Part sebelumnya :
Pak Abdur kemudian datang bersama dengan Dwi dan juga Tony. Ia kemudian mencoba untuk meruqiah Endy dengan lantunan ayat suci al-qur'an prosesi ruqiah ini berjalan sekitar 1 jam, hingga kemudian tubuh Endy melemas dan kembali pingsan. Pak Abdur berpesan agar Endy harus segera dipulangkan ke rumahnya. Ia berangapan kalau Endy tampaknya terlalu banyak melamun dan menyebabkan dirinya rentan dimasuki Jin. Aku segera menelepon Pak Rahman Dosen Pembimbing Lapangan kami untuk menanyakan kontak telepon keluarga Endy. Aku harap Endy dapat segera sembuh.
***
Pak Abdur kemudian diantar oleh Jawir dengan menggunakan motor operasional KKN yang dipinjamkan oleh Pak Kades tempo hari. Jawir tampak berbicara banyak dengan Pak Abdur sambil sesekali melirik ke arahku sebelum meninggalkan rumah KKN. Aku hanya tersenyum sembari melihat senyum sinis itu yang berlalu pergi. Waktu terasa cepat berlalu sudah 2 jam setelah kejadian Endy mengamuk barusan, anak-anak KKN yang lain beberapa sudah tertidur, hanya tersisa aku, Mak, Aisyah dan Putri saja di dalam kamar ini menunggui Endy yang sedang pingsan. Tak lama kemudian, Endy terbangun, matanya nanar melihat ke arah kami semua sembari terdengar suara lirih dari mulutnya, "Aku haus!" erangnya pelan.
Putri segera mengambilkan segelas air putih dan menyerahkannya kepada Endy. Endy mulai minum, tampaknya ia sangat haus kala itu. Mak kembali ke dapur dan membawakan sepiring makanan untuk Endy, tanpa banyak bertanya Endy langsung melahap habis makanan itu, tampaknya ia benar-benar kelaparan pada saat itu. Aku yang masih merasa dengan suasana yang tidak enak kemudian berangkat pergi meninggalkan mereka yang masih ada di dalam kamar KKN. Aku mengambil sebatang rokok yang ada di saku bajuku dan duduk di tepi tangga, waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam, tak lama kemudian Jawir pulang dan memarkirkan motornya di dalam rumah. Ia kemudian keluar dan ikut duduk di sebelahku.
"Haha ... banyak hal lucu yang terjadi di masa KKN-ku ini. Aneh rasanya, baru pertama kali ini aku bertemu dengan anak yang memiliki penjaga seekor Harimau, tampaknya mataku ini tidak bisa menembus hal tersebut!" racau Jawir kepadaku.
Aku hanya diam sembari mengisap dalam-dalam rokokku dan menghembuskannya dalam pekat malam. Aku kemudian mencoba menanggapi apa yang barusan dibicarakan oleh Jawir tadi, "Aku tak pernah tau, tentang apa yang kau bicarakan, semua hal itu tak lebih dari sekedar dongeng pengantar tidur dalam kehidupanku, Wir! Memang ada dongeng turun temurun yang membicarakan mengenai harimau penjaga itu di dalam keluargaku. Namun karena memang aku tidak bisa melihatnya, aku lebih mempercayai itu sebagai dongeng belaka. Lagipula aku tidak pernah mengharapkan adanya makhluk seperti itu di dekatku! Aku lebih percaya Tuhan daripada hal klenik seperti ini!" terangku kepada Jawir.
"Ya ... mau bagaimana lagi! Terlalu banyak hal ganjil yang terjadi akibat adanya penjagamu itu. Aku mendapatkan cerita singkat dari Pak Abdur yang mengakibatkan Endy kesurupan!"
"Memangnya apa itu?" tanyaku penasaran.
Jawir kemudian mulai bercerita, "Endy tampaknya memang suka melamun, tubuhnya yang lemah menarik bagi para makhluk halus yang ada di sekitar desa ini. Pak Abdur menjelaskan memang ada beberapa bagian desa ini yang boleh dibilang dianggap sebagai tempat yang tidak direkomendasikan untuk berada dekat dengan manusia, salah satu dari tempat itu adalah sebuah sumur tua yang berada sekitar 500 meter di perbatasan antara kuburan desa yang lama dengan desa. Pak Abdur menerangkan tampaknya Endy mengotori hal tersebut dengan kencing sembarangan yang menyebabkan penunggu di tempat itu marah dan merasuki tubuh Endy untuk dibawa kembali ke alam mereka yang tidak lain adalah kuburan lama tersebut."
"Pantas ... Endy tadi menunjuk ke arah kuburan lama!" ucapku membenarkan omongan Jawir.
"Pak Abdur bilang agar Endy segera dipulangkan, tampaknya tempat ini tidak cocok dengan anak itu!"
"Iya ... aku juga berpikir untuk memulangkan Endy besok, tapi sebelumnya aku perlu laporan dulu ke Dosen Pembimbing Lapangan kita!"
"Ya baguslah, aku harap tidak terjadi lagi hal yang janggal di KKN ini!"
Jawir kemudian masuk ke dalam rumah dan di susul olehku yang berniat untuk segera beristirahat. Aku tertidur pulas dan kemudian bangun di pagi buta, setelah selesai mandi. Aku mencoba membangunkan Endy untuk menyuruhnya mandi, terutama membicarakan mengenai kepulangan Endy hari ini juga.
"En ... bangun bro! Sudah siang!" ujarku sembari mengoyang-goyang tubuh Endy.
Endy menggeliat dan kemudian terbangun. Ia kemudian bertanya kepadaku, "Apa yang sebenarnya terjadi semalam, Her?" dengan raut muka penasaran.
"Kau kesurupan, bro! Tapi sudah diruqiah oleh Pak Abdur, pesannya kamu harus pulang hari ini ke rumah. Ia takut kalau kamu kerasukan lagi kalau masih di tempat ini!"
"Aku tidak bisa mengingat apa-apa! Kepalaku sakit, dan tubuhku nyeri! Kau bisa antar aku ke bis nanti siang, aku ingin pulang saja!" tutur Endy.
Aku mengangguk tanda setuju dan kemudian Endy segera mandi. Aku menelepon Pak Rahman menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Pak Rahman setuju kalau memang Endy harus dibawa pulang, mengingat keadaannya yang seperti itu. Waktu menunjukkan pukul 1 siang, Endy sudah selesai makan bersama yang lain dan kami kemudian mengantarkan Endy untuk pulang menuju bis yang memang mengarah ke rumahnya, rumah Endy berada di sebuah lereng gunung yang berada sekitar 4 jam dari tempat KKN ini. Endy kemudian pulang ke rumahnya menaiki bus tersebut dan hanya tersisa kami di tempat KKN.
Malam pun datang, Aku melihat Jawir dengan tergopoh-gopoh keluar dari sumur yang memiliki WC gelap dan ngeloyor masuk ke dalam kamar KKN. Aku melihat hal yang jangal mengenai suatu kain putih yang menyembul di antara jaket Jawir barusan, "Jangan-jangan benda itu lagi!" ujarku pelan dan kemudian meninggalkan Dwi dan juga Toni yang masih ada di ruang tamu. Aku mendapati Jawir tengah memasukkan sesuatu ke dalam tas ranselnya. Aku mencengkram tangannya dengan keras dan mencoba membuka tas tersebut.
"Kau ...! Kembalikan saja benda itu ke tempatnya, Wir!" ujarku setengah berteriak. Aku benar-benar kesal dengan tindakan Jawir ini, entah apa maunya kembali mengambil keris naga bersarung kain kafan yang kini ada di dalam tasnya.
"Apa urusanmu! Benda ini milikku!" ujar Jawir.
"Oke ... terserah apa maumu!" ucapku yang sudah malas berdebat dengan Jawir. Aku kemudian pergi dengan sebelumnya membanting pintu kamar dengan keras, anak-anak KKN yang lain berlari ke ruang tengah melihatku dengan raut muka marah. Mereka tampaknya berpikir kalau kali ini aku sedang ribut dengan Jawir.
Aku pergi meninggalkan rumah KKN dan duduk kembali di warung tempo hari, dimana sang ibu pernah menawarkan rumahnya untuk kami tempati sebagai rumah KKN. Aku duduk dan kemudian memesan secangkir es kopi dan juga mie goreng untuk mengganjal perutku yang tiba-tiba lapar, "Pesan es kopi dan mie goreng double ya, bu!"
"Siap ... dek!"
Tidak lama kemudian pesananku datang dan si ibu kemudian duduk di depanku, "Temanmu ada yang kesurupan ya semalam?" ujar si ibu.
"Iya bu! Tapi anaknya sudah sadar dan sudah pulang ke rumahnya!" terangku sembari lanjut makan mie pesananku.
"Ibu kan sudah pernah bilang, hati-hati dengan rumah itu! Rumah itu angker dan tidak beres, coba kalau waktu itu kalian menurut dan tinggal saja di rumah ibu!"
"Iya ... mau bagaimana lagi, bu! Nasi sudah menjadi bubur!" terangku kepadanya.
"Apa ada hal aneh lain lagi selain kesurupan temanmu itu?"
Aku terdiam sebentar, mencoba mencerna apa yang dibicarakan oleh ibu ini, "Ah tidak ada apa-apa, bu!" elakku.
"Tak akan terjadi hal seperti kesurupan itu! Kalau tidak ada hal yang dilanggar!" terang si ibu sembari mencoba mengorek kebenaran dari mulutku.
Aku kemudian menceritakan semuanya kepada si ibu dan ia hanya mendengarkan dan kemudian berkata, "Jadi keris dengan kain kafan itu ada dimana sekarang?" tanya si ibu kepadaku.
"Baru pagi ini diambil oleh salah satu anak KKN, bu!"
"Paling ada lagi hal ganjil yang akan terjadi. Apa kamu tau? Kalau keris berbungkus kain kafan itu adalah adat turun temurun di desa ini?"
"Tidak bu? Aku sudah berpesan agar keris itu tidak dibawa kemana-mana. Lagipula itu memang adalah benda yang ada di rumah itu!" jelasku kepadanya.
"Benar ... kalian seharusnya tidak menyentuh benda itu! Benda itu adalah sebuah hadiah yang diberikan kepada orang yang baru saja menikah dan merupakan benda yang dijadikan sebagai penunggu rumah agar tidak adanya gangguan makhluk-makhluk gaib yang ada di sekitaran desa. Lagipula rumah itu pernah menjadi tempat praktek dukun ilmu hitam. Ahh ... kalian ini ada-ada saja!" tutur sang ibu.
Aku hanya diam, tak bisa berkata apa-apa lagi.
"Ya sudah ... semoga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan!" ujar si ibu dan kemudian pergi meninggalkan aku.
#Bersambung