webnovel

29. Labrak

Gelora 💗 SMA

Sejurus kemudian,

Pak Budiman hadir di dalam kelas. Beliau adalah Guru BP (Bimbingan dan Penyuluhan). Tanpa banyak kata, Beliau langsung memanggilku dan membawaku ke ruang kerjanya. Di sana aku mendengarkan ceramah bla bla bla ... dan aku mendapatkan hukuman skors selama 3 hari, karena aku telah melakukan tindakan onar di ruang Guru dan di dalam kelas.

Well, mulai detik itu juga aku disuruh pulang. Dengan langkah yang tertunduk aku menyusuri koridor, lantas memasuki ruang kelasku dengan hati serta pikiran yang kacau. Teman-temanku memandangiku dengan perasaan yang bertanya-tanya. Aku tidak menghiraukan mereka. Aku hanya mengemasi semua barang-barangku, kemudian aku pergi meninggalkan kelas.

''Poo, kamu mau ke mana?'' tanya Akim menghampiriku.

Aku tidak menjawab. Aku hanya menatapnya dengan pandangan mata yang berkaca-kaca.

''Poo, kenapa kamu mengemasi buku-buku pelajaranmu. Kamu mau pulang?'' tanya Akim lagi.

Aku mengangguk lesu.

''Kenapa?''

''Tidak apa-apa,'' Tanpa sadar aku melelehkan butiran air mataku di depan Akim, namun aku segera menyeka butiran air mata ini.

Dengan sigap aku memalingkan mukaku, lalu aku mengambil langkah cepat meninggalkan Akim yang masih terpaku menatap kepergianku.

''Poo!'' Akim mengejarku. Tapi aku makin mempercepat gerakan langkahku.

''Aku akan membantumu ... aku akan mengungkap siapa yang bersekongkol dengan Pak Armando!'' teriak Akim sekencang-kencangnya.

Aku sejenak melirik ke arahnya. Wajahnya nampak bersungguh-sungguh.

''Tidak perlu!'' seruku pada cowok bertubuh pendek itu. Lantas aku benar-benar berlalu dari hadapannya.

Aku berlari menuju ke tempat parkiran. Aku langsung mengendarai motorku. Aku sengaja mengerangkan knalpot motorku keras-keras dan melajukan kendaraan ini dengan sangat kencang. Aku benar-benar tidak peduli dengan suara motorku yang menimbulkan kebisingan dan mengganggu pendengaran di sepanjang area sekolah yang aku lewati.

Di sepanjang jalan, tak ada yang aku pikirkan. Aku hanya ingin pergi ke rumah Pak Armando. Aku berharap aku masih bisa bertemu dengan dia dan bisa mendapatkan kebenaran dari mulutnya.

NGEEEEENNNNNNGGGGGG!

WUZZZZZZZZ ...

Dengan kecepatan maksimal aku melajukan motor kesayanganku, sehingga dalam waktu yang tidak lama aku bisa sampai di depan rumah Pak Armando. Aku segera memarkirkan motorku, lalu bergerak gesit ke dalam rumah Guru tampan itu.

''DOGG ... DOOGGG ... DOOOGGG!''

Aku menggedor-gedor pintunya.

''Pak Armando! Keluar kau!" teriakku.

"Tok ... Tokk ... Tokkk!" Aku mengetuk pintunya dengan perasaan yang gondok.

Klikkk ... pintu terbuka dari dalam, dan tak lama kemudian muncullah sosok Pak Armando dari balik pintu itu.

''Poo ... '' tegurnya kepadaku, ''ada apa?'' imbuhnya.

''Ada apa? Masih bisa kamu bilang begitu?'' Aku menatap wajah Pak Armando dengan sorot mata yang tajam penuh dengan kebencian.

''Apa maksudmu, Poo?'' ujar Pak Armando sok polos.

''Udah ... tidak perlu bersandiwara seperti main sinetron, Pak ... tak perlu kamu membuat kebohongan publik seperti Pak Setnov sang koruptor itu! Katakan padaku, apa yang telah kamu lakukan terhadapku di ruang UKS kemarin sore!''

Pak Armando ternganga dan terdiam untuk beberapa saat.

''Jawab, Pak ... dan jangan kamu berbohong!'' Aku menarik baju Pak Armando.

''Sorry, Poo ... aku memang salah. Aku khilaf.''

PLAKKK!

Satu tamparanku mendarat di pipinya.

''Kamu bilang, khilaf? ... Apa dengan bilang begitu kamu pikir aku akan memaafkanmu? Tidak! Tidak akan semudah itu!'' gertakku sambil memukul-mukul bahunya.

''Kamu sudah mencoblos mebelku!" lanjutku dengan nada kesal.

''Iya, Poo ... Sorry ... Aku sunguh-sungguh menyesal dan meminta maaf dengan tulus kepadamu ...''

''Dulu saat kamu menciumku, aku bisa memaafkanmu ... tapi untuk yang kedua ini aku belum bisa terima, Pak ... kamu menyodomiku dengan cara sadis!''

Tiba-tiba aku menangis karena terbawa suasana yang sangat emosional ini. Aku terus memukul-mukul bahu dan dada Pak Armando.

''Kamu jahat!''

''Kamu tega!''

"Kamu cabul!"

"Dasar Maho!"

Pak Armando hanya diam dan merunduk.

''Aku tanya sama kamu ... siapa orang yang membantumu untuk memuluskan aksi bejatmu, Pak? Jawab!'' bentakku.

"Poo ... please! Saya mohon maaf sama kamu, ini tulus dari dalam hatiku ...'' Pak Armando berusaha menenangkan aku.

''Tenang saja ... aku tidak akan melaporkan perbuatanmu asal kamu jujur kepadaku dan memberitahukan aku siapa saja yang terlibat ...''

''Sungguh, kamu ingin tahu siapa yang membantuku?''

''Iya!''

''Dia adalah temanmu sendiri, Poo ...''

''Siapa?'' Aku menarik kerah baju Pak Armando lagi.

Pak Armando tidak langsung menjawab, beberapa detik dia menarik nafasnya, kemudian ...

''Rudy ...'' jawab Pak Armando sambil menepis tanganku dari kerah bajunya.

''Apa!''

Bagai mendengar geledek di siang bolong, ketika Pak Armando menyebutkan nama Rudy. Aku tak percaya kalau teman main sekaligus tetanggaku itu terlibat dan sekongkol dengan Pak Armando untuk melecehkan aku.

''Rudy? Tidak mungkin! Aku tidak percaya itu!'' Aku kembali menarik baju Pak Armando.

''Ya Poo, dia yang membantuku untuk mengangkat tubuhmu dan meletakannya ke dalam toilet sebelum teman-teman sekelasmu menemukanmu."

''Tidak mungkin ... mengapa dia setega itu ... kamu pasti bohong!''

''Tidak, Poo ... aku tidak berbohong ... ini benar!'' Pak Armando melepaskan cengkraman tanganku dan menghempaskannya jauh-jauh.

''Kenapa ... kenapa dia setega itu?''

''Aku tidak tahu, Poo ... kamu tanyakan saja pada dia!''

''Bangsaatttt!'' teriakku meraung-raung.

Tubuhku terasa lemas sekali. Aku benar-benar seperti kehilangan tenaga. Pengakuan Pak armando membuatku kehilangan kendali. Aku menagis di depan Pak Armando. Aku masih shock dan tak percaya kalau salah satu teman terbaikku tega melakukan itu terhadapku.

Sungguh biadap!

Siguiente capítulo