webnovel

Tersesat(?)

Kami terjelembab di lantai kamarku.

Kami duduk di lantai, tidak mempedulikan penampilan kami yang kotor akibat debu.

Kami diam, masih memproses tentang apa yang habis kami hadapi. Sebenarnya, ini benar-benar di luar nalar. Aku tidak tau harus bereaksi apa.

"Apa yang harus kita lakukan?" tanyaku untuk memecah keheningan. "Tidak mungkin kita berpura-pura kejadian itu tidak pernah terjadi sama sekali."

"Iya! Aku setuju dengan Kanna," Leta segera mengangguk. "Terlebih, kita tidak tau nasib Ms.Lena dan Mr.Theo setelah kita kabur lewat pusaran itu."

"Kalo soal itu..." gumam Leo.

Leo mengobrak-abrik tasnya dan mengeluarkan buku bersampul coklat rapi. Itu buku latihan bahasaku!

"Bukuku! Kenapa itu ada di kamu?" tanyaku.

"Mr.Theo memberiku ini dan secarik kertas ketika aku datang untuk hukuman Ms.Lena," jelas Leo.

"Secarik kertas?" Leta tampak penasaran. "Aku ingin melihatnya."

Leo mengeluarkan kertas kecil dan memberi itu pada Leta.

Aku beringsut mendekat untuk membacanya. Benar! Itu tulisan kecil-kecil rapi khas Mr.Theo, si biang kerok ini gak bohong.

"Ketika tiba waktunya, tolong kembalikan ini ke Kanna," baca Leta. "Kalian membutuhkan ini sebagai kunci menuju kelanjutan kisahnya."

Leo menyerahkan buku latihan itu kepadaku sambil mengangguk meyakinkan.

"Ok, tapi apa yang harus kita lakukan kepada buku ini?" tanyaku.

"Coba kamu hancurkan," ucap Leo santai. "Kamu bisa menghancurkan benda, kan?"

Aku hanya mengangguk.

"Kamu gila?!" seru Leta. "Jika buku itu sampai hancur-"

"Kesempatan kita hilang," sambung Leo. "Tapi, itu setimpal dengan kemungkinan berhasilnya."

Aku hanya diam.

"Keputusan ada di tanganmu, Na," ucap Leo. "Itu bukumu, itu tanggung jawabmu."

"Jika aku hancurkan, ada yang keberatan?" tanyaku ragu.

Tidak ada yang menyaut. Itu artinya, mereka hanya mengikuti apapun yang kulakukan.

Aku berkonsentrasi dan mengarahkan tangan kepada buku itu.

1 menit kemudian, buku itu hancur menjadi serpihan kaca dan lenyap ketika hendak menyentuh sesuatu.

Suasana hening. Apakah buku itu sungguhan hancur?

Ketika Leta membuka mulut, hendak menyalahkan Leo...

Buku itu muncul lagi. Hanya saja buku itu tampak lebih memukau.

Kertasnya yang putih tampak menguning seolah sudah tua dan kaku seolah habis terkena air. Sampul coklat polosnya menjadi hitam dengan gambar timbul bulan sabit yang dililit oleh naga berwarna silver.

"Wah..." Leta berdecak kagum. "Bukunya kayak di film-film fantasi, Na. Kayak buku sihir gitu, deh..."

"Ini bukuku, kan?" Aku menatap buku itu lamat-lamat.

"Seharusnya, sih, iya..." Leo mengangguk ragu.

"Terus..." ucapku. "Kita harus ngapain?"

"Coba buka bukunya..." saran Leo.

Aku membuka buku itu. Kosong. Enggak ada tulisan sama sekali.

"Kosong, Le..." ucapku.

"Coba tulis sesuatu, deh," Leo memberikan pulpennya.

Aku menulis di kertasnya. "Asalku".

Tulisan itu lenyap tanpa bekas. Aku memeriksa bolak-balik halaman itu, tidak ada bekas tinta sama sekali.

Lalu yang kusadari selanjutnya adalah... kegelapan dengan ribuan bintik cahaya seperti di pusaran tadi.

"Weh... kita mau kemana lagi?!" seru Leta panik.

Aku bisa meliat Leo yang mencoba meraih buku tadi yang melayang sekitar 1 meter di dekatku. Aku meraihnya dan memberikannya ke Leo, yang bergegas memasukannya ke tas.

Kami hanya bisa pasrah.

Lalu, kami terjelembab di lantai dingin yang lembut.

Aku bangun dan melongo melihat ruangan yang berbentuk bulat dengan kasur bulat yang melayang 1 meter dari atap, perabotan berbentuk bulat atau 1/2 lingkaran (menempel ke dinding), jendela-jendela bulat, 2 pintu putih (1 lebih besar), dan atap yang memancarkan cahaya lembut.

"Ini bukan kamarku..." gumamku.

"Tidak ada kamar seperti ini di kota kita," sahut Leta. "Aku bisa menjamin itu."

Kami menengok ke arah jendela yang tertutup tirai kehitaman.

Tidak ada jalan keluar.

Pintu besar mendesing terbuka, 2 orang dewasa dan 1 orang anak berusia sekitar 5 tahun masuk.

Leta mencengkram tanganku dan Leo.

Anak lelaki itu menjunjuk kami.

Kedua orang dewasa itu tampak penasaran dan lelaki, menurutku ayah si anak, menghampiri kami.

Dia terdengar bertanya dengan nada ramah.

Sungguh sebenarnya kami ada dimana?!

Siguiente capítulo