Sejak jatuh sakit, aku dan teman-temanku tidak berani lagi untuk mengintip ritual pesugihan yang dilakukan oleh Alung. Kami juga menutup mulut dengan rahasia ini, karena setiap kali kami mencoba membocorkan dan menceritakan kepada warga, mulut kami terasa kelu dan tak bisa berkata-kata. Apabila kita nekat membicarakannya, maka secara mendadak kami akan jatuh sakit kembali. Sehingga, demi menjaga keselamatan kami sendiri, kami terpaksa harus melupakan peristiwa itu dan menutup rapat-rapat ingatan kami tentang tetek bengek yang berhubungan dengan kemusrikan yang telah dijalani oleh Alung.
Waktu terus bergulir, bulan demi bulan telah terlewati. Dan tiba saatnya aku mendapatkan kabar bahwa Alung dan keluarganya mengalami pailit. Usahanya perlahan bangkrut dan terpaksa harus gulung tikar. Yang lebih memperhatinkan lagi adalah nasib Alung yang menderita penyakit aneh dan tak wajar. Kondisi tubuhnya sangat kurus kering kerontang seperti jerangkong hidup. Sekujur kulit tubuhnya melepuh berwarna hitam seperti terbakar.
Mendengar kabar seperti itu, aku, Paijo, Candi, dan juga Narta menjadi terenyuh dan memutuskan untuk menjenguknya. Dan malam itu aku dan ketiga sahabatku datang berkunjung ke rumah Alung.
''Assalamualaikum ...'' ujar kami berempat pas di depan rumah Alung.
''Waalaikumsalam!'' jawab Ibu Alung.
''Maaf, Bu ... kami ijin mau menjenguk Alung,'' ujar Paijo mewakili kami.
''Ya, silahkan!'' kata Ibu Alung tanpa ekspresi, kemudian beliau membawa kami masuk ke kamar Alung.
Di kamar tersebut aku dan teman-teman melihat Alung terbaring lemah di atas kasur. Berita yang kudengar dari beberapa warga memang bukan isapan jempol belaka. Tubuh Alung benar-benar sangat kurus. Wajahnya tirus, sehingga menonjolkan tulang rahang dan tulang pipinya. Giginya juga jadi nampak tonggos. Rambutnya rontok dan sekujur tubuhnya hanya nampak tulang belulang terbungkus kulit tanpa daging. Sungguh mengenaskan dan membuat kami jadi berkaca-kaca, karena kami tidak percaya kalau orang yang tergolek tak berdaya ini adalah Alung, sahabat kami.
''Alung ... apa kabar?'' sapaku pada laki-laki ini.
Alung hanya tersenyum getir melihat kehadiran kami. Matanya nanar dengan pandangan yang kosong.
Aku mencoba menyentuh telapak tangan Alung yang terasa cukup panas.
''Apa yang kamu rasakan, Bro?'' tanyaku.
Alung tidak menjawab, dia hanya menggeleng dan menitikan air matanya. Sungguh, sangat menyedihkan. Kami semua jadi terdiam dan terbawa suasana yang haru. Bahkan Paijo, Candi, dan Narta turut menangis menyaksikan kondisi tubuh Alung. Mereka sangat simpati dengan keadaan Alung yang seperti itu.
''Juno ... Paijo ....'' Alung berusaha berbicara walaupun dengan suara yang lirih, ''Narta ... Candi ...'' imbuhnya masih dengan volume yang pelan, bahkan nyaris tak terdengar.
Aku dan ketiga temanku langsung mendekati Alung, kami mencoba memberikan dukungan buat dia.
''Maafkan aku, ya ...'' kata Alung yang terdengar piluh. Air matanya tak berhenti mengalir dan membasahi pipinya yang kempot, "aku telah berbuat jahat pada kalian ...'' tambahnya dengan cucuran air mata yang terus mengalir deras.
''Ya ... Alung, aku pasti memaafkan kamu!'' ujar Paijo sambil sesenggukan.
''Ya, aku juga pasti memaafkan kamu, Lung ...'' lanjut Candi yang turut juga menitikan air matanya.
''Aku akan selalu memaafkan kamu, Lung ... karena kamu adalah sahabatku juga!'' imbuh Narta yang nampak paling tegar sembari mengusap kening Alung.
''Alung ... kami semua memaafkan kamu ... dan kamu tidak perlu memikirkan ini. Yang kamu lakukan, kamu harus sembuh ... kamu harus kuat agar kamu bisa bersama kami kembali ... seperti dulu ...'' kataku sembari menggenggam erat telapak tangan Alung.
''Tidak, Juno ... aku penuh dosa ... aku tidak pantas jadi sahabat kalian,'' ungkap Alung dengan nada yang lembut dan irama yang pelan. Sangat pelan.
''Yakinlah, Alung ... kamu pasti sembuh, kamu punya kesempatan buat bertaubat ...'' ujarku.
''Iya, Lung, bertaubatlah ...'' timpal teman yang lain kompak.
''Tidak ... aku sudah terlambat buat bertaubat ...''
''Alung ... kamu jangan bilang begitu, Bro ...'' kataku lagi.
''Aku sudah pasrah .... aku sudah ikhlas, bila suatu saat nanti Tuhan mencabut nyawaku ...''
Tangis di antara kami kembali pecah. Suasana yang mengharu biru ini menciptakan buliran air mata yang tak terasa mengalir dari mata kami masing-masing. Kami menangis berjamaah di kamar Alung yang penuh dengan aura kesedihan. Penderitaan Alung adalah penderitaan kami juga.
Beberapa hari kemudian, setelah kami menjenguk Alung. Kami mendapatkan kabar bahwa Alung telah meninggalkan dunia untuk selama-lamanya. Alung wafat tepat di usianya yang baru 23 tahun. Inalillahi wa inailaihi rojiun.
Ada satu kejanggalan yang aku dan teman-teman dapatkan, ketika kami sedang memandikan jenazah Alung. Selain sekujur tubuhnya berwarna hitam seperti hangus terbakar, kami juga menyaksikan, bahwa alat kelamin Alung membengkak lebih besar dari ukuran normalnya. Warnanya juga lebih gelap, hitam kebiru-biruan. Naudzubillah min dzalik!
Itulah sepenggal kisah dari sahabatku. Semoga menjadi pembelajaran buat kita semua.