Benda pertama yang ia lihat saat terbangun adalah langit-langit dari kayu. Ia merasa bagaikan berada dalam mimpi. Segalanya tampak begitu putih. Ia mengedip-ngedipkan matanya, lalu ketika warna putih yang mengelilinginya mulai mereda, ia memaksakan diri bangun dari kasurnya.
Ia berada di dalam Ruang Matahari. Ruangan dalam wisma yang terbuat dari kayu. Ruangan itu terhubung langsung ke pekarangan taman lewat sebuah pintu geser. Pintu yang sekarang terbuka dan memamerkan keindahan taman di matanya.
Ia bagaikan tersihir oleh keindahan, cahaya, warna, dan bahkan suhu. Semuanya begitu indah sampai ke getaran terkecil. Ia bisa mendengar irama denyut jantungnya, sampai ke aliran darah dalam tubuhnya.
Suara gesekan halus dari lipatan selimut di pangkuannya, liku-liku kain kasurnya. Ia bisa merasakan desir angin yang paling lembut sekalipun yang bersentuhan dengan dengan kulitnya.
Semuanya begitu indah dan demikian lega rasanya, hingga tanpa terasa air matanya mengucur tanpa henti. Ia tidak bisa menahan atau bahkan ingin menahannya. Dadanya terasa begitu penuh dan hanyut dalam suasana. Setiap helaan napas yang ia ambil bagaikan menghirup seluruh dunia ke dalam tubuhnya. Perasaan gembira meluap, membanjirinya, hingga ia mulai tertawa demikian tulus dalam air matanya, semakin lama semakin keras dan bahagia ketika pikirannya semakin jernih.
Ia masih hidup!
Ia menikmati kesadaran itu selama beberapa lama, sampai air matanya berhenti sendiri. Ia terus menikmati setiap warna dan sensasi yang bisa ia rasakan dengan indranya. Ia menarik napas, dan betapa panjang dan mudahnya, leganya. Ia tidak merasakan sakit sedikit pun. Begitu segar dan nyaman. Ia serasa lupa pada waktu, begitu asyik terserap dalam suasana, ketika perutnya mendadak meraung kelaparan bak raja hutan.
Seperti dipanggil hasratnya, Gurunya muncul dengan nampan penuh berisi makanan, enam rantang sekaligus. Beliau segera menghidangkan ke muridnya yang luar biasa lapar, yang menghabiskannya bagaikan serigala lapar.
Gurunya mengingatkan, "Makan pelan-pelan."
Wander mengangguk, dan menyendok bubur harum dan sedap itu. Ia terus makan dan makan. Ia bahkan tidak berpikir. Ia hanya makan. Ia bahkan tidak mengingat dirinya atau apa yang ia makan. Ia hanya mengetahui kenikmatan, kesedapan, rasa lapar, dan rasa makanan. Dari bubur ke sup, beras lunak sampai ke lauk, sayuran, daging rebus obat, daging ikan dengan jeruk nipis, roti, kacang-kacangan, madu.
Ketika rasa laparnya akhirnya terpuaskan, seluruh rantang telah kosong, begitu juga dengan ketel berisi teh dan minuman panas.
Kurt akhirnya bertanya, "Bagaimana perasaanmu?"
"Aku baik-baik saja... sehat…" lalu mendadak ia teringat sesuatu, ia segera berlutut dengan penuh rasa malu, "Maaf, Guru, aku gagal! A-aku pingsan.."
Di luar dugaannya, Gurunya malah memeluknya dengan hangat, lalu memegang bahunya dan mengguncang-guncangnya dengan hangat sambil tertawa senang. Wander terkejut sekali melihatnya. Kurt terus tertawa, sampai wajahnya jadi merah dan air matanya mengalir dari mata bahkan hidungnya. Ia seperti orang gila saja.
"Hahaha. Kau tidak gagal, Wuan. Hahaha. Kau justru berhasil."
Wander tampak bingung setengah mati, "Aku berhasil? Berhasil… apa?"
Kurt masih terus tertawa sambil menepuk-nepuk lututnya, seakan Wander baru saja mengatakan lelucon terlucu di dunia. Ia akhirnya baru berhenti ketika ia kelihatan capek habis-habisan, dadanya turun naik, dan tubuhnya berguncang-guncang.
Setelah mendapatkan kendali dirinya, Gurunya baru berkata, "Bahkan orang dewasa pasti akan pingsan kalau menjalani hal yang sama barang seminggu saja! Tidak! Kau bahkan telah melampaui mereka! Ikuti aku," seketika gurunya melompat ke taman dan berlari begitu kencang seperti singa.
Wander bangun dan mengikuti Gurunya. Ketika ia mengejarnya ia mendadak menyadari bahwa tubuhnya terasa begitu ringan, bagaikan bulu! Kekuatan luar biasa bagaikan guruh mengalir dari pusat Khici-nya ke sekujur tubuh. Kakinya terasa bagaikan tumbuh sayap! Ia seperti terbang ketika berlari. Kecepatannya luar biasa, sampai angin menerpa wajahnya begitu dingin dan kencang, tapi ia begitu gembira!
Gurunya akhirnya berhenti di bawah sebuah pohon Hatim besar.
Wander sampai, dengan perasaan campur aduk. Ia melihat tubuh dan kakinya dengan takjub, nyaris tidak percaya. Ia mampu berlari sekencang itu.
"G-guru... A-a…"
"Kagumnya nanti saja. Lihat itu?" Kurt menunjuk ke pucuk pohon.
Wander melihat sebuah selendang merah tersampir di batang pohon itu. Tingginya dari tempat Wander berdiri sekitar tujuh meter.
"Ambil selendang itu."
"Haa?" Wander jelas kaget.
"Jangan memanjat. Loncat. Jangan pikirkan apa pun lagi. Ambil cepat."
Terserang oleh rasa ragu, tapi juga penasaran, Wander masih merasakan perasaan yang aneh dan ringan itu. Wander menatap selendang itu sambil menekuk lututnya.
SRAAKKK!
Detik berikutnya, selendang itu mendadak sudah di tangannya dan ia terjatuh! Jatuh dengan posisi yang sangat buruk karena ia begitu kaget, tapi Gurunya sudah mendoncang dan menyambutnya di udara sebelum ia mendarat celaka.
Tetapi selendang itu ada di sana! Di genggamannya!
Napasnya memburu, ia tidak bisa mempercayainya! Gurunya hanya nyengir, "Kamu mesti belajar bagaimana mendarat dengan baik nanti. Sekarang coba duduk."
Setiap kali Gurunya bilang 'duduk' itu artinya bersemadi. Wander dengan refleks langsung mengambil posisi bersila dan mengatur napasnya. Sensasi yang tadi dirasakannya kini berubah menjadi begitu mengagetkan karena arus energi besar mendadak mengalir, berpusar dari Khici-nya, terus membesar bagaikan pusaran kecil!
Tubuhnya terasa bagaikan sedang dibilas air hangat, dan anehnya, kekuatan itu seperti menyelimutinya sambil terus mengalir seperti cairan. Ia terus bernapas keluar dan masuk selama beberapa waktu sampai terbentuk sebuah lapisan energi di setiap permukaan tubuhnya. Ia merasa begitu ringan, rileks, dan kuat! Begitu hebat luapan semangat dan kenikmatan yang ia rasakan, bagaikan ada aliran listrik yang mengaliri tubuhnya, membangkitkan seluruh sel tubuhnya!
"Kendalikan sisi dingin dan panas dari Khici. Jangan buru-buru. Pandu mereka dengan lembut kembali ke sumbernya. Dengan lembut dan tenang," Kurt membisikkan nasihat.
Wander melakukannya dan segera lapisan energi, juga sensasi listrik, juga seluruh aliran tenaga itu perlahan-lahan mengalir kembali dan akhirnya tersimpan di dalam Khici-nya. Sebuah ketenangan dan rasa cerah menyapunya, pikirannya terasa demikian terang dan jernih. Ia merasa seperti baru keluar dari pemandian yang sangat menyegarkan.
Pandangannya menjadi begitu terangl dan jelas. Ia bahkan bisa mendengar suara Ikan Hisa berkecipak di kolam yang jauh, suara dengung sayap lebah di petak bunga yang jauh, suara kicau burung-burung di pohon begitu jelas.
Ia melihat ke sekelilingnya, begitu takjub tak terkira. "L-luar biasa... Guru. Seperti mimpi rasanya!"
Kurt tersenyum, "Memang demikian. Begitu menakjubkan. Jangan lupakan perasaan ini. Inilah mengapa Pengejar Mimpi berjuang dan terus mengejar impiannya. Untuk menjadi satu dengan Khici."
Wander dengan penuh rasa terima kasih berlutut, "Terima kasih banyak, Guru!"
Kurt hanya tersenyum. Ia memaksa Wander berdiri, dan betapa kagetnya Wander saat ia merasakan kekuatan Khici yang luar biasa lembut mendorongnya naik begitu mudah! Ketika ia sadar, ia sudah berdiri.
"Kamu pingsan selama tiga hari. Sekarang kamu harus istirahat dulu. Kamu sekarang mungkin merasa sudah hebat dan segar, tapi kamu tetap harus istirahat. Ini baru siklus pertama. Kamu harus menjalani tiga siklus sebelum tahap pertama selesai. "
Khici adalah daya bumi dan langit
Yang mengalir dalam tubuh manusia
Hulunya ada di Enrum - tiga jari di bawah pusar
Sungai besarnya ada di tulang punggung
Anak sungainya mengisi telaga lima organ utama