Aku tersenyum lemah saat mengingat semua kenangan indah itu. Di masa lalu, segala sesuatunya seperti telah direncanakan dengan sangat baik dan membuat kedua orang di masa lalu itu mempercayai kata-kata mereka sendiri dengan sangat percaya diri.
Namun, hal-hal indah itu perlahan menjadi hal yang melukaiku dan membuktikan bahwa semua itu hanyalah ilusi yang membuatku harus terus menahan rasa sakit yang luar biasa saat ini.
Dua orang yang dulunya saling mencintai itu mengatakan bahwa mereka akan terus mencintai satu sama lain. Namun, hari demi hari telah berlalu sejak dahulu kala dan mengungkap hal-hal yang tidak dapat dibayangkan. Salah satu dari keduanya menjadi pengkhianat yang mengubah segalanya.
Aku tidak tahu apakah semuanya akan berakhir dengan cara yang baik sebagaimana kami memulainya atau bahkan berakhir dengan cara yang paling buruk?
Tetapi, sekarang, aku tidak peduli bagaimana hubungan ini berakhir nantinya. Aku merasa bahwa apa pun akhirnya, rasanya akan tetap sama — menyakitkan.
Aku menelan makanan di tenggorokanku seolah-olah menelan duri yang menyebabkan rasa sakit di sekujur tubuhku. Namun, tidak ada yang bisa aku lakukan selain menanggung segalanya dan membiarkan duri melukai isi perutku tanpa mengeluh sedikit pun.
Akan tetapi, sepertinya Daehyun sudah lama mengamatiku. Walaupun ia mengoceh mengenai banyak hal di hadapanku, ia tampaknya memiliki naluri yang kuat untuk menemukan apa pun yang orang-orang sembunyikan darinya.
Aku tidak menyadarinya sebelum ia berbicara kepadaku dengan suara rendah dan terdengar sedikit kesal, "Chunghee, kau sedang melamun. Kau bilang kau tidak marah lagi padaku. Apa begini caramu memaafkan orang lain? Saat seseorang sedang berbicara denganmu, kau malah memikirkan masalahmu sendiri. Aku bahkan tidak merasa seperti aku telah dimaafkan olehmu." Kim Daehyun meletakkan sumpit di mangkuk makanan, lalu melanjutkan, "Jika kau terus bertingkah seperti itu, kau hanya akan meninggalkan kesan dendam padaku."
Mendengar hal itu, aku pun berusaha meyakinkannya dengan mengatakan, "Tidak, aku tidak marah padamu. Aku bukan orang seperti itu. Apa menurutmu aku seperti remaja yang suka merajuk? Hah, yang benar saja." Dengan jeda, aku melanjutkan, "Jangan berpikir terlalu jauh seperti itu. Aku bukan orang seperti itu."
Menyelesaikan kata-kataku, aku hendak menunjukkan senyuman cerah tetapi akhirnya memaksakan senyum yang gagal di wajahku.
Namun, walau begitu, aku mencoba untuk terlihat baik-baik saja seolah-olah semuanya terlihat baik-baik saja.
Bagaimana tidak, perkataan Daehyun benar-benar di luar ekspektasiku. Aku tidak menduga bahwa ia akan berpikir bahwa aku adalah orang yang suka merajuk. Sebaliknya, aku bahkan tidak merasakan apa-apa lagi dan mungkin sudah mati rasa saat ini karena terus berusaha menahan semua rasa sakit di hatiku, dan menyimpan keluhanku untuk diri sendiri selama ini. Lagipula, mengatakan semuanya di depan Donghae secara langsung seperti melempar bumerang ke arahnya namun dikembalikan padaku dengan kekuatan yang cukup keras ke wajahku. Itu percuma. Tetap diam adalah satu-satunya cara untuk melarikan diri dari perseteruan di antara kami berdua.
Sementara itu, Kim Daehyun tidak memberikan respon apa pun setelah mendengar hal itu, dan hanya terus memakan makanannya dengan sangat tenang.
Namun, di balik ketenangan itu, di matanya menggambarkan suasana hatinya yang tidak senang. Aku dapat melihatnya secara samar-samar tapi memilih untuk tidak menanggapi apa pun.
Setelah menghabiskan semangkuk sup, aku mengulurkan tangan dan menuang segelas air lalu meminumnya. Kemudian, aku segera berdiri sambil berkata, "Aku harus kembali. Ini hari pertamaku sebagai asistenmu. Banyak hal yang harus diurus di perusahaan. Aku juga melihat banyak catatan jadwal dari mantan asistenmu dan itu harus diselesaikan hari ini."
"Kalau begitu biarkan aku mengantarmu. Apa kau ingin kembali ke apartemenmu atau langsung pergi ke perusahaan? Aku akan mengantarmu," seru Kim Daehyun, dan segera berdiri tanpa menghabiskan makanannya terlebih dahulu.
Tetapi, mungkin aku terlalu keras kepala, sehingga aku tidak bisa menerima tawaran semacam itu dengan mengatakan, "Maaf, itu tidak perlu. Aku bisa naik taksi."
Kim Daehyun tetap bersikukuh, "Tidak. Aku berbohong kepadamu untuk datang ke sini. Sekarang, sebagai permintaan maaf, biarkan aku mengantarmu." Berhenti sejenak, ia berjalan ke arahku lalu meraih tanganku. "Ini sebagai kompensasi untukmu. Ayo kita pergi."
Begitu Kim Daehyun menyelesaikan kata-katanya, ia menarikku ke pintu. Sementara itu, aku yang menyadari bahwa mengatakan penolakan hanyalah membuang-buang kata-kata, hanya bisa menjadi pasrah ketika Daehyun mengucapkan kata-katanya.
Begitu kami turun, Kim Daehyun membuka pintu mobilnya dan memintaku masuk. Aku menurutinya dengan patuh. Kemudian, Kim Daehyun menyusulku dan duduk di kursi pengemudi, di sampingku.
Sebelum ia menyalakan mesin mobil, Kim Daehyun bertanya tanpa menoleh ke arahku, "Um, apa kau ingin langsung pergi ke perusahaan?"
"Ya," jawabku dengan singkat.
Mendengar jawaban itu, Kim Daehyun segera menyalakan mesin mobil dan menginjak pedal gas. Mobil pun melaju dengan kekuatan sedang.
Kim Daehyun mengemudi dengan sangat hati-hati dan tetap diam di sampingku. Sementara itu, aku mencoba mengisi keheningan kami dengan mengalihkan pikiranku ke tempat-tempat yang kami lewati dalam perjalanan tetapi gagal.
Semuanya sia-sia. Hanya pikiran masa lalu yang membuatku ingin melompat keluar dan mati, bahkan hingga kami tiba di perusahaan.
Kim Daehyun tampak khawatir saat melihatku tidak pernah menunjukkan kegembiraan di wajahku. Ia terus bertanya dan meminta maaf mengenai kebohongannya pagi ini tanpa ragu-ragu dan terlihat begitu serius. Itu juga membuatku merasa sangat bersalah karena membuatnya harus menyalahkan diri sendiri, dan juga merasa kecewa dengan seseorang di saat yang sama.
Aku terus memikirkan Donghae. Jika saja ia ingin terbuka dan mengakui bahwa kesalahannya, maka aku tidak akan pernah ragu untuk memaafkannya dan memberinya kesempatan bahkan dengan rasa sakit ini.
Namun, Donghae tidak pernah ingin melakukannya, meskipun ia tahu bahwa aku membutuhkan pengakuan itu.
Sekarang, aku tidak ingin mengharapkan hal-hal bodoh seperti itu lagi. Aku bahkan tidak akan pernah peduli jika ia ingin mengakui kesalahannya bahkan untuk sekarang.
Bukannya aku tidak peduli dengan hubungan kami, hanya saja semuanya terlalu sakit dan itu membuatku tidak lagi dapat menemukan penawar untuk luka parah yang aku derita, jadi aku berpikir untuk tetap diam dan membiarkan ia melakukan apa yang ia inginkan, hingga suatu hari aku mati kesakitan dan ia tidak perlu menangis.
Fisikku telah rusak dan hatiku telah hancur. Jika ia ingin bersama orang lain, maka aku bisa memberkati hubungan mereka dan menunjukkan senyuman yang indah sebagai berkah untuk mereka.
Aku hanya perlu bertahan hingga ia benar-benar mengusirku suatu hari nanti.