webnovel

Rencana balas dendam [7]

Direktur Choi dengan cepat pergi menjauh dari kerumanan di depan pintu.

Disana Earl, menatap sekretaris itu dengan biasa. Ia tidak merubah posisi berdirinya dan tetap bersandar pada tembok. Sekretaris itu nampak linglung sesaat karena bingung harus melakukan apa saat ini. Namun, seketika ia tersadar dari situasi buruk ini dan langsung mengahadap Earl.

"Hey... aku tahu kita tidak saling mengenal. Tapi bisakah aku minta bantuanmu? Aku tidak bisa mengkondisikan suasana di kamar Presdirku. Dan kurasa ini karena kesalahpahaman dan juga resepsionis yang salah memberiku kunci kamar. Aku harap kau bisa membantuku membubarkan orang-orang disini. Ini privasi presdirku. Kumohon, bantulah aku. Aku akan ke bawah sebentar untuk menanyakan hal ini pada resepsionis," Earl langsung menahan lengan sekretaris itu.

"Nona Emma, tidak perlu melakukan itu. Aku ingin berbicara denganmu sebentar," Sekretaris itu menatap Earl bingung. Ia terhenti dan mulai terlihat bertambah bingung setiap kali ia menatap Earl yang tersenyum ramah padanya.

"Aku tidak pernah memberitahukan namaku sebelumnya," Emma menatap Earl begitu tajam. Tampak sekali ia tidak suka jika seseorang berusaha akrab dengannya.

"Perkenalkan, aku Earl Camilia. Aku anggota militer di distrik A. Bisakah aku meminta Nona Emma memeriksa tas kecil anda sebentar?" Emma membelalakkan matanya lagi.

"E-Earl? Na-namamu Earl?" tanya Emma ketakutan setengah mati. Entah, berapa kali ia harus mendapat kejutan seperti ini. Beruntung jantungnya kuat.

"Benar, itu namaku," Earl mengangguk pelan. Earl menahan kekehannya saat melihat ekspresi Emma seperti melihat hantu di tengah pemakaman. Emma memundurkan kakinya selangkah menjauh dari Earl.

"Bekerjasamalah denganku, Nona Emma. Periksalah tas kecil anda sekarang," Emma dengan sesegera mungkin membuka tas kecilnya yang ia selempangkan di pundaknya. Dengan gerakan terburu-buru, Emma menemukan benda hitam panjang di dalam tasnya dan terkejut bukan kepalang.

"I-ini bukan milikku. Sungguh! Aku bersumpah ini bukan milikku," kata Emma ketakutan setengah mati. Ia tidak ingin terlibat dalam masalah presdirnya. Tetapi melihat alat aneh di tasnya tentu saja membuatnya hampir pingsan. Earl tersenyum kembali.

"Itu milikku. Tenanglah, Nona Emma. Semua tidak akan melibatkanmu terlalu jauh," Emma menatap Earl selidik.

"Bagaimana bisa? Kita baru bertemu dua kali dan aku bahkan tidak mengenalmu sama sekali," Earl tampak tenang ketika ia menatap Emma. Setidaknya, jika ia dalam posisi Emma, ia justru akan langsung mengintrogasinya bahkan menyulitkan.

"Aku akan menjelaskannya setelah ini. Bisakah aku mendapatkan alatku?" Emma menggenggam erat alat itu.

Emma sosok wanita cerdas. Ia sangat yakin alat perekam suara ini telah aktif saat dimasukkan ke dalam tasnya. Belum lagi setelah berpikir cepat, masa depannya tergantung pada alat ini. Matanya sangat tajam menatap Earl. Walaupun sebelumnya ia mendengar Earl seharusnya sudah mati saat ini, tetapi wujud yang di hadapannya adalah Earl. Jelas sekali pandang pun Emma paham sekali, mereka berempat yang menunggu dengan tenang di depan pintu kamar adalah orang yang akan berpengaruh. Tidak salah lagi, mereka akan membawa ini ke ranah hukum.

"Kau tahu sekali, Earl. Alat ini akan menentukan masa depanku seperti apa. Aku tidak tahu seperti apa aku nanti jika terlibat dengan keluarga Krisnewn setelah ini ku berikan padamu. Aku dan keluarga kecilku jelas hanya warga biasa, tidak punya kekuatan untuk melindungi diri dari keluarga upstair seperti kalian," Emma menahan alat perekam itu dan menatap Earl tepat di matanya. Mencari letak keraguan dalam mata itu. Namun sayang, Emma bukanlah ahli dalam mencari titik itu dalam tatapan seseorang.

"Aku tahu..." jawab Earl singkat.

"Kau bahkan tidak bisa menjamin keselamatanku... aku tidak akan memberikan ini padamu," putus Emma. Dokter Fei memutar matanya kesal.

"Nak, yang terlibat di dalam kasus ini tidak cuma Earl sebagai korban. Ada beberapa orang yang tidak bersalah yang dikambing hitamkan disini. Tidakkah kau mengerti situasinya sekarang? Demi tuhan, jika kau berada di posisi kami kau akan mengerti betapa kacaunya ini semua," Emma tetap diam. Ia menyembunyikan alat perekam itu di belakang tubuhnya. Benar-benar tidak ingin memberikannya pada Earl.

Earl merasakan atmosfer di lorong berubah menjadi tegang. Banyak orang yang melihat, bahkan petugas keamanan hotel pun berdatangan. Earl memusatkan perhatiannya pada Emma. Sejujurnya Earl tidak ingin melibatkan orang lebih banyak, hanya saja benar apa yang dikatakan Emma. Keluarga upstair selalu punya kuasa lebih untuk mengatur sesuatu sesuai keinginannya. Katakanlah uang di atas segalanya.

"Aku memang tidak bisa menjaminmu... pilihlah sesuai keinginanmu. Apa kau dapatkan keuntungan dengan menyimpannya seorang diri? Apakah Krisnewn akan membiarkan barang bukti ada padamu? Begitu pula aku... menahannya hanya akan merugikan dirimu sendiri," Earl berkata pelan. Tidak ingin masalah bertambah rumit dengan recokan para tetangga yang mencuri dengar. Emma terdiam.

Ayolah, Earl telah mengalami hari buruk setiap saatnya. Mengingatnya saja langsung membuat tubuhnya bertambah sakit. Kalian hanya belum tahu saja mental Earl terkikis setiap saatnya karena Arthur yang pola dan tingkahnya lebih di atas rata-rata manusia normal. Mukjizat Earl mampu bertahan sampai saat ini.

Earl sebenarnya tidak ingin memojokkan Emma seperti ini, tetapi seperti inilah cara ia bermain bersih. Ketimbang Arthur. Ia sudah siap dengan acara bakar-bakar rumah Krisnewn jika mereka ingin tahu. Earl menggelengkan kepalanya, kacau sekali terakhir kali ia berdebat dengan Arthur.

Braakk

Belum sempat Earl bereaksi saat pintu kamar tiba-tiba terbuka. Menampilkan Adney disana yang keluar dengan wajah merah padam karena amarah. Belum sampai ia menelan ludah dengan tenang saat ia tercekat melihat Earl berdiri bersama sekretarisnya. Demi tuhan, ia merasakan seperti malaikat pencabut nyawanya sudah siap menarik rohnya keluar. Dengan segera Adney menatap Earl angkuh sebelum ia melanjutkan langkah kakinya, pergi dari kamar dan meninggalkan kerumunan. Itu urusan anaknya, ia tidak akan mengotori tangannya untuk membereskan kebodohan anaknya. Sudah cukup Adney bersabar menghadapinya.

Earl menatap Andey dan terdiam. Mengutuk pria itu dalam hati, Earl tahu jelas Adney tentu menaruh dendam padanya. Dan setelah ia membereskan anak perempuannya yang kurang ajar itu, Earl harus membereskan tua bangka itu walaupun tidak mudah. Michele terlalu bodoh saja tidak menggunakan kekuasaan ayahnya atau kekuatan lain untuk melawan Earl. Malah menggunakan cara hina seperti itu. Malah menguntungkan Earl karena jalan pikirannya yang hanya ada dendam dan dendam. Yang entah awal mula dendam dari apa. Earl sebenarnya juga bingung.

Setelah beberapa saat keadaan hening, Michele keluar bersama dengan Aland. Ia berjalan tertatih dibantu oleh Aland berjalan keluar dari kamar. Memapahnya. Disana Emma bahkan membuang mukanya tidak sanggup melihat Michele yang babak belur dihajar ayahnya. Sekujur tubuhnya terdapat memar yang mulai membiru. Gaun malam yang ia kenakan tidak mampu menutupi tubuhnya yang ringkih.

.

.

.

To be continued

Siguiente capítulo