webnovel

Menunggu Waktu Yang Tepat

Di ruangan ini, percakapan kami tidak berlangsung lama. Go Hyunjae meletakkan bungkusan makanan dan beberapa buah segar di atas meja sebelum ia pergi karena kesibukan.

Setelah mengisi daya ponselku, aku pun segera menyalakannya dan mendapat banyak notifikasi. Ada lebih dari seribu pesan masuk termasuk grup perusahaan dan dua puluh panggilan tak terjawab. Enam panggilan tak terjawab dari nomor baru. Tiga panggilan tak terjawab dari Manajer Hye. Lima panggilan tak terjawab dari Daehyun, dan sisanya lagi adalah panggilan tak terjawab dari… Donghwa?!

Aku tidak memikirkan hal lain dan segera menelepon Donghwa.

Namun, pada panggilan pertama, ia tidak menjawab. Aku melihat jam di ponselku, melihat waktu panggilan masuknya tadi yang memang memiliki perbedaan waktu yang cukup lama sekitar tiga jam. Khawatir, aku menghela napas pelan dan menghubunginya sekali lagi.

Butuh beberapa detik untuk terhubung sebelum ia menjawab dengan nada marah. "Kenapa kau tidak menjawab teleponku, hah?! Apa menurutmu aku punya banyak waktu untuk terus meneleponmu?!"

Ia bahkan tidak menyapaku atau bertanya bagaimana kabarku tetapi berteriak padaku tanpa perasaan.

Betapa menyedihkan hubungan ini!

Aku menggigit bibir bawahku, berusaha menahan tangis. Lalu, aku mencoba menjelaskan dengan tenang, "Donghwa, maafkan aku. Aku—"

Tapi, sayangnya, sebelum aku mengatakan apa yang ingin aku jelaskan, Donghwa memotong kata-kataku.

"Lihat! Berapa banyak panggilan yang aku lakukan di ponselmu?! Kau tahu, betapa sulitnya menemukan waktu yang tepat untuk meneleponmu?! Tapi kau baru saja mengabaikan teleponku. Apa kau bercanda saat ini?!"

"Donghwa, dengar, aku tidak bermaksud mengabaikan mereka. Aku hanya ..."

Aku tidak menyerah dan mencoba menjelaskannya sekali lagi dengan menahan amarah yang membengkak di dadaku. Tapi, sepertinya ia sama sekali tidak ingin mendengar penjelasan apa pun dariku. Ia terus mengatakan hal-hal yang bertentangan dengan kenyataan yang baru saja terjadi.

Kata-katanya membuatku muak, lalu tiba-tiba aku berteriak, "Donghwa, kau brengsek! Kau tahu, aku sakit sekarang dan aku akan mati! Bisakah kau berhenti memarahiku?! Tolong!"

Setelah menyelesaikan kalimatku, aku pun segera menutup telepon yang sedang berlangsung. Mendengar setiap perkataan kasar darinya hanya akan membuatku merasa lebih sakit dari ini.

Ia kembali meneleponku beberapa kali, tetapi aku dengan sengaja mengabaikannya karena aku masih bisa merasakan kata-kata kasarnya di dadaku, seolah-olah merobek perasaan saya. Itu menyakitkan.

Tetapi, rupanya, ia tidak menyerah dan mengirimiku sebuah pesan.

"Angkat ponselmu."

Aku hanya membuka pesan dan membacanya, lalu berbaring untuk menenangkan diri. Tanpa disadari, aku tertidur dan terbangun di malam hari.

Seorang perawat masuk dengan membawa makanan dan obat-obatan. Ia tersenyum ramah. Sebelum pergi, ia berkata, "Tuan, nanti dokter akan datang untuk memeriksa kondisi Anda. Jadi, makanlah dulu, lalu minum obat."

Masih dalam posisi berbaring, aku menatap langit-langit ruangan ini dengan tatapan kosong. Tapi, tiba-tiba suara "ting" terdengar beberapa kali dalam diam.

Aku segera mengambil ponselku yang berada di sebelah kepalaku. Itu adalah beberapa pesan dari Donghwa.

"Chunghee, maafkan aku karena marah padamu sore ini. Aku tidak bermaksud memarahimu, tapi karena aku mengalami banyak hal sulit hari ini, memarahimu bukanlah niatku. Maafkan aku, oke?"

"Aku salah dan aku tahu kau marah karena aku. Tapi, tolong, aku mohon jangan mengatakan hal seperti itu lagi, ya?"

"Aku ingin berbicara denganmu sekarang. Angkat teleponmu."

Setelah membaca pesan, ia meneleponku, tetapi aku tidak ingin menjawab panggilan itu hingga akhir. Kemudian, beberapa pesan darinya pun masuk.

"Apa kau masih marah padaku? Maafkan aku. Aku sempat kesal dengan salah satu stafku, dan ternyata terbawa suasana saat kita bicara tadi. Aku mohon, maafkan aku ..."

"Chunghee, kenapa kau tidak memberitahuku bahwa kau sakit? Sejak kapan kau sakit? Apa kau sudah minum obat? Aku sangat mengkhawatirkanmu sekarang. Bukankah sudah kubilang, kan, jangan buat aku khawatir selama aku tidak bersamamu? Tolong, jaga dirimu saat aku tidak ada. Jangan membuatku khawatir lagi ... "

"Aku akan segera pulang. Sekarang, istirahatlah. Aku mencintaimu. Selamat malam."

Aku tersenyum pahit. Ada perasaan senang, tapi rasa sakit di dadaku menusuk tulang, jadi aku tidak merasakan kenikmatan lagi dan menangis dalam hati.

Namun, di tengah kesedihanku, suara ketukan di pintu mengejutkanku. Aku segera menyeka air mataku dan menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhku di dalamnya.

"Chunghee, apa kau baik-baik saja?"

Daehyun masuk dengan nada khawatir dalam suaranya. Aku tersenyum lemah, dan bertanya, "Siapa yang memberitahumu bahwa aku ada di sini?"

Berdiri di sampingku, ia menggenggam tanganku dan menjawab dengan suara rendah, "Go Hyunjae."

Aku perlahan bangkit dari posisiku, dan Daehyun membantuku dengan menahan punggungku.

"Chunghee, lebih baik kau melakukan apa yang disarankan dokter padamu. Apa kau tidak ingin segera sembuh?"

Aku diam-diam menatapnya. Mendengar pertanyaan itu membuatku ingin menertawakan kata-katanya tapi aku tidak bisa. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang ingin terus-menerus sakit. Aku ingin segera sembuh, tetapi ada sesuatu di dalam diriku yang meragukan hal ini.

"Kau sangat keras kepala."

Aku tersenyum sambil melepaskan tangannya dengan hati-hati, dan berbicara dengan lemah, "Daehyun, aku takut. Aku belum siap untuk itu. Aku perlu lebih banyak waktu untuk memikirkannya lagi."

"Sampai kapan? Menurutmu apa yang kau rasakan hanyalah demam biasa? Chunghee, jangan tunggu sampai semuanya ... tidak ... aku tidak ingin hal itu terjadi padamu."

Aku benar-benar tidak tahu apa yang aku tunggu. Waktu yang tepat? Akupikir keras kepala hanya akan membuatnya terlambat. Meskipun aku mengetahuinya dengan jelas, rasa sakit ini membuatku ingin menghukum diri sendiri dengan melakukan hal ini. Lagipula, aku juga meragukan bahwa "waktu yang tepat" benar-benar ada dalam hubungan sampah ini.

Tertegun sejenak, aku berbicara, "Besok ... grafiknya, aku sudah menyelesaikannya. Ada di komputerku. Kau hanya perlu memeriksanya lagi."

Daehyun terkekeh kecil, memijat pangkal hidungnya. "Dengan kondisimu saat ini, dan kau masih memikirkan pekerjaanmu?"

Aku memaksakan senyum.

Daehyun menghela napas. Ia terdengar bergumam pelan, "Omong kosong."

Beberapa saat kemudian, ia segera pergi dengan enggan. Ia tidak mempunyai alasan bagus untuk tetap di sini karena pekerjaan penting tidak mengetahui situasinya, bahkan jika ia ingin tinggal untuk waktu yang lama.

Setelah Daehyun meninggalkan bangsal, ada keheningan yang mengisi kekosongan di ruangan ini. Rasanya seperti hidup sendiri di dunia yang luas ini tanpa orang lain dan membusuk sendirian dalam kepahitan ini.

Sejujurnya, aku ingin ia tinggal lebih lama lagi, tinggal bersamaku beberapa saat lagi untuk membuatku tersenyum dari hal-hal yang menyakitkan ini.

Namun, untuk mengatakan itu secara langsung terdengar egois. Ia suda terlalu direpotkan oleh orang sepertiku. Jadi, yang bisa aku lakukan hanyalah bergumam di dalam hati.

Donghwa, pulanglah sekarang ...

Siguiente capítulo