Kata-kata itu terdengar menyebalkan. Aku tersenyum pahit sambil berkata dengan suara serak, "Jika dia tidak baik, kau juga tidak jauh berbeda darinya dan kau mungkin lebih buruk lagi. Apakah kau pikir kau baik untukku? Dulu kamu pernah baik, tapi sekarang tidak. Jadi, lebih baik bagi kita agar mulai sekarang, untuk tidak berbicara satu sama lain."
Mendengar kata-kataku yang mungkin menyinggung perasaannya pada saat yang sama, itu langsung menimbulkan reaksi darinya. Wajahnya kian terkejut dan beberapa percikan api tampak seperti akan meledak, tetapi itu tiba-tiba ditekan. Lalu, tanpa bisa menghindarinya, ia langsung meremas lenganku dengan kuat sambil berbicara dengan ketakutan, "Apa?! Tidak! Chunghee, jangan ... aku tidak mau. Aku tidak sengaja."
Namun, aku tidak mendengar kata-kata itu sebagai permintaan maaf darinya melainkan hanya sebuah omong kosong, sehingga ia tidak mau disalahkan.
Aku pikir Donghae ingin mempermalukanku, jadi aku menjawab tanpa peduli dengan apa yang baru saja ia katakan, "Oke. Mari kita putus."
Matanya tiba-tiba terbuka lebar dengan emosi yang siap meledak. Ia tidak bergerak selama beberapa detik sebelum ia meraih pergelangan tanganku, lalu menarikku dengan kasar ke kamar tidur. Tangannya yang mencengkeram pergelangan tanganku dengan erat seolah membuatku mati rasa, namun itu menyakitkan di hatiku. Ia dengan beringas melemparkanku ke tempat tidur dan segera menekan tubuhku di bawah tubuhnya, dan kemudian menatapku dengan tatapan yang siap untuk menelanku sambil mengatakan dengan kemarahan yang jelas dalam kata-katanya, "Aku akan memberimu pelajaran yang akan membuatmu jera sehingga kau takut disentuh oleh orang lain!"
Ia melepas mantelnya, melonggarkan dasinya, lalu segera kembali ke atasku, memegang tanganku dan menekannya ke atas kepalaku. Aku tidak berdaya.
"Aku yakin kalian berdua pernah tidur bersama. Bagaimana dia melakukannya? Apakah kamu lebih puas ketika tidur dengannya, sehingga kau jarang ingin disentuh olehku? Atau dia datang begitu saja ketika aku tidak ada di sini? Atau mungkin Chunghee ini yang sudah menjadi pelacur. Heh, baiklah, sudahlah. Betapa kotornya dirimu sekarang, aku bisa membersihkan tubuhmu malam ini!"
Aku mengerutkan kening dengan erat. Kata-kata itu benar-benar keterlaluan. Aku refleks meludahi wajahnya, lalu berteriak, "Apa yang kau bicarakan, brengsek?! Apa kau pikir aku tidur dengannya?! Singkirkan pikiran gilamu itu! Kau—"
Sebelum menyelesaikan kalimatku, ia langsung menutup mulutku, menekannya dengan keras dengan telapak tangannya yang kuat. Ia tidak mengizinkanku untuk melanjutkan apa yang ingin aku katakan padanya, atau bahkan tidak ingin mendengar penjelasan apa pun dariku?
Dengan kasar, tanpa belas kasihan dan kasih sayang, ia memakanku malam ini seperti binatang kelaparan. Ini pemerkosaan! Ini adalah sesuatu yang tidak menyenangkan sama sekali. Aku tidak menyukainya dan ingin mati daripada harus disiksa!
Sentuhan dan ciumannya, semuanya hanya untuk melampiaskan amarah di dalam dirinya.
Ia bukan Donghae yang aku kenal bertahun-tahun yang lalu. Ia tampaknya telah menjadi pria yang berbeda dalam tujuh bulan terakhir — tidak! Aku telah merasakan perubahan ini sejak ia mulai mengambil alih posisi presiden perusahaan!
Aku mengetahui ia tidak sopan saat bercinta denganku. Tapi, hari ini, ia sepertinya akan membunuhku dengan siksaan yang mengerikan ini.
Setelah siksaan yang nyaris membuatku mati, semuanya menjadi sunyi. Hanya ada gerakan kecil yang terasa di atas ranjang, lalu kembali menjadi hening dimana kesunyian itu terasa mencekam. Aku menatap keluar jendela, menatap kegelapan tak berujung di luar dengan mata kosong sambil berbicara dengan suara serak yang terdengar mengerikan, "Donghae, apakah kau di sana?"
Aku mengangkat pergelangan tanganku, menatapnya. Ada tanda merah dari ikatan ketat saat ia melakukan sesuatu yang tidak ingin kulakukan saat ini.
"Donghae, ada apa denganmu? Kenapa kau berubah? Kau tahu, aku merindukan Donghae di masa lalu, di mana dia selalu mendengarkanku; tidak pernah membuatku menangis, dan tidak pernah meneriakiku. Aku menginginkan Donghae yang lama."
Tetapi, ia bahkan tidak mengatakan apa-apa ketika aku mengatakan hal penting itu. Aku tahu ia ada di belakang tubuhku sekarang, dan duduk manis sambil meratapi sesuatu. Ia mungkin menyesal, atau ia mungkin merasa puas saat berpikir bahwa kemenangan ada di pihaknya.
Sampai beberapa saat kemudian, ia mulai berbicara, "Kau harus mengundurkan diri dari perusahaan itu. Kau tidak harus bekerja. Kau bisa meminta apa saja padaku jika ada sesuatu yang kamu butuhkan. Aku akan mengirimimu uang sesering mungkin."
Aku tersenyum ironis. "Kau pikir, aku bersamamu karena uang? Aku benar-benar tidak membutuhkan uangmu. Aku punya uang sendiri. Yang aku inginkan hanyalah Donghae ketika kita masih kuliah."
Ia terdengar menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab dengan suara berat, "Berhenti bekerja di tempat itu."
Mendengar kata-katanya, aku dengan susah payah menoleh ke belakang, lalu melihat ke punggungnya. Ia mulai berdiri, merapikan pakaiannya, dan memasang kembali dasinya.
Ia lalu meraih mantel yang ia kenakan tadi, lalu keluar dengan membanting pintu hingga mengeluarkan suara keras yang memecah kesunyian di ruangan ini.
Setelah langkah kaki Donghae tidak lagi terdengar, keheningan perlahan memenuhi ruangan. Aku melihat kembali ke luar jendela sebelum meraih ponselku yang tergeletak di meja samping tempat tidur dan mulai menelepon Daehyun.
Tak lama kemudian, ia menjawab telepon, "Ah, Chunghee, kau menelepon di saat yang tidak tepat. Ada apa?"
Suara seraknya menegaskan bahwa aku mengganggu waktu istirahatnya, tapi aku tidak peduli. Ia juga sering mengganggu waktu berhargaku di malam hari. Kita bisa mengatakan bahwa itu impas.
Aku tersenyum kecil mendengar nada suaranya yang terdengar cemberut seperti anak anak yang sedang merajuk. Aku berkata, "Hmm, maaf. Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih atas buket bunga yang kau berikan padaku. Aku sangat menyukainya. Tapi, kenapa kau tiba-tiba mengirim bunga?"
"Buket bunga?" berhenti sejenak, ia tiba-tiba berseru, "Ah! Apakah kau menyukainya? Terima kasih Tuhan. Aku membawanya dari jauh — um, tentang bunga, Go Hyunjae memberi tahuku ketika kau berada di rumah sakit. Dia mengatakan bahwa kau ingin datang ke Festival Mawar di Pohang minggu lalu, jadi aku memberimu Juliet Rose yang terkenal itu karena aku pikir bunga itu adalah Mawar yang istimewa. Kau tahu, sku bahkan lupa bahwa aku memesan bunga itu untukmu karena jadwalku yang padat akhir-akhir ini."
"Aku sangat menghargainya. Tapi, lain kali kau tidak perlu repot dengan hal-hal seperti itu. Aku sudah terlalu sering merepotkanmu."
Daehyun tertawa. "Kau tidak pernah merepotkanku sama sekali. Akulah yang selalu merepitkanmu. Tapi, jika kau suka mawar, aku bisa memberimu setiap—"
"Tidak!" Sebelum ia menyelesaikan kata-katanya, aku langsung memotongnya, "Tidak, tidak perlu. Itu tidak perlu. Um, dan lebih baik kau istirahat sekarang."
"Ah, baiklah. Seperti yang kau inginkan," dengan jeda, ia melanjutkan, "Sebenarnya, aku ingin berbicara denganmu sedikit lebih lama, tetapi mataku benar-benar tidak dapat didamaikan. Kalau begitu, kau juga harus istirahat. Jaga dirimu baik-baik. Selamat malam."
Telepon pun ditutup dan tangisan menyayat hati seketika menyelimuti ruangan dingin dan gelap secara diam-diam.
Bulan pertama musim gugur tahun ini sepertinya awal yang buruk untuk hubungan kami. Aku juga telah bertahan cukup lama untuk sebuah hubungan yang ingin aku bangun kembali, dan aku tidak pernah berpikir bahwa itu akan bertahan melalui tiga puluh enam musim.
Namun, bertahan sampai titik ini membuatku merasa lelah. Aku ingin lari dari hubungan yang tidak harmonis seperti sebelumnya.
Apakah Tuhan mulai menegur hubungan ini? Tapi, mengapa sekarang saat aku sudah mengalir dengan perasaanku? Aku cukup sulit untuk kembali ke sela-sela waktu yang menggembirakan, yang mungkin sudah sekedar angan.