webnovel

19. Pisang

Gelora 💗 SMA

"Sampurasun!'' ujarku agak keras pas di depan pintu rumah Rudy yang setengah terbuka.

''Rampes!'' sahut seseorang dari dalam. Suaranya milik seorang perempuan.

Tak lama kemudian dari balik pintu itu muncul Bibi Yanti, Ibunya Rudy yang sedang menggendong Rini (Adik perempuan Rudy) yang masih bayi.

''Eh ... Polo, mau jenguk Rudy, ya?'' kata Bi Yanti tepat menebak.

''Ya, Bi ...'' jawabku semangat.

''Langsung masuk aja, Poo ke kamar Rudy ... dia lagi tiduran bareng temannya, mungkin kamu kenal juga!''

''Ya, Bi, terima kasih.''

Aku masuk ke dalam rumah yang cukup besar ini, lalu aku langsung bergerak menuju kamar Rudy. Sebelum aku memasuki kamar itu aku berjalan lambat dan mengintip ruangan tidur Rudy dari balik celah pintu yang rada terbuka. Dari celah inilah aku bisa memperhatikan seisi ruangan. Dan saat ini aku menyaksikan kedekatan Rudy dan Randy. Awalnya aku ingin langsung masuk dan bergabung dengan mereka, namun aku menahan niat itu dan lebih memilih untuk berdiam diri di balik pintu. Aku mendengarkan percakapan di antara Rudy dan Randy.

''Randy ... terima kasih ya, kamu udah mau jenguk aku,'' kata Rudy dengan suara yang lirih mungkin dia masih terasa letih.

''Ya, Rud ... buruan kamu lekas sembuh biar bisa sekolah lagi. Aku kesepian tahu, di kelas kalau tidak ada kamu."

''Hehehe ... kamu bisa aja, Ran ...''

''Beneran Rud, di kelas gak ada kamu gak rame."

''Hehehe ...'' Rudy tersenyum.

"Kamu sakit apa sih, Rud?  Beberapa hari saja kamu udah terlihat tirus begini?'' Tangan Randy mengusap-usap pipi Rudy dengan lembut.

''Kata dokter sih, aku cuma kecapekan aja jadi perlu istirahat yang banyak.''

''Oh ... aku pikir kamu pura-pura sakit aja Rud, karena kamu malas datang ke sekolah.''

''Hahaha ... sialan!'' Rudy meninju bahu Randy. ''Ya, nggaklah ... aku beneran sakit.'' Rudy cemberut manjah.

''Ya, udah biar kamu cepet sembuh kamu minum obatnya terus istirahat yang cukup!''

''Siap, Pak Dokter ...''

''Hehehe ...'' Randy tertawa, Rudy tertawa, aku tertawa dalam hati.

''Oh Ya, Rud ... aku bawain buah Pisang ... kamu, mau?'' Randy mengeluarkan satu sisir pisang yang kami beli di pasar tadi.

''Pisang?'' Rudy memicingkan matanya.

''Ya ... pisang itu kandungan vitaminnya bagus lho, buat masa penyembuhan,'' terang Randy antusias.

''Ya deh, aku mau, Ran ...'' kata Rudy terdengar lebih bersemangat.

''Kalau kamu mau, aku akan mengupaskan buat kamu ... kamu cukup duduk manis aja, Rud!'' ungkap Randy.

''Baiklah ...'' sahut Rudy dengan wajah berbinar-binar.

Randy mengupas kulit pisangnya perlahan-lahan, kemudian dengan penuh pengertian dia menyuapkan pisang itu ke mulut Rudy. Adegan ini benar-benar so sweet banget. Aku tidak menyangka kalau Randy punya jiwa persahabatan yang begitu besar terhadap Rudy. Jujur saja aku jadi iri melihat kedekatan mereka berdua, karena aku sendiri tidak memiliki teman sekelas yang sebaik dan sedekat itu. Entahlah, aku merasa ada api cemburu yang diam-diam menyelimuti hatiku, aku jadi tidak percaya diri begini. Anehnya lagi, kok aku tidak rela ya, melihat sikap Randy begitu kepada Rudy.

''Lho, Polo ... kok, kamu masih di luar?'' tegur Bibi Yanti yang melihatku terpaku di depan pintu kamar Rudy, ''masuk aja!'' lanjutnya berseru.

Suara Bibi Yanti yang keras membuat Randy dan Rudy jadi mendengar, mereka langsung menoreh dan menatap ke arahku.

__Duh ... ketahuan deh, kalau aku lagi menguping dan mengintip mereka. Aku jadi malu, mukaku langsung memerah seketika seperti memakai topeng wayang.

''Polo ... kamu sudah nongol!'' ujar Randy.

''Hihihi ...'' Aku meringis.

''Ayo sini, Poo!'' Rudy melambaikan tangannya.

''Iya ..'' Dengan langkah yang berat aku mendekati mereka.

''Hai, Rud ...'' sapaku canggung sambil memperhatikan raut wajah Rudy yang masih nampak pucat.

''Hai, Polo,'' balas Rudy sembari mengunyah pisang yang disuapkan Randy ke mulutnya.

''Sorry, aku baru sempat jenguk kamu, Rud ...''

''Tidak apa-apa, Poo ... santai aja. Sini duduk!'' Rudy menarik tanganku dan memaksa untuk duduk di tepi ranjang bersama Randy.

''Kalian berdua itu sahabat-sahabat terbaikku,'' tutur Rudy berlanjut.

''Hehehe ...'' Aku dan Randy saling berpandangan kemudian kami terkekeh bebarengan.

''Aku senang punya teman seperti kalian, punya rasa peduli dan solidaritas yang tinggi terhadap temannya,'' tutur Rudy lagi.

''Aku juga senang kok, punya teman seperti kamu, Rud ...'' timpal Randy.

''Iya, aku juga seneng ...'' imbuhku sembari memeluk tubuh Randy dan Rudy. Kami bertiga berpelukan seperti personel teletabies. Saling menguatkan dan saling memberikan dukungan. Meskipun kelihatannya agak lebay, sih. Mana ada persahabatan sesama cowok sampai bertindak alay semacam ini. Tapi kami bertiga tidak peduli.

Siguiente capítulo