Gelora 💗 SMA
Aku tidak ingin misteri ini terus berlarut-larut tanpa ada ujung dan titik terang. Aku harus sesegera mungkin mengungkap siapa sosok di balik kado-kado simple tapi penuh makna yang sangat berkesan itu.
Langkah pertama, aku akan mencari cowok tinggi kurus itu, karena dia adalah saksi kunci dari teka-teki ini. Dia, cowok yang tidak kuketahui namanya itu dua kali menjadi kurir. Berarti dia tahu benar siapa pengirimnya. Pokoknya aku akan memaksa cowok itu dan mengorek identitas sang pengirim misterius. Detik ini juga aku harus mendapatkan jawabannya.
Hari ini adalah hari Ulangan Umum Bersama atau lebih dikenal dengan Ujian Akhir Semester (UAS). Sehingga jam masuk menjadi lebih lama dari jam biasanya. Aku masih punya cukup banyak waktu untuk mencari keberadaan si jangkung itu. Dan setelah aku mutar-muter keliling sekolahan, akhirnya aku menemukan cowok itu yang sedang asik ngobrol bersama teman-temannya.
''Hai ... apa aku bisa meminta waktumu sebentar?'' ujarku di depan mereka, lebih tepatnya kutujukan kepada si tinggi kurus itu.
''Ricopolo ...'' Cowok berkulit putih bersih ini langsung mengenaliku. Dia bangkit dari tempatnya duduk dan langsung memisahkan diri dari teman-temannya. Kemudian dia menyentuh tanganku dan memberikan sandi agar aku bergerak mengikutinya. Dia menuju ke tempat yang lebih enak dan nyaman buat membicarakan hal yang dianggapnya sebuah rahasia. Aku nurut saja.
''Oke ... kita bicara di sini saja!'' ujar Dia.
''Aku tidak ingin bicara panjang lebar ... aku cuma ingin kamu jujur, sebenarnya siapa yang mengirimkan kado-kado itu buatku!'' kataku langsung tanpa basa-basi.
Cowok ini cukup tenang, dia nampak tersenyum dan menghela nafas dalam.
''Maaf, Rico ... aku tidak bisa membocorkannya kepadamu. Ini masalah profesionalitas dan kepercayaan terhadap customer yang menggunakan jasaku!''
''Jadi kamu tidak bersedia memberitahukan kepadaku siapa pengirim misterius itu?''
''Iya!'' jawab cowok ini lugas.
''Meskipun aku memaksamu?''
''Iya!'' Cowok ini cukup tegas.
''Bagaimana kalau aku akan memberikan kamu imbalan ... berapa yang kamu inginkan?''
''Maaf, Rico ... aku katakan, tidak!''
''Wow ... cukup teguh juga ya, pendirian kamu ... integritasmu sangat tinggi pantas saja kamu dipilih jadi kurirnya!''
''Hehehe ...'' Cowok ini tersenyum kaku.
''Kenapa kamu tidak sedikit pun merasa kasihan kepadaku karena harus menanggung rasa penasaran ini."
''Maafkan aku, Ricopolo ... aku sudah bersumpah dan berjanji untuk selalu tutup mulut."
''Please ... anggaplah aku memohon kepadamu ... karena hanya kamulah yang bisa mengungkap rasa penasaran ini. Ayolah, tolongin aku!'' Aku menjatuhkan kedua lututku perlahan dan berlutut di hadapan cowok ini. Aku terpaksa melakukan ini, karena aku tidak memiliki pilihan lain.
Cowok tinggi kurus ini jadi terbengong dan terdiam. Mulutnya ternganga menyaksikan tingkahku yang menurutnya mungkin kelewat naif. Dia mendadak speechless dengan mata yang berkaca-kaca. Apakah caraku ini cukup berhasil untuk meluluhkan pendiriannya. Aku rasa, tidak! Dia tetap diam dan tak mau bicara.
''Poo!'' Tetiba ada suara berat yang sangat khas dan cukup familiar di indra pendengaranku. Aku langsung melengos ke pemilik suara merdu itu. Itu adalah suara ....
''Randy ...'' Aku memandang cowok tampan itu di hadapanku.
''Kamu tidak perlu memaksa dia lagi, Poo ... karena pengirim kado-kado itu adalah aku ...'' ujar Randy datar tapi jelas.
''Hah ... jadi pengirim kado unik itu kamu, Ran?''
''Iya ... ''
''Kado tisu itu juga?''
''Iya ...''
''Coklat dan kondom itu juga kamu?''
''Iya ...''
"Oh My God ....''
''Apa kamu tidak menyukainya, Poo?''
Aku hanya terdiam, karena aku benar-benar tidak menyangka dengan semua ini. Randy mengangkat tubuhku dari formasi berlututku. Dia membangunkan aku hingga aku dan dia saling berhadapan. Entahlah, mengapa saat begini aku mendadak jadi gugup dan membisu.
Randy memberikan kode kepada cowok tinggi kurus itu agar dia meninggalkan kami berdua. Dan tanpa komando lagi cowok berwajah oriental itu pun langsung pergi.
Kini hanya ada aku dan Randy di sini. Tak banyak kata, Randy menatapku dengan pandangan mata yang berbinar-binar. Mata indah itu seolah menghipnotisku untuk selalu memandangnya tanpa berkedip.

''Poo ... apa kamu tidak menyukai hadiah dariku?'' ujar Randy pelan.
''A ... a-ku ... su ... su-ka.''
__Aduh ... kenapa aku jadi gagap, sih?
'Te ... Terima ka ... ka-kasih,'' lanjutku masih tergagap-gagap seperti anak kecil yang baru belajar ngomong.
Randy tersenyum melihat sikapku yang sedikit konyol ini, lalu tangannya yang kokoh itu meraih tengkuk kepalaku dan mendekatkannya ke arah wajah dia, sehingga wajahku dan wajah Randy jadi sangat dekat. Dekat sekali. Hanya beberapa centimeter saja, bahkan aku bisa merasakan aroma hembusan nafasnya yang harum seperti aroma varian permen karet. Sejurus kemudian, Randy mengecup bibirku dengan penuh kelembutan.
Sumpah, ciuman ini jauh berbeda dengan ciuman yang diberikan Pak Armando dulu. Ciuman Randy lebih terasa Feel-nya seperti ada getaran cenat-cenut yang mendebarkan jantungku. Oh Tuhan ... apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa Randy mencium bibirku dengan penuh kemesraan begini.
''Maafkan aku, Poo ... aku telah lancang mencium bibirmu,'' kata Randy sesaat setelah melepaskan ciumannya dari bibirku.
Aku tidak mampu berkata apa-apa lagi. Lidahku seketika itu langsung kelu. Kami berdua untuk beberapa saat lamanya jadi saling terdiam. Hingga bunyi bel tanda masuk berdering panjang.
Tet ... Tet ... Tet!
Tanpa kata, tanpa suara, kami berpisah. Kami masuk ke ruang Ujian kami masing-masing. Dan aku fokus untuk mengerjakan lembar soal ujiannya. Selamat Berjuang!