webnovel

Risen

Sepanjang hari Bara terus mengulang-ulang nama lengkapnya di dalam hati. Perbincangannya dengan Kimmy pada dini hari tadi membuka matanya tentang hidupnya yang kini sudah benar-benar berubah. Saat ini bukan perihal mencari uang untuk melunasi kontrakan atau untuk makan sehari-hari yang menjadi beban pikirannya. Saat ini bebannya justru pada apa yang dimilikinya.

"Hoi bengong aja lu," Kimmy mengagetkan Bara yang sedang menyendiri di tepian kolam renang.

"Apa sih," Bara menjawab dengan sedikit kesal.

Kimmy kemudian duduk di sebelah Bara.

"Daripada bengong melulu, mending ikut gue ke galery, ada pembukaan pameran baru."

"Gue ngga ngerti apa-apa soal seni."

"Lu ngga perlu ngerti seni untuk bisa menikmati karya seni, gue juga ngga ngerti-ngerti banget soal seni, tapi gue menikmati setiap kali gue lihat karya seni, gue kagum sama orang-orang yang bisa menghasilkan karya seni."

Bara terdiam sejenak mendengar perkataan Kimmy.

"Gue harus datang sebagai Bara?"

"Ya iyalah sebagai Bara, kan ngga selamanya lu harus nyembunyiin siapa lu sebenarnya, lagian pembukaan kali ini khusus untuk tamu undangan, sebelum nanti dibuka untuk umum."

"Gue masih minder."

"Apa yang lu minderin sih, ngga ada yang perlu lu minderin lagi sekarang, itu galery juga sebentar lagi jadi milik lu."

"Tapi kim,"

"Udah, lu kebanyakan tapi, ayo buruan ganti baju." kimmy menarik Bara untuk segera masuk ke kamarnya. Kimmy kemudian langsung melangkah ke dalam walking closet di kamar Bara dan memilihkan pakaian yang akan Bara kenakan. Kimmy menjatuhkan pilihannya pada kaus turtleneck hitam yang dipadukan dengan jas berwarna maroon dan celana bahan berwarna hitam.

"Nah pakai itu," ujar Kimmy sambil memberikan pakaian yang sudah ia pilihkan pada Bara. "Cepat ganti baju," Kimmy meminta bara untuk segera berganti pakaian.

"Sekarang?"

"Ngga, nanti pas lebaran," jawab Kimmy yang kesal dengan pertanyaan Bara.

"Oke." Bara menggoda kimmy dengan merebahkan tubuhnya di sofa yang ada di dalam walking closetnya.

"Ya sekarang lah Bara," Kimmy merajuk kesal pada Bara dan menarik tangannya.

"Iya, iya." Bara bangun dari sofanya sambil tertawa dan berjalan menuju ke bilik kecil yang ada di dalam walking closetnya untuk berganti pakaian.

Bara segera melepaskan kaus yang dia kenakan dan menggantinya dengan kaus turtleneck yang dipilihkan Kimmy.

"Wow, phoenix," seru Kimmy ketika sekilas melihat tato burung phoenix di punggung Bara.

Bara menoleh kaget mendengar ucapan Kimmy.

"Lu ngawasin gue ganti baju?" tanya Bara kesal.

"Gue baru tahu lu punya tato," Kimmy menjawab tanpa menghiraukan Bara yang kesal.

"Itu buat nutupin bekas luka," sahut Bara.

"Bekas luka? Coba gue lihat lagi." Kimmy berjalan mendekat ke arah bara dan mengangkat bagian belakang kaus bara untuk melihat tato yang dimiliki bara dari dekat. Kimmy memperhatikan dengan seksama tato bergambar burung phoenix berwarna hitam milik Bara. Pada bagian ujung sayap dan ekor burung phoenix tersebut diberikan aksen warna orange, sehingga tampak seperti percikan api. Jika diperhatikan dari dekat, terdapat guratan bekas luka pada punggung Bara. Guratan luka tersebut tersamarkan dengan baik berkat hadirnya tato burung phoenix yang menghiasi punggung bara. Kimmy kemudian menurunkan kembali kaus Bara dan merapihkannya.

"Gue ngga tahu sekeras apa hidup yang lu jalanin selama ini, tapi setelah gue lihat bekas luka lu, gue jadi tahu kehidupan seperti apa yang lu jalanin," ujar Kimmy.

"Udahlah itu ngga usah dibahas lagi, lagipula itu jadi pelajaran hidup buat gue."

"Ngomong-ngomong katanya dulu lu cari uang buat makan aja susah, tapi kok bisa sampai bikin tato sebagus itu?"

"Tatonya gue tuker sama jasa."

"Maksudnya?"

"Jadi, di tempat gue biasa markir dulu ada studio tato. Gue bilang sama yang punya studio, gue mau bikin tato tapi duit gue ngga cukup, gue tawarin buat bantuin bersih-bersih ditempatnya. Pas banget karyawan dia yang buat bersih-bersih lagi mudik, jadilah gue punya tato sekarang," jawab Bara sambil terkekeh.

Kimmy melongo mendengar penjelasan bara.

"Lu mau lihat gue ganti celana juga?" tanya Bara yang sudah bersiap untuk membuka celananya.

"Ngga lah, males banget."

"Terus, ngapain lu masih disini?"

"Ya udah, gue tunggu diluar."

Kimmy segera melangkah keluar dari walking closet dan menunggu Bara di teras kamarnya.

***

Bang Jali pergi berziarah ke makam anak pertamanya yang berada di pemakaman umum. Hari itu rasanya dia sangat merindukan puteranya yang sudah lama tiada. Ditengah perjalanan akan kembali dari pemakaman, dari kejauhan Bang Jali seperti melihat siluet pria yang mirip dengan Pak Ardan. Bang Jali mencoba mendekat untuk memastikan apakah yang dia lihat benar Pak Ardan.

"Ardan!" Bang Jali berteriak memanggil Pak Ardan.

Pak Ardan menoleh. Benar dugaan Bang Jali, pria yang dia lihat adalah Pak Ardan. Seketika Bang Jali langsung naik pitam begitu melihat pria yang dia lihat benar-benar Pak Ardan.

"Bajingan lu ya." Bang Jali mendaratkan bogem mentah ke wajah Pak Ardan.

Pak Ardan memegang pipinya yang ngilu akibat pukulan Bang Jali. Pak Ardan mendekat ke Bang Jali dan memegangi kerah baju Bang Jali.

"Berani-beraninya lu mukul gue, hah!" ucap Pak Ardan sambil memegang kuat kerah baju Bang Jali.

"Orang brengsek kaya lu emang pantes di pukul." Bang Jali menggenggam tangan Pak Ardan dan menarik tangan Pak Ardan yang memegangi kerah bajunya.

"Masih berani lu datang kesini, lu udah bikin bini lu sendiri meninggal, habis itu lu pergi gitu aja ninggalin hutang, anak lu hampir mati gara-gara lu juga, brengsek!" Ucap Bang kalinya sambil mendorong Pak Ardan.

"Lu tahu, si Bara hampir mati dikeroyok sama preman yang ngejar-ngejar lu," Bang Jali melanjutkan ucapannya sambil terus mendorong Pak Ardan. Sampai akhirnya pak ardan terpojok di sebuah pohon besar yang berada di pinggir pemakaman.

"Anak itu emang harusnya mati," ucap Pak Ardan pelan.

"Apa lu bilang?" kali ini Bang Jali yang mencengkeram erat kerah baju Pak Ardan.

"Anak itu harusnya mati, dia itu cuma beban buat hidup gue," Pak Ardan berkata sambil setengah berteriak.

"Untungnya sekarang Bara udah ketemu keluarganya, jadi dia ngga perlu hidup sama orang tua brengsek macam lu." Bang Jali melepaskan cengkramannya dan mencoba mengatur emosinya.

"Apa maksud lu?"

"Gue udah tahu, Bara bukan anak kandung lu."

"Siapa yang ngasih tahu lu?"

"Bara."

"Jadi maksud lu, Bara sudah kembali ke keluarga Pradana?" Pak Ardan bertanya dengan ekspresi wajah ketakutan.

"Lu tahu darimana kalau keluarga Bara itu keluarga Pradana?" Bang Jali balik bertanya pada Pak Ardan.

"Minggir lu." Pak Ardan mendorong badan Bang Jali yang berdiri di hadapannya dan berjalan melewatinya.

Bang Jali mengejar Pak Ardan yang sudah berjalan cepat menjauhinya.

"Mau pergi kemana lu?" Bang Jali kembali memegang bahu Pak Ardan begitu berhasil menyusul langkahnya.

"Jangan sentuh-sentuh gue lagi." Pak Ardan berbalik dan kembali mendorong tubuh Bang Jali.

"Satu lagi, jauhi Bara kalau lu ngga mau kena sial," Pak Ardan melanjutkan ucapannya kemudian kembali berjalan menjauhi Bang Jali.

Sementara itu, Bang Jali terdiam mendengar ucapan Pak Ardan. Ucapan Pak Ardan terdengar seperti sebuah peringatan.

Pak Ardan berjalan cepat menuju gerbang keluar pemakaman umum. Begitu sampai di gerbang keluar, pak ardan memanggil seorang tukang ojek. Dipikirannya saat ini adalah dia ingin pergi sejauh mungkin. Seorang tukang ojek menghampirinya, belum sempat Pak Ardan menaiki motor tukang ojek tersebut, sebuah mobil SUV hitam berhenti tepat di depan mereka. Lalu muncul sekelompok pria berpakaian hitam-hitam dan mendatangi Pak Ardan. Tukang ojek yang ketakutan segera menyalakan motornya dan meninggalkan Pak Ardan. Pria-pria tersebut berdiri mengerubungi Pak Ardan.

"Apa-apaan ini?" Pak Ardan berteriak ketakutan ketika dua orang pria memegang kedua tangannya.

"Bawa masuk." Seorang pria yang sepertinya ketua dari kelompok tersebut memberikan instruksi pada anak buahnya untuk membawa Pak Ardan masuk ke dalam mobil.

"Gue mau dibawa kemana?" Pak Ardan meronta-ronta mencoba melawan pria yang memegangi tangannya. Akan tetapi tenaga Pak Ardan tidak ada apa-apanya jika dibanding dengan dua pria tersebut. Dua orang tersebut dengan mudahnya membawa masuk pak ardan kedalam mobil. Kemudian seorang diantara mereka mengeluarkan kain hitam dan menutupi kepala pak ardan dengan kain tersebut, seorang lagi mengikat tangan pak ardan menggunakan pengikat kabel. Pak Ardan hanya bisa pasrah. Kali ini hidupnya benar-benar berada di ujung tanduk.

***

Bara dan Kimmy tiba di galery untuk menghadiri pembukaan pameran lukisan. Begitu tiba mereka langsung disambut hangat oleh manager pengelola galery tersebut. Manager tersebut berbisik pada Kimmy untuk menanyakan tamu yang dibawa bersama Kimmy. Kimmy memberitahu manager itu bahwa yang datang bersamanya adalah putra mendiang Ibu Rania, pemilik gallery tersebut. Manager tersebut kaget dan segera mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Bara sambil memperkenalkan dirinya. Bara menyambut jabat tangan manager itu dengan ramah. Mereka diajak berkeliling untuk melihat karya seni yang sedang dipamerkan. Setelah selesai melihat karya seni lukis yang sedang dipamerkan, mereka dibimbing untuk ke halaman belakang galery tersebut. Disana terdapat sebuah taman yang dijadikan sebagai tempat jamuan untuk pembukaan pameran.

"Eyang juga datang kesini?" Bara berbisik pada Kimmy ketika melihat Pak Haryo sudah duduk di kursi yang berada di samping panggung.

Pak haryo nampak sedang berbincang dengan seorang pria yang mungkin seumuran dengannya. Pria tersebut mengenakan kain sarung khas bali yang dipadukan dengan atasan model kimono dan rambutnya yang berwarna perak dibiarkan tergerai di bahu, tidak lupa kacamata bulat yang disampirkan di kepalanya.

"Iyalah, ini kan pamerannya sahabat sekaligus seniman favorit eyang." Kimmy menjelaskan pada Bara.

Mereka kemudian menghampiri tempat duduk Pak Haryo.

"Seru banget ngobrolnya," Kimmy menyela obrolan Pak Haryo.

"Kimmy!" Seru seniman di sebelah Pak Haryo begitu melihat Kimmy.

"Lama kita ngga ketemu, kamu semakin cantik saja." Seniman itu melanjutkan dan berdiri menghampiri Kimmy kemudian merangkulnya.

"Pak Ketut bisa aja," Kimmy tersipu mendengar ucapan Pak Ketut.

"Siapa di sebelah kamu?" Pak Ketut melirik kearah Bara.

"Oh saya tahu, kamu pasti Bara?" Pak Ketut melepaskan rangkulannya pada Kimmy dan beralih pada Bara.

"Senang akhirnya kamu kembali," Pak Ketut kemudian merangkul Bara.

Meskipun salah tingkah, Bara membalas rangkulan Pak Ketut.

"Dulu kamu sekecil ini, sekarang kamu bahkan lebih tinggi dari saya." Pak Ketut melepaskan rangkulannya dan bercanda bahwa dulu bara hanya setinggi pinggangnya.

Seorang MC naik ke atas panggung dan mempersilahkan semua tamu undangan untuk duduk di kursinya masing-masing.

"Oh acaranya sudah dimulai, mari kita duduk dulu," Pak Ketut kemudian kembali ke tempat duduknya. Bara segera duduk di sebelah Kimmy.

Setelah MC selesai memberikan sedikit sambutan mengenai pameran yang akan digelar, MC tersebut mempersilahkan Pak Ketut memberikan sambutan dan menceritakan tentang pameran yang digelarnya saat ini. Pak Ketut bercerita tentang tema lukisannya kali ini yaitu tentang pencarian. Pak Ketut bercerita dengan santai sambil sesekali diselingi dengan candaan. Para tamu dibuat tertawa dengan becandaan ala Bapak-Bapak yang dilontarkan Pak Ketut. Sehingga para tamu undangan tidak merasa jenuh dengan penjelasan Pak Ketut. Menjelang akhir penjelasannya Pak Ketut bercerita tentang seorang sahabatnya yang tidak pernah lelah mencari sesuatu yang berharga baginya. Pak Ketut bercerita bagaimana usaha sahabatnya menemukan kembali cucunya yang telah lama hilang. Jerih payah sahabatnya akhirnya berbuah manis.

"Cucu sahabat saya, Bara Aditya Pradana akhirnya ada ditengah kita semua, selamat datang kembali Bara," ucap Pak Ketut sambil menunjuk kearah bara.

Sontak para tamu undangan ikut menengok kearah yang ditunjuk Pak Ketut. Bara yang terkejut dengan ucapan Pak Ketut hanya menganggukkan kepalanya pada Pak Ketut sambil tersenyum. Pak Ketut kemudian turun dari panggung lalu menghampiri Pak Haryo dan Bara. Pak Ketut mengajak keduanya untuk berdiri dan merangkul erat keduanya. Para tamu undangan yang lain ikut berdiri dan memberikan tepuk tangan pada mereka.

***

Siguiente capítulo