webnovel

Part 52 : Passed Away

Tuhan, jika homoseksualitas adalah dosa, mengapa Engkau membuat hamba seperti ini?

Aku menuliskan kalimat itu di dalam buku catatan harianku. Kutulis dengan penuh penghayatan. Ungkapan tulus dari dalam lubuk hati. Mungkin, suatu saat Tuhan akan memberikan jawabannya. Karena Tuhan selalu memberikan hal yang terbaik bagi hamba-hambanya. Dan aku percaya itu.

Sebulan kemudian ....

Ketika aku pulang dari sekolah. Saat matahari tiba-tiba tenggelam di telan awan. Saat angin diam-diam berhenti menghembuskan napasnya. Hingga kesunyian yang datang mencekam batin. Hanya ada ketegangan dan ketakutan yang bersarang dalam jiwa.

Di depan pintu, Ibu menghadangku. Tubuhnya gemetar dengan sorot mata yang super tajam. Melotot menampakan urat mata yang memerah. Darahnya mendidih terbakar api kemarahan. Kepalanya seolah mengepul penuh asap kegeraman. Belum pernah aku melihat ibu dalam keadaan begini. Semurka ini. Sebenci ini. Seruncing itu pandangannya terhadapku. Ada apa dengan ibuku?''

''Apa ini?'' ucap Ibu dengan suara yang terasa tercekik. Beliau melempar sebuah buku bersampul biru. Buku kesayanganku. Buku rahasiaku. Buku harianku. Ke hadapanku.

BRAKK!

Buku itu mengenai dadaku, lalu jatuh ke lantai. Aku segera memungutnya.

''Apa kau berpikir bahwa dirimu seorang gay?'' tanya Ibu dengan nada geram. Marah, tetapi tertahan.

''I-ibu ... te-telah mem-ba-baca buku catatan biruku?'' Aku mendadak tergagap.

''Vivo, kamu HOMO?''

Aku bergeming. Mulutku mendadak terkunci. Sekujur tubuhku bergidik.

''JAWAB!'' bentak Ibu dengan suara melengking dengan oktaf yang paling tinggi. Seperti suara geledek di siang hari. Mengagetkan dan menimbulkan ketakutan diri.

''I-iya ...,'' jawabku pelan.

PLAAAKKK!

Tangan ibu langsung melayang dengan kecepatan supersonik. Kemudian meluncur tajam dan mendarat di pipiku. Ibu menamparku. Menampar dengan segenap rasa kebencian. Memukulku bertubi-tubi. Bagai seorang Hansip yang menggebuk maling. Menghajar tanpa memberi ampunan. Membabi buta seperti preman. Ini pertama kali ibu bermain tangan mengeksekusiku. Aku jadi tersungkur. Tubuhku oleng. Seperti kapal yang diterjang gelombang ombak. Jiwaku rontok. Batinku hancur berkeping-keping. Aku menangis dalam ketidakberdayaan. Berada di titik nol sebagai seorang anak laki-laki. Tercampakan dari rasa perlindungan seorang ibu.

Puas menghajarku. Tiba-tiba tubuh ibu sempoyongan. Tangannya memegangi perutnya yang membuncit. Mulutnya merontah. Merintih kesakitan. Darah segar mengucur dari rahimnya dan mengalir deras ke ujung kaki-kakinya. Ibuku mengerang hebat. Kemudian roboh dan tergeletak tak sadarkan diri di lantai.

''Ibu!'' pekiku dan segera menghampirinya, "Ibu kenapa?'' Aku cemas dan ketakutan yang berlebihan, ''Ibu ... bangun, Bu!'' Aku mengguncang-guncangkan tubuhnya. Akan tetapi ibu bergeming. Tak bergerak sedikit pun.

''HUAAAAAA .....'' Aku menjerit lantang. Menangis sejadi-jadinya. Meronta-ronta seperti orang gila. Aku takut. Takut sekali akan kehilangan ibuku. Aku tidak mau ibuku mati. Aku berteriak-teriak. Hingga para tetangga berdatangan. Melongok kami. Menonton kami. Membantu kami.

Mereka bergegas memanggil ambulan, lalu membawa ibu ke rumah sakit.

Satu jam ...

Dua jam ...

Tiga jam kemudian,

Aku dan Bang Sam berdiri terpaku di depan kamar gawat darurat sebuah rumah sakit yang terdapat di kota Pekalongan. Menunggu kabar ibu dengan berharap-harap cemas. Ketar-ketir. Gemetar. Berdoa agar ibu mendapatkan hal yang terbaik.

''Tenanglah, Vo ... dan yakinlah ibumu akan baik-abik saja,'' Bang Sam memelukku. Mencoba menenangkanku. Padahal aku tahu, dia juga sama bingungnya, sama cemasnya dengan aku.

Aku diam. Hanya bisa meneteskan air mata. Merasa sangat bersalah. Andai aku tidak menulis di buku harianku. Andai aku tidak meninggalkan buku itu di kamar. Andai ibu tidak menemukan buku itu. Andai ibu tidak membaca isinya. Mungkin ibu masih baik-baik saja. Tidak seperti sekarang ini ...

KLEK!

Pintu kamar gawat darurat terbuka. Seorang dokter muncul dari balik pintu. Bang Sam langsung menghampirinya.

''Dok, bagaimana keadaan istri saya?''

''Apa dia baik-baik saja?''

''Apa yang sebenarnya terjadi?''

Bang Sam langsung memberondong beberapa pertanyaan. Tak sabar untuk mendapatkan jawaban dari Sang Dokter.

''Istri anda mengalami pendarahan. Ada kontraksi mendadak dari gerakan tubuh jabang bayi. Ia memaksa lahir sebelum waktunya. Sehingga kami terpaksa melakukan tindakan operasi darurat untuk mengeluarkannya. Alhamdullillah, bayinya selamat. Akan tetapi ...''

''Akan tetapi apa, Dok?''

''Maaf, kami sudah melakukan hal yang terbaik dan semaksimal mungkin, tetapi Tuhan berkehendak lain. Kami tidak bisa menyelamatkan nyawa istri anda.''

''APA?''

Bagai suara guntur yang menggelegar di tengah hari bolong. Ucapan dokter itu mencengangkan aku dan Bang Sam. Kami ternganga tak percaya. Berita kematian ibu seperti amukan badai tornado yang memporak-porandakan jiwa kami. Badan kami lemas. Seperti sebuah kapas yang terhempas. Tertiup angin hingga terpuruk di teras. Pikiran kami kacau. Galau. Hingga kami seperti orang setengah waras.

Aku tak bisa bersuara. Bergeming. Merunduk lesu. Menangis dalam kebisuan.

__Maafkan diriku, Bunda ... kadang tak sengaja ku membuat relung hatimu terluka. Ku ingin kau tahu bunda betapa ku mencintaimu lebih dari segalanya ...

Siguiente capítulo