webnovel

CHAPTER 27 : PEMBAWA PETAKA

"sudah kuduga kau bukan hanya penonton!"

"yaa… aku akan merebut pin itu darimu!"

Tak kusangka informasi dari orang itu sangat akurat, padahal di tempat yang sepi mencekam ini kukira takkan ada orang yang berani melewati tempat ini. Jalan yang bebatuan dikelilingi tumbuhan tebu nan tinggi bernuansa angker, akan membawaku pada sebuah jawaban.

"satu pertanyaanku—bagaimana bisa kau tau jalan rahasia ini? Apa kau juga melewati ruang bawah tanah?"

"eemm… tidak, aku bahkan tak mengerti dengan apa yang kau maksud. Seseorang hanya memberitauku, bahwa sang kelinci akan melewati tempat ini"

"dasar begal—enyahlah kau!"

Ini adalah pukulan pertama Steve, melesat dengan cepat mengenai pipiku. Aku sedikit lengah dengan gerakannya yang cepat, sialll… aku harus lebih fokus lagi untuk bisa membaca pergerakannya.

"maaf saja, aku bukan tipe orang yang menahan diri melawan wanita"

"justru aku lebih segan jika kau bertarung lebih serius lagi" lalu aku usap darah yang keluar dari mulutku

Segera Steve meloncat mengeluarkan serangan bertubi di udara—aku berusaha menghelanya menggunakan sisi balik telapak tangan. Begitu ia mendarat, langsung berputar dengan tendangan. Sekali lagi aku terkena serangan di perut, memukul mundur diriku hingga tiga langkah.

Bagaaimana ini? Kekuatan laki-laki memang berbeda dengan wanita, dia jauh lebih kuat dan lebih cepat daripada aku. Tubuhnya yang atletis itu pasti sudah ditempa selama bertahun-tahun.

Aku harus mencari celah untuk bisa menjatuhkannya—hmmm… benar juga kelincahan hanya bisa dilawan dengan kelincahan. Sejenak aku mengatur timer di jam tangan—hanya inilah kesempatanku, lebih dari sepuluh menit aku pasti akan tepar.

Mengambil acuan, aku melakukan salto depan dua kali melancarkan tendangan ke Steve. Seperti dugaanku ia mampu menangkisnya, kembali kau meloncat ke belakang untuk menjaga jarak. Lalu kami berdua berlari ke depan saling menyerang, gerakan-gerakannya mulai terlihat—aku bisa mengimbangi kecepatannya. Kami sudah berada pada satu frekuensi, irama yang sesuai ini bagaikan lantunan musik yang pas menemani tarian kami.

Aku harus mendapatkan celah, waktuku tak banyak. Namun, sampai sekarang aku belum bisa memukul dirinya. Bukanlah pertahanannya yang kuat—tapi gerakannya yang lincah sehingga pukulanku tak bisa mengenainya.

Hantamannya telah tiba, kali ini juga berhasil mengenai pundakku, aku harus membalas. Takkan kubiarkan kesempatan ini terlewatkan, kuraih lengannya itu sekuat tenaga aku membantingnya. Memang benar jika pukulanku tak bisa mengenainya, tapi setidaknya aku merasa berhasil membantingnya.

Seranganku tak berakhir di sana, berlari aku menendang dagunya selagi dia bangkit dari tanah. Kepekaan telah menolong Steve ia salto ke belakang—benar-benar langkah yang cermat. Angin berhembus melalui pori-poriku, selagi ia berada di udara inilah kesempatanku tuk menendangnya. Berkat itu dia terhempas ke pohon hingga merontokkan dedaunan yang masih hijau.

Tak hanya butuh kecepatan, tapi juga timing yang tepat dan penguasaan diri adalah kunci kemenangan pada pertarungan ini—kami sama-sama tau akan hal itu. Ia berdiri menepuk bahunya yang kotor lalu memasang kuda-kuda. Dari posisinya itu, aku merasakan bahwa ia akan menyelesaikan dalam serangan ini. Aku tak mau kalah, mengedepankan kaki kiriku dan kukepalkan kedua tanganku bersiap dari segala serangan.

Steve tak langsung menyerang, dia mulai berputar sepertinya dia berusaha mencari celah dariku. Sudah kuduga, ia mungkin akan melancarkan serangan terakhir yang bisa melumpuhkanku. Sekilas ia menghilang, pandanganku menjadi kabur… ini bukan ilusi melainkan gerakannya yang terlalu cepat bola mataku tak bisa mengikutinya. Tiba-tiba saja ia persis di hadapanku, dengan telapak tangan mengehempaskanku ke belakang—dasar anak yang diberkahi oleh angin.

Segera aku berdiri dan membentuk kuda-kuda lagi, kali ini ia menyerang dari segala arah. Aku mencoba untuk menghindar, tapi tetap saja terkena serangannya. Aku batuk beberapa kali, kurasa paru-paruku mulai bermasalah. Aku merasa sesak, udara di sekelilingku semakin tipis seakan ingin menghilang.

Aku tertunduk lutut berusaha menahan tubuku dan kepalan tangan ini mencoba bangkit dari tanah. Ritme… ritme… aku mencari ritme gerakannya, sebisa mungkin sedetik sebelum ia mengenaiku—aku harus terlebih dahulu menyerangnya. Yaa.. aku bisa mendengar rumput yang bergoyang, tetesan keringatnya, suara langkah kakinya semuanya terdengar, bahkan hembusan nafasnya.

Ini diaaaa… sorotan mata dari belakangku begitu tajam, jemari itu siap untuk memukul tengkuk leherku. Sebelum itu terjadi aku sudah melompat ke atas, dengan tumit kulancarkan serangan mengenai kepalanya membuatnya mencium tanah. Kuraih tangan kirinya—kuputar ke punggungnya sedikit saja dia melawan kupastikan tangan yang kupegang ini patah. Lalu aku duduk di atasnya, dan menekan tombol pada gelangnya.

Tik… tok… suara timer pada jam tanganku telah berbunyi, aku bersyukur bisa menyelesaikan pertarungan ini tepat waktu. Setelah tombol pada gelang ditekan, kini Steve tak mempunyai hak untuk melanjutkan ujian, dengan ini dia dinyakan gagal. Sukarela ia menyerahkan lencana kelinci dari sakunya kepadaku.

"memang hebat kau Alice… ternyata kau lebih lincah daripadaku"

"benarkah? Kurasa kau lebih cepat—karena angin berpihak padamu"

"hahahah… dasar gadis yang suka merendah! Pin itu cocok sekali denganmu, benar… kau ini mirip kelinci"

"hmm… kenapa?"

"yaa kau benar-benar lincah seperti kelinci, seberapa kuat predator yang ingin memangsamu kau berhasil lolos dari terkaman itu—itulah yang kurasakan saat melawanmu. Jadi apa tujuanmu mengincar pin kelinci itu? apa kau ingin masuk organisasi OSIS?"

"tidaak! Aku hanya ingin membebaskan teman-temanku—itu saja"

"sudah kuduga kamu ini…."

Pertarungan telah usai. Aku segera kembali untuk menyelamatkan teman-teman dari genggaman kelas B menuju rawa-rawa. Aku harus begerak cepat sebelum bantuan kelas A datang menghentikanku. Salah satu anak kelas B yang selalu mengawasiku langsung memanduku untuk kembali ke rawa.

Sesampainya di rawa teman-teman masih keadaan terikat di pohon. Seseorang dari belakang mendorongku untuk bersujud kepada Bocu yang tepat di hadapanku. Jelas aku tak sudi bertekuk lutuk padanya, refleks aku mengahantam wajah orang yang di belakangku, sialnya lenganku telah dihentika oleh Bocu bersamaan ia menunjukkan Mawar dan lainnya yang akan ditikam. Aku hanya bisa meliriknya penuh amarah

"aku sudah membawakan barang yang kau inginkan"

"ohhh… nona Alice memang hebat seperti biasanya" sambil bertepuk tangan

"sekarang tepatilah janjimu lepaskan kami!"

Kami berdua mengeluarkan barang masing-masing, bersamaan aku mengulurkan lencana kelinci dan bocu mengelurakan tiga buah gelang dari sakunya. Itu adalah gelang milik Mawar, Ringgo, dan Leo. Aku merasakan ini takkan berjalan dengan lancar, lantas aku melakukan satu negosiasi lagi, menarik kembali lenganku.

"tunggu! Sebelum itu kalian semua menjauhlah dari sisi kami!" aku tak ingin rekan-rekan Bocu melukai kami setelah ia menerima lencana kelinci pemberianku, oleh karena itu aku sangat berhati-hati. Sepertinya Bocu tak keberatan dengan syarat itu, kurasa lencana ini lebih penting daripada kami—aku bisa jamin itu.

Detik-detik ini sangat menegangkan, bermacam-macam spekulasi masih menghantuiku, aku terus mengawasi keadaan sekitar—mungkin saja ada seseorang yang akan menyerang dari jarak jauh. Kembali aku menjulurkan tanganku pada Bocu, begitu pula sebaliknya. Di saat yang sama aku telah menerima gelang pada telapak tangan kiriku, dan Bocu juga menerima lencana kelinci dariku. Tepat saat itu juga, Bocu menarik kerahku sekuat tenaga melemparku dalam lumpur hisap.

"Hahaha… rasakan itu Alice, kau pikir aku akan membiarkanmu lolos? Sekarang bersiaplah menjadi makanan ular!"

"ALICEEE!!!" jeritan teman-teman

Gawat karena aku terlalu waspada dengan keadaan sekitar, aku menjadi lengah dengan apa yang ada di depanku. Gerombolan kelas B dengan bangga meninggalkan kami di sini, sedangkan teman-teman masih dalam kondisi terikat di pohon. Tamatlah riwayat kami!

Teman-teman berusaha melepaskan diri, tetap saja tidak bisa. Aku harus berjuang sendiri untuk keluar dari lumpur ini. Kenyataannya semakin aku bergerak, semakin cepat pula lumpur ini menghisapku. Bagaimana ini? apa kami akan benar-benar berakhir di sini. Kami semua berteriak sekencang mungkin berharap ada seseorang yang datang menolong kami, mungkin hanya satu pilihanku untuk menekan tombol darurat pada gelang milikku? Apa memang ini akhirnya? Apakah bantuan akan tiba tepat waktu sebelum aku tenggelam? Jika memang itu terjadi setidaknya, teman-teman masih terselamatkan.

Padahal aku belum bisa mewujudkan mimpiku untuk bertemu orang itu. Ayah… kenapa hidupku berjalan begitu sulit, kenapa semuanya terasa begitu berat. Aku hanyalah seorang gadis yang tak berdaya, kau terlalu berharap besar padaku. Maafkan aku karena meninggalkanmu lebih dulu, semoga Lily bisa merawatmu lebih baik daripada aku. Kenapa aku selalu membohongi diriku dengan perasaan optimis, padahal yang kutuai adalah kegagalan. Kenapa bara api dalam hatiku ini tak pernah bisa padam, padahal semuanya akan berjalan lebih mudah jika aku melepaskan impian itu. Sampai detik terakhir pun aku bukanlah gadis yang pandai dalam hal apapun—termasuk menyerah.

Terima kasih ayah.

Beberapa saat setelah Alice mengalahkkan Steve, bantuan dari kelas A telah datang karena Steve tak kunjung datang ke tempat perjainjian. Orang itu telah mendapati Steve dalam kondisi tak berdaya dan mengetahui fakta bahwa lencana kelinci telah direbut dari Steve. Sesegera mungkin ia membawa Steve menuju checkpoint dan melaporkan kejadian ini pada Hani yaitu ketua kelas A.

Semula Hani yang menaruh hormat pada kelas C yang tidak mau ikut campur dalam perebutan lencana kelinci menjadi kesal. Apalagi sejak pertemuan Hani dan Alice di markas mafia yang sudah saling bekerjasama untuk kabur dari markas mafia membuat Hani ingin menaruh kepercayaannya pada Alice dan kelas C. Kini rasa kepercayaan itu telah hilang, kelas C telah ditetapkan sebagai terget operasi kelas A.

Kelas A adalah kelas yang paling berhasrat untuk mendapatkan lencana, karena Hani sangat menginginkan semua anak-anak kelas A menjadi yang terbaik di sekolah. Hani menilai bahwa kelas A merupakan murid-murid yang paling layak mendapatkan semua fasilitas di sekolah, karena mereka adalah murid yang istimewa. Mereka adalah orang-orang pilihan—orang yang spesial, tak semua murid bisa masuk ke dalam kelas A.

Hani memutuskan untuk merebut kembali lencana kelinci dari tangan kelas C, sebelum mereka tiba di checkpoint kelima. Karena semakin mereka dekat dengan checkpoint kelima maka akan semakin dekat dengan garis finish. Hani memerintahkan seseorang untuk melacak keberadaan kelas C, sedangkan dia membawa beberapa orang untuk menyergap targetnya.

Siguiente capítulo