webnovel

Misteri Kehancuran

DEAD ZONE

                  Zombie Crisis

                  ™Alice POV™

Micro partikel virus tersebut mulai menyebar kedalam tubuh sang pria melalui peredaran darahnya. Ia tahu bahwa dirinya pasti akan kehilangan kesadaran hingga berubah menjadi sesosok zombie. Namun pada kala itu ia sempat berkata,

"A-Alice! S-Steven...!"

Aku terkejut setelah mendapatinya yang tampak tergagap kaku dengan menyebut nama seorang pria yang tak asing bagiku. Dahiku mengkerut, diiringi oleh tatapan mata yang kian terpaku menatapnya penuh haru nan kecurigaan pada lubuk hatiku.

"Ada apa dengan Steven?!" tegasku padanya. Pria itu tampak kesulitan untuk berkata meski mulutnya tampak terlihat menutup dan terbuka.

"Di-dia... Yang meledakan truck tangki pada gerbang utama. S-Steven pelakunya."

"Apa?! Tidak mungkin! Steven tidak akan melakukan hal sekeji ini." ucapku dengan sedikit gelengan pada kepalaku, seakan diriku sama sekali tidak mempercayai semua ulasannya akan sebuah tuduhan yang telah dirinya utarakan pada mantan kekasihku.

"Aagkh! Aku melihatnya Alice...! Di-dia, aargk!" ia sama sekali tak memiliki keaempatan terlalu lama untuk melanjutkan ucapannya padaku hingga ajal pun kian menjemputnya dan membuat dirinya tiada.

Jadi semua itu benar... Steven tak hanya sengaja memberontak pada Mercenery ops, namun ia juga berusaha untuk menghancurkan seluruh umat manusia di ibukota dengam cara mengundang ribuan pasukan zombie dalam rangka melakukan penyerbuan terhadap seluruh penduduk yang tersisa.

Ada kemungkinan bahwa bocornya informasi mengenai pengeboman yang akan dilakukan oleh AS terhadap kota New Castile telah di ketahuinya. Dalam kata lain ialah, Steven telah sengaja menahan kami semua agar sibuk melawan zombie hingga pada saat itu tiba.

Puluhan mayat hidup tersebut semakin mendekati titik lokasi tempatku berada hingga pada akhirnya aku pun mulai terpaksa untuk melepaskan tembakan pada senapan serbu secara beruntun  pada mereka-zombie.

Berulang kali diriku memainkan jemari telunjuk pada pelatuk senapan serbu berjeniskan AK-47 tersebut. Satu persatu diantara mereka telah berhasil kubunuh. Naas, banyaknya jumlah musuh tak sebanding dengan sisa amunisi yang telah kumiliki pada saat ini.

Aku membuang senjataku dan berbalik arah untuk segera memacu laju langkah lebih cepat dalam rangka berlari menuju pintu gedung balai pertemuan tersebut.

Kepanikan tak hanya memicu detak jantungku untuk berdetak lebih kencang, namun tidak sedikig butiran keringan yang kian membasahi dahiku. Dengan nafas yang masih tersedak, kini aku memutuskan untuk segera mendorong rak buku dan meja ke arah pintu utama yang masih dalam kondisi tertutup rapat.

*BRAAK! BRAACK! BRAAK!

Suara gebrakan pada pintu terus terulang hingga menciptakan suasana yang penuh dengan kegaduhan. Namun tetap bertahan sama sekali tak ada hasil yang cukup memuaskan tanpa sebuah perlawanan.

*PYAAR!

Suara pecahan kaca pada jendela kini semakin menciutkan nyaliku. Aku mulai beranggapan bahwa mereka telah menemukan jalan baru untuk memasuki beberapa ruangan pada lantai dasar gedung tempatku bersembunyi.

Sesosok zombie telah berhasil memasuki salah satu dari isi ruangan yang terdapat pada lantai dasar. Kini ia tampak terlihat berjalan mendatangiku yang tengah berdiri tegak dari balik pintu utama gedung tersebut.

Sesosok gadis berkacamata cokelat dengan sebilah pedang berjeniskan katana tampak terlihat mengamatiku dari balik pagar pembatas pada lantai dua.

"Setidaknya aku datang disaat yang tepat." ucapnya terkekeh pelan dengan sorot mata yang tajam.

Perlahan ia melangkah mundur dan segera berlari melompati pagar pembatas lantai dengan menjungung tinggi sebilah katana pada genggamannya.

*WHUUUS....!

"Enyahlah kau!" seru Helen seraya mengayunkan sebilah katana pada sesosok zombie yang tengah menghampiriku.

*SREEEAACCK!

Sebuah ayunan pedang kian melesat kencang hingga mampu membela kepala zombie menjadi dua bagian hanya dalam satu tebasan. Tak berlangsung lama, seorang wanita dengan dua pria yang juga zombie tampak terlihat keluar dari dalam ruang rapat pada lantai dasar yang tak jauh dari aula utama.

"Alice, mundur! Serahkan mereka padaku." sembarinya memberikan sebuah perintah padaku.

"Iya!" jawabku seraya melangkah mundur hingga punggungku menyentuh dinding pada sudut ruangan.

Entah apa yang tengah di lakukannya, yang jelas ia kini kembali memasukan katana pada sarung yang terselip pada pinggang kirinya. Sekumpulan zombie itu semakin berjalan mendekatinya, namun Helen malah mencoba untuk menutup kedua matanya seraya menggenggam erat pegangan katananya.

"Helen!" seruku menyebut namanya.

Salah seorang zombie berjeniskan pria tampak ingin menerkam tubuhnya, namun dengan cepat Helen segera membuka mata seraya mencabut katana dari sarungnya.

*SRIINK, WHUUS...! SREEEACK!!

Sabitan katana melesat kencang bagaikan hembusan angin dingin di tengah malam, menghasilkan sebuah luka sayatan yang amat dalam hingga mampu membuatnya tumbang hanya dalam satu kali serangan. Tak ingin membuang banyak waktu, kini Helen segera memutarkan tubuhnya 180 derajat yang diikuti oleh ayunan katana untuk menebas leher lawannya,

*SREEEAACK!

Hanya dalam hitungan detik kepala zombie wanita itu terpisah dari tubuhnya dan menggelinding atas lantai kramik bernuasa klasik tersebut.

Seorang zombie yang tersisah mencoba untuk mengayunkan sebelah tangannya dalam rangka memberikan sebuah cakaran terhadap Helen yang tengah berdiri di depannya. Naas, Helen yang telah mengetahui pergerakan musuhnya segera menghindari serangan tersebut dengan cara berguling ke samping. Sesaat sang pria itu hendak kembali menyerangnya, dengan cepat Helena segera menendang pergelangan kaki zombie tersebut dengan sekuat tenaga. Alhasil kini lawan Helen telah tersungkur pada lantai dengan posisi terbaring.

Helen menarik nafas cukup dalam, kini ia segera melompat seraya menjunjung tinggi katananya.

*WHUUUSS...! JLEEB!

Ujung lancip katana kini mulai melesat kencang hingga mendarat pada titik target yang telah di tentukan. Yakni pada dada sang pria yang dianggapnya sebagai zombie tersebut.

-Bersambung-

Siguiente capítulo