14. Setengah Memory
Jadi benar pendapat bahwa tersangka biasanya orang yang tidak pernah kita duga.
***
"Tepat di depan matamu ada sungai mengalir luas sebuah sungai yang besar.."
"Dih. Ganti!" Raskal meraih ponsel Satya yang terhubung di audio portable dan mulai mengganti lagu.
"If I had to live my life without you near me. The days would all be empty. The nights would seem so long.."
Satya tidak mau kalah. Ia menendang Raskal dan mulai mengganti lagu lagi. Ini rumahnya jadi Satya yang lebih berhak dan berkuasa.
"Bertemu denganmu dan selalu bersama masa remaja kita yang penuh kenakalan. Kita tahu bahwa hal yang teramat penting tuk kehidupan ini berada di masa depan.."
Geram, Raskal menjambak rambut Satya membuat Satya mengaduh. Raskal mengibarkan bendera perang rupanya. Debat dan adegan jambak-tendang-pukul-toyor pun tidak dapat terelakkan.
"Mati lo sipit!" teriak Satya sambil menarik baju Raskal.
"Eh lo mau perkosa gue?"
"Diem lo china rasis!!"
"Lo yang diem pipi bolong!!"
Klek
Alta menarik kabel audio portable yang terhubung dengan stopkontak kemudian menghempaskan tubuhnya diatas kasur.
Satya dan Raskal langsung terdiam. Satya memilih keluar kamar setelah menjitak kepala Raskal terlebih dahulu sedangkan Raskal mulai mengambil kue kering di meja belajar Satya dan memakannya.
Sepulang sekolah tadi Alta dan Raskal memang langsung ke rumah Satya dan sejak tadi kedua temannya itu tidak berhenti berdebat hanya karena lagu dan itu membuat Alta kesal.
Alta memejamkan matanya sejenak, mencari sedikit ketenangan. Namun yang dirasakannya justru perasaan yang membawanya lompat ke masa lalu. Memori otaknya seakan dipaksa untuk kilas balik ke masa yang sensitif baginya. Alta membuka mata memandang langit-langit kamar dengan tatapan kosong kemudian menoleh ketika Satya masuk menggendong dua ekor kucing.
Satya meletakkan hewan tersebut di lantai, membiarkan keduanya bermain-main. "Kenalin nih, namanya Raskal sama Bintang."
"Anj*r, gue disamain sama kucing buluk." Raskal meletakkan stoples kuenya dan memperhatikan hewan yang dimaksud Satya.
"Enak aja kucing buluk. Mereka leopard!"
Mendengar itu, Raskal segera beranjak ke atas kasur dan duduk disamping Alta yang masih berbaring. Raskal menepuk lengan Alta saat melihat salah satu bayi leopard tersebut menguap memperlihatkan taringnya.
Keluarga Satya memang aneh. Rumah mereka sudah seperti kebun binatang melihat banyaknya hewan yang dipelihara disini. Dari singa, leopard, iguana, trenggiling dan masih banyak lagi. Ayah Satya yang menjabat sebagai pegawai negeri sipil itu memang penyayang binatang. Ia tidak akan keberatan atas keberadaan banyak hewan disini meskipun ia harus bolak-balik ke BKSDA untuk membuat izin memelihara binatang.
Cukup lama mereka asik dengan kegiatan masing-masing. Satya masih bermain-main dengan bayi leopardnya sedangkan Raskal yang sudah mendengkur di samping Alta yang masih melamun.
Deringan ponsel mengembalikan Alta ke dunia nyata, ia meraih benda pipih tersebut dan mendapati notifikasi line terpampang dilayarnya. Ia membukanya dengan sedikit kesal.
Kendy
Jemput gue di bandara. Cepet!
Alta mendengus. Namun, tak urung ia berdiri dan memakai jaketnya kembali.
"Mau kemana lo?" tanya Satya.
"Bandara," jawab Alta singkat dan langsung berjalan ke luar kamar.
Satya melongo. "Ngapain lo ke bandara? Ngecengin pramugari?!" teriak Satya absurd.
Alta tidak menggubrisnya. Ia segera berlari ke arah mobilnya dan langsung menuju bandara. Alta tidak berhenti mendengus ketika ponselnya dibombandir notifikasi dari orang yang akan dijemputnya.
Sesampainya di bandara ia segera menghubungi Kendy dan menyuruhnya langsung ke parkiran saja. Namun apa daya Kendy yang sangat menjengkelkan itu malah menyuruhnya menjemput ke dalam karena bawaaannya banyak.
Ia mengedarkan pandangannya ketika sampai di terminal 2 bandara Soekarno-Hatta, saat hendak menghubungi Kendy kembali, seseorang menepuk pundaknya dari belakang membuat Alta menoleh.
"Baby Altaaaaaa," Kendy menghambur memeluk Alta yang hanya diam saja membuat Kendy melepaskan pelukannya. "Cepat bales pelukan gue," perintahnya dan kembali memeluk Alta.
Alta mendorong tubuh Kendy dan mencoba melepaskan pelukannya. "Jijik. Ayo balik," Alta mengambil alih salah satu koper dan mulai beranjak dari tempatnya.
"Lo nggak kangen sama gue?"
"Nggak."
"Ah masa?"
Alta tidak menanggapi dan mempercepat langkahnya meninggalkan Kendy yang kerepotan dengan koper dan tas di tangannya.
"Jadi mana imbalan buat gue?" ucap Alta setelah Kendy berhasil mensejajarkan langkahnya.
Kendy menoleh sekilas lalu dengan berbagai pertimbangan ia mengeluarkan dompetnya. Ia mengambil selembar foto dan menyodorkannya pada Alta.
Alta mengambil foto tersebut kemudian berhenti berjalan diikuti Kendy. Napasnya seperti tercekat mendapati foto seseorang ditangannya.
Meskipun ia sudah terbiasa sebelumnya
"Sepertinya gue nggak perlu menjelaskan semua tentang dia. Gue rasa lo udah tahu. Jadi, ampas banget kalau gue cerita sama lo."
Kendy mendahului Alta yang masih diam di tempatnya. Kendy tahu bahwa tidak mudah untuk meredakan apa yang bergemuruh di hati Alta.
Semua butuh proses dan Alta memerlukan itu.
🎼🎶
Untuk siang kali ini langit terlihat sangat cerah, tidak tahu kalau nanti sore atau malam. Karena cuaca seperti hati manusia. Suka berubah-ubah dan sulit diterka.
Kalka sudah bersiap dengan amunisi andalannya, hairdrayer milik Lamanda. Sejak tadi ia membangunkan adik kembarnya itu tapi Lamanda hanya bergumam tidak jelas lalu kembali tertidur. Maka Kalka meraih hairdrayer yang terletak di meja rias kemudian mencolokkannya ke stopkontak di dinding dekat tempat tidur.
Suara dengungannya terdengar bising ketika Kalka mulai menyalakannya, ia mendekatkan ke kepala Lamanda membuat rambut gadis itu berterbangan. Kalka sudah cukup baik untuk tidak menyiram Lamanda dengan seember air karena bisa dipastikan ia akan disuruh menjemur kasur oleh bundanya nanti ditambah siraman rohani pagi plus-plus. "Al, bangun!"
Tidak ada respon. Lamanda bergeming dan masih bergelung dalam selimut tebalnya.
"Bangun nggak," Kalka semakin mendekatkan hairdrayer ke kepala Lamanda. "Panas kan? Ini pasukan negara api menyerang! Cepetan bangun!"
Merasakan rasa panas dan bising menjalar di telinganya Lamanda menggeliat kemudian menaikkan selimutnya menutupi kepala. Ia masih mengantuk.
Kalka tidak menyerah ia semakin gencar membangunkan Lamanda. "Wake up, little chicken! Aang sama Katara di depan rumah tuh, ayo bukain pintu entar kita serang balik negara api bareng-bareng," ocehan Kalka semakin absurd mungkin karena ia belum makan siang dan lapar.
Lamanda membuka selimutnya dan memandang Kalka tidak suka. Ia segera melempar selimutnya ke wajah Kalka kemudian duduk dan mengikat rambutnya asal, ia memejamkan mata sejenak mencoba mengumpulkan kesadarannya. "Lo overdosis film avatar kayanya," ucap Lamanda dengan suara parau.
"Lo tuh ya kalau ngomong suka bener," Kalka mematikan hairdrayer dan meletakkannya di atas nakas, kemudian melempar kembali selimut pada Lamanda yang sedang menguap lebar sambil meregangkan tangannya.
"Tumben pulang pagi," ucap Lamanda sambil melihat jam digital yang menunjukkan angka 09:23:42.
"Iyalah, guru gue 'kan baik." Kalka berjalan ke arah jendela dan membuka kordennya membuat sinar matahari menyeruak masuk. "Hari senin lo harus sekolah. Lo ketinggalan banyak pelajaran kalau libur terus."
Lamanda bergumam tidak jelas sambil mengangguk, memang sudah dua hari sejak kejadian di ruang musik waktu itu Lamanda memilih tidak masuk sekolah dengan alasan super kolot dan mainstream, sakit.
Ia masih belum siap bertemu dengan Vero ataupun Alta. Vero begitu menakutkan dan Lamanda merasakan suatu hal buruk akan menimpanya setelah ini. Lamanda masih mengingat jelas bagaimana Vero memperlakukannya dengan kurang ajar. Ia juga malu bertemu dengan Alta setelah kejadian nangis-menangis memalukan yang dilakukannya.
Tapi dari semua itu ada hal lain yang paling Lamanda ingat.
Lamanda menoleh ke arah Kalka yang saat ini sedang menghadap ke luar jendela kamar Lamanda, "Ka, lo kenal Vero?"
Ada jeda sedikit sebelum Kalka menjawab.
"Kenal," jawab Kalka singkat tanpa repot menoleh.
"Dia siapa lo?"
Tidak ada jawaban. Kalka diam dan masih setia melihat siluet gunung Gede Pangrango yang tampak dari kejauhan. View kamar Lamanda memang lebih bagus dari kamar Kalka, makanya ia lebih suka mengahabiskan waktu sekedar duduk di balkon kecil kamar Lamanda jika sedang senggang.
"Sahabat gue," Kalka menghampiri Lamanda dan duduk di pinggiran ranjang. "Kenapa?"
Lamanda menggeleng, ia tidak jadi menceritakan masalah tempo hari pada Kalka karena tidak ingin merusak persahabatan keduanya. Biarkan saja Lamanda menyimpannya sendiri. "Enggak, kemarin dia titip salam buat lo. Katanya apa kabar."
Dan Kalka tahu jika Lamanda berbohong. Vero memang sahabatnya tapi jika Vero masih menganggapnya demikian. Tidak mungkin Vero menanyakan kabarnya, melihatnya saja Vero enggan.
"Yaudah. Cepetan mandi sana. Kita berangkat jam tiga," perintah Kalka.
Lamanda segera menuju lemari dan mengambil pakaiannya lalu beranjak ke kamar mandi.
Setelah selesai mandi dan merapikan diri Lamanda langsung turun ke bawah menuju ruang keluarga. Disana sudah ada Kalka yang duduk sambil memainkan ponselnya, maka Lamanda duduk di sebelahnya.
"Tujuh jam, dua puluh depalan menit, empat puluh tiga detik lagi," kata Lamanda antusias. Nanti malam ia memang akan menonton konser 5SOS bersama Kalka, Arsya dan Kaila. Sudah lama mereka berempat tidak hang out bareng apalagi sejak Kalka dan Kaila bermasalah ditambah kepindahan Lamanda ke Amerika dulu.
"Alay lo," cibir Kalka.
"Biarin," bela Lamanda. Ia kemudian menyenggol lengan Kalka dan berkata, "Entar, kita jemput Kaila dulu ya."
Terdengar helaan napas Kalka. Tapi kemudian lelaki itu mengalah begitu melihat raut berbinar Lamanda. "Oke."
Lamanda tersenyum puas. Ia berharap setelah ini hubungan Kalka dan Kaila membaik meskipun tidak seperti semula.
Susah memang untuk memperbaiki suatu hubungan yang telah rusak karena terjatuh dan patah. Sama halnya seperti jatuhnya gelas yang mengakibatkan retak bahkan pecah, mau diperbaiki bagaimanapun tidak akan mengembalikannya seperti semula. Pasti akan meninggalkan bekas yang membuatnya berbeda.