas plus beberapa camilan.

"Ya sudah, papa istirahat aja. Mumpung si kecil masih tidur, mama mau cari angin dulu di depan." Jawabku membuka pintu balkon. Ku sandarkan tubuh pada pagar balkon, menatap luas laut samudera yang terhampar indah di depan mata.

Si kecil masih tertidur pulas, aku merasa bahwa rewelnya si kecil adalah alarm akan hal hal aneh yang akan terjadi pada kami.

"Tok tok tok..!! " Ku dengar ada suara ketukan dari pintu kamar.

"Ya.." jawabku dengan membuka pintu.

"Saya mengantar teh dan beberapa makanan Bu, permisi." Ucapnya pelayan dengan sopan.

"Oh iya, silahkan." Ku buka pintu lebar dan ku persilahkan masuk.

Selang beberapa detik setelah menaruh pesananku di meja, dia pamit pergi. Dan tak lupa ku sisipkan uang tip padanya. Semua aman, ga ada yang janggal, semua baik baik saja.

"tok.. tok.. tok.." pintuku kembali di ketuknya.

"ya.." mungkin ada yang tertinggal batinku.

"permisi bu, saya antar pesanan ibu." Seorang pelayan ada di hadapanku dengan membawa baki makanan di atas tangannya.

"loh mas, pesanan saya sudah dikirm." Jawabku sambil menunjukkan makanan di atas meja. Pelayan itu tersenyum dan menyeringai padaku. Wajahnya meleleh dan berlubang.

"astagfirullahal adzim" teriakku terbangun dari tidur.

"alhamdulillah hanya mimpi" desahku, engga kebayang jika benar benar berhadapan langsung, menatap matanya dan yang paling aku ingat, deretan gigi lancip dan nyaring suaranya saat tertawa. Tapi anehnya, dalam mimpi wujudnya laki-laki namun mengapa suara tawanya berubah jadi wanita.

"ma.." ucap suamiku sambil menyodorkan segelas air minum ketika dia tau aku bermimpi.

"jam berapa pa ?" tanyaku mengusap peluh dan mengambil segelas air putih pemberiannya.

"masih jam 20.00 malam, mama mimpi buruk lagi ?" tanyanya sambil duduk di pinggir Kasur.

"iya, selama liburan mimpiku ga ada bagus bagusnya pa. Ternyata lama juga ya mama tidur, seingat mama tadi jam 14.15 mama masih membukakan pintu untuk pelayan hotel." Ku taruh gelas di atas meja, kulihat si kecil gelisah. Aku cek popoknya dan mengganti dengan yang baru saat aku tau pampersnya penuh.

"papa juga ketiduran setelah minum teh panas dan antangin tadi siang." Jawabnya tersenyum dengan memainkan jari si kecil.

"papa ngerasa ada yang aneh engga sih sama hotel ini ?" aku masih terbayang bayang makhluk dalam mimpi dan bergidik ngeri jika yang ada di dalam kamar ini adalah makhluk tersebut.

"engga, biasa aja. Bangunannya memang kusam dan interiornya juga antic. Semua hotel memang memiliki ciri khas tersendiri kan?' jawabnya sambil merebahkan diri di samping si kecil.

Entah mengapa aku semakin gemas dengan suamiku. Orang kok engga ada peka pekanya. Apa sebenarnya peka tapi sengaja bilang engga ngerasa biar aku gak semakin parno dengan hotel ini.

Aku buka gawaiku, liburan kala itu membuatku melupakan gawaiku, chat dari beberapa teman pun tak aku buka, tak aku balas. Beberapa miscall pun terabaikan. Entahlah, aku benar benar engga fokus. Hanya merasakan lelah dan lelah.

"Sar.. sehat nduk ? Ibu mimpi engga enak tentang mas mu." Kulihat ada SMS dari ibu mertuaku. SMS di kirim kemaren malam dan baru aku buka.

"Assalamualaikum." Ucapku setelah mencari kontak ibu mertua, jika aku balas SMS nya, pasti lama lagi membalasnya. Jadilah aku telpon saja.

"Waalaikumsalam nduk, kemana saja. Ibuk nunggu balasan kalian, kenapa bisa kompak gitu kalian berdua. Ibuk juga kirim SMS ke masmu, awi sehat toh ? Amira bagaimana?" Suara khawatir ibuk dari seberang handphone membuatku semakin merindukan beliau.

Meskipun beliau ibu mertuaku, tapi perlakuannya padaku tak jauh beda dengan ibu kandungku. Bisa di bilang aku beruntung memiliki dua ibu yang sama sama menyayangiku.

"Alhamdulillah buk, sehat. Kita semua sehat disini. Ibuk mimpi apa tentang mas?" Tanyaku khawatir.

"Ibuk mimpi, mas mu minta tolong sama ibuk, sambil nangis gitu. Masmu sehat kan nduk? Kenapa hapenya gak bisa di telpon?"

Ku perhatikan suamiku yang masih tertidur lelap di samping si kecil, ku pegang badannya. Kurasakan panas pada tubuhnya, dia menggigil kedinginan.

"Bukankah barusan baik baik saja." Tanyaku dalam hati.

"Mas nggak apa apa buk, mas sehat. Orangnya masih tidur, habis main voly di pantai seharian." Maaf buk, aku berbohong. Aku hanya engga ingin ibuk semakin khawatir.

"Ya wes kalau emang sehat, Alhamdulillah. Ya udah ibuk tutup dulu, jaga diri kalian baik baik. Sun sayang untuk cucu ibuk." Lanjut ibu dan mematikan handphone nya.

"Mas...mas.. ya Allah kenapa bisa demam gini, kamu gak apa apa mas ?" Setelah ku matikan handphone ku, aku cek lagi keadaan suamiku. Benar, dia panas dan lebih tepatnya demam. Ku cari obat penurun panas yang sengaja aku bawa dari rumah, ku ambilkan air dan ku minukan padanya. Ku ambil handuk kecil dan ku siram dengan air dingin dari shower lalu ku kompreskan pada suamiku.

"Ya Allah, sembuhkanlah suamiku." Doaku dalam hati. Panik.. jelas panik, yang tadinya suamiku baik baik saja tiba tiba demam.

"Pergi.. pergi.. pergi kamu!!" Teriak suamiku dengan mata yang masih tertutup.

"Pa...pa.. bangun.. papa.." ku guncang guncangkan badannya, terasa suhu badannya tak sepanas tadi.

"Mimpi apa ?" Tanya ku saat dia mulai membuka matanya. Matanya merah dan ada guratan ketakutan di sana.

"Aku mimpi.." ucapannya terputus saat ku sodorkan air minum dan dia habiskan langsung dalam waktu yang sekejap.

"Aku mimpi, ada sosok hitam bertubuh besar mendekatimu dan si kecil, tubuhnya besar tinggi dan berbulu. Matanya hanya ada satu di tengah dan dia hendak membawamu pergi."

Baru kali ini aku melihat suamiku ketakutan, bukan takut pada makhluk tersebut, tapi takut kehilangan kami berdua.

"Tadi itu aku teriak. Pergi.. pergi.." niatku mengusirnya. Tapi dia engga pergi, malah semakin mendekati kalian." Bulu kudukku berdiri seketika. Aku melihat ada bayangan dari balik tirai balkon. Ku edarkan pandangan, ku cari cari handphone. Dan ku lihat jam menunjukkan pukul 21.45.

"Ibu tadi telp pa, menanyakan keadaanmu. Aku bilang kita semua baik baik saja, aku gak bilang kalau kita di teror oleh mereka."

Suamiku terdiam, tak ada sepatah kata pun yang dia ucapkan. Hanya tarikan dan hembusan nafas yang aku dengar keluar darinya.

"Maaf ma, maafkan papa. Bukan papa gak percaya dengan yang mama sebut mereka. Hanya saja papa gak ingin mama lebih ketakutan. Jujur saja, papa juga engga nyaman. Sabar ya ma, tinggal malam ini saja. Besok kita sudah pulang." Ucapnya sambil memelukku.

Aku ternganga, ah suamiku.. mengapa harus berbohong demi kebaikanku.

"Besok kita pamit lebih awal yuk pa, mama mau ajak papa ke tempat om dan Tante. Rumahnya Gak jauh dari sini kata tante."

Malam itu, kita tidur bertiga dalam satu tempat tidur. Saling menjaga, saling bedoa. Melepaskan beban beban yang ada di fikiran. Berharap hari esok segera menjelang.

~~~~~~

"Selamat pagi" ucapku saat melihat Adel di lorong hotel.

"Eh..Pagi mbak sari. Apa kabar hari ini?" Jawabnya ceria.

"Hemm kabar baik, kabar baiknya lagi hari ini kita pulang." Jawabku sambil tertawa . Aku benar benar bahagia akan meninggalkan hotel ini. Hahhaha .. padahal tiga hari yang lalu, aku orang yang paling bahagia akan liburan tahun ini.

"Kopi mbak?" Ku tawarkan kopi padanya saat sampai resto tempat kami sarapan.

"Hemmm.. maaf mbak, aku gak ngopi." Ucapnya menolak.

"Lho.. bukannya kemaren kita ngobrol waktu sarapan, kan mbak Adel minum kopi tuh, kok sekarang bilang engga ngopi?" Aku rasa dia bergurau. Padahal kemaren dia minum kopi bersamaku pagi itu.

"Ah mbak, aku kemaren di kamar aja engga enak badan. Aku demam, tanya mas Bram kalau engga percaya." Jelasnya sambil menunjuk suami nya yang masih sibuk mengambil teh di tangan kanan dan nasi goreng di tangan kiri.

"Jangan bercanda mbak, jelas jelas kemaren mbak Adel ngopi loh sama aku. Disini.. Di kursi ini dan mbak Adel juga lihat Noni Belanda lewat tembok situ." Ku tunjukkan tempat di mana Noni Belanda kemaren di tunjuknya. Mendadak ada bayangan wanita tepat di depan tembok yang aku tunjuk. Dia menatapku dan tersenyum lebar.

"Mas, kata mbak sari kemaren aku ngobrol sama dia di sini. Kan aku kemaren seharian engga keluar kamar kan mas ?" Adel mencari dukungan pada suaminya, dalam nada yang dia katakan seakan-akan dia tidak sedang bercanda atau pun berbohong.

" Iya mbak, Adel kemaren di kamar saja sama aku. Dia meriang, niat mau jalan jalan malah sakit. Kita cuma pindah tidur aja dari Surabaya ke Anyer hahahha." Di letakkan nya teh dan beberapa obat di depan Adel dan Adel pun meminumnya.

"Mungkin mbak salah lihat kali, aku gak kemana mana mbak. Aku tidur di kamar." Sekali lagi Adel menegaskan jika dia tidak berbohong.

"Ya Tuhan apalagi ini." jeritku dalam hati. Aku bangkit dari tempat duduk ku dan berlari keluar resto lalu masuk ke dalam lift. Rasa laparku mendadak hilang. Aku lupa, meninggalkan anak dan suami yang masih di resto.

"Pa.. kita packing sekarang !! Mama sudah di kamar." Tegasku, saat ku telpon suami yang masih sarapan di resto. Rasanya aku ingin sekali pergi secepatnya dari tempat ini.

"Iya.. sebentar papa baru naik, kenapa kok buru buru ma ? Katanya mau ke rumah Tante."

"Gak apa apa pa, kita ke rumah Tante pagi ini ya. Kan pesawat masih nanti sore, nanti kita nyusul aja ke bandaranya ga usah ikut rombongan."

"Iya, bentar ya. Tunggu di kamar. Jangan packing sendiri, kopernya berat ma." Sambung suamiku dari sebrang handphone.

Ku letak kan koper yang telah aku angkat, aku biar kan begitu saja di depan pintu kamar mandi.

"Mbak, mbak sari gak apa apa kan mbak?" Ku baca BBM dari Adela. Aku masih merasa ngeri, takut dan entahlah, susah di bayangkan dengan kejadian kemaren pagi bersamanya dan noni Belanda tersebut.

Jika yang ngobrol banyak denganku bukan Adela, Lalu siapa?

"2 hari lalu saat setelah acara Dinner, aku melihat seorang wanita cantik di kamarku mbak. Dia memakai gaun mewah bertopi seperti Noni Belanda yang mbak ceritakan tadi. Dia menghadap ke jendela kamar, memunggungiku." Lanjut Adela saat tak ku balas BBM nya namun dia tau sudah aku baca.

"Dia tidak memperlihatkan wajahnya, dia hanya bersenandung. Aku engga tau itu lagu apa yang dia nyanyikan, dan secepat kilat dia berbisik di telinga ku. "Go away" katanya sambil tertawa nyaring, bukan tawa Bahagia tapi tawa kesedihan. Aku terkejut, ketakutan lalu pandanganku gelap. Kata mas Bram aku pingsan." Aku terdiam, hanya mencermati tulisannya.

Ku baca lagi dari atas. Ku ingat ingat kejadian di resto pagi itu. Aku benar benar menatap matanya , mencari kebenaran tentang dia yang mampu melihat mereka yang tak semua orang bisa melihatnya.

"Iya mbak, aku gak apa apa. Hanya terkejut saja, karena aku jelas melihat mbak Adel pagi itu dan ngobrol denganku." Jawabku membalas chatingnya.

Lalu aku teringat sesuatu, yah.. pagi itu Adela pucat, lebih banyak diam tidak seperti Adela yang ceria. Dan matanya , ada sedikit warna hitam di bawah matanya. Aku lupa ingin menanyakan tentang kantong mata yang menghitam tersebut. Namun aku lupa karena mata ku teralihkan oleh Noni Belanda yang mendadak muncul di antara pelayan.

"Sepertinya kita harus segera pergi mbak, penunggu hotel ini tidak suka dengan kehadiran kita." Balas Adel lagi.

"Iya, ini aku mau cek out duluan mbak, mau ke rumah Tante. Kebetulan ada saudara dari ayah yang tinggal di dekat sini." Jawabku mengakhiri percakapan dan membukakan pintu saat ku dengar pintu tersebut di ketuk.

"Sudah packing ma ?" Tanya suami sambil menggendong si kecil.

"Lha kata papa tadi ga boleh packing sendiri, gimana toh kok malah tanya?" Aku mendadak takut, takut jika suara di seberang handphone ku tadi bukan suamiku.

"Hehehe iya, papa cuma tanya, kan mama bandel orangnya. Kalau di larang malah dilakukan. Ayuk sini kita kemasi barang barang kita." Ucapnya sambil merebahkan si kecil ke tempat tidur.

"Alhamdulillah.." desahku dalam hati dengan mengelus dada. Hahaha.. sumpah, aku begitu ngeri jika membayangkan yang ada di balik suara handphone tadi bukanlah suamiku.

Beberapa menit kemudian, kami sudah ada di lobby hotel dan berpamit pada teman teman lewat grup BBM , kami berkata nanti sore menyusul ke bandara. Kami pun memanggil taksi untuk berangkat ke rumah Tante.

"Assalamualaikum.." ku ucapkan salam sambil mengetuk pintu rumah Tante ketika kita sampai.

"Waalaikumsalam.. subhanallah, sari toh. Kok ga bilang mau kesini, biar surprise ya." Jawab Tante senang dan memelukku.

"Waaah ini pasti mas awi dan ini Amira, Ayuk ayuk masuk. Sini kopernya Tante bantu bawakan." Kita berjalan memasuki rumah Tante Dijah. Aku melihat anak kecil yang sedang sibuk menggambar, tak menggubris kedatangan kami.

"Ini anak Tante, ngga usah kaget. Dia autis sejak lahir, anaknya baik kok. Hanya saja dia sering berteriak dan marah jika keinginan nya tidak di turuti." Tante Dijah memperkenalkan ku pada anaknya, Bagas.

Aku ingat, keluarga ku pernah cerita bahwa Tante dijah memiliki satu anak, Tante Dijah sudah menikah puluhan tahun lamanya, Allah belum juga memberikan momongan karena setelah di periksakan, Tante dijah memiliki penyakit toxso. Alhamdulillah saat karir Tante dijah berada di puncaknya, Tante di nyatakan hamil oleh dokter.

Singkat cerita aku menceritakan, dalam rangka apa aku main ke rumah Tante dijah, dan aku pun menceritakan dimana aku menginap.

"Yang bener nduk, kamu nginep di hotel itu?" Tanya Tante memberiku piring yang berisikan jajanan pasar.

"Iya te, kalau tau hotelnya berhantu gitu, sari mana mau berangkat." Jawabku mendengus kesal.

"Kamu itu ya hehehe, bukannya sudah sering bertemu mereka. Masih saja takut kalau melihatnya. Bukannya rumahmu yang sekarang juga berhantu." Ucapan Tante mengingatkan rumah kontrakan yang aku tempati saat ini. Mendadak bulu kudukku berdiri. "Hiiii.." aku bergidik.

"Ceritanya itu, sari seneng banget di ajak liburan , niat hati ingin refreshing te, sekalian melarikan diri sejenak dari usilnya penunggu rumah kontrakanku. Eh malah disini kena apes." Hahahaha.. aku ketawa geli. Teringat wujud pocong yang tiba tiba lewat tanpa permisi di depanku saat aku sibuk menyapu ruang tamu dirumah.

"Coba Ruqyah nduk, siapa tau kamu ketempelan. Kata si Mbah dulu, kalau orang ketempelan bisa lihat mereka gitu." Jelas Tante menata kue kue ke dalam kardus.

Eh iya tanteku memiliki usaha terima pesanan kue dan jajanan pasar. Kebetulan saat itu orderannya sedang rame.

"Sudah te, tetep ga bisa ilang. Engga tau Sari bisa lihat mereka sejak kapan, yang pasti yang sari ingat itu saat Sari kecil, waktu masih tinggal di rumah si Mbah. Sari melihat ada wanita berambut ular duduk di singgahsana emas dan beberapa wanita ular yg duduk di bawah nya. Waktu itu sari liatnya tengah malam saat kamar ibu ada yang ngetuk 3x." Jelasku mengingat ingat kejadian masa lampau saat aku masih SD kelas 2.

"Banyakin istighfar, berdoa,meminta perlindungan Allah ya nduk."

"Nggeh te." Jawabku tersenyum.

Hari semakin siang, kami berpamit untuk berangkat ke bandara. Ada rasa sedih saat kami berpisah, karena itu kali pertama aku berkunjung ke rumahnya.

Sesampai di bandara, teman teman sudah ada di ruang tunggu. Ku lihat Adel duduk di ujung dan melemparkan senyum padaku.

Dan pukul 19.00 kami lepas landas.

Aku tatap rumah kontrakan itu dalam diam. Seakan-akan lepas dari mulut harimau masuk ke mulut buaya. Rumah yang tak besar dengan tipe 40/90 itu selalu menjadi momok angker bagiku. Dan aku harus melewatinya selama dua tahun kedepan. Sebelum nantinya aku memutuskan untuk pindah .

Siguiente capítulo