webnovel

BAB 13 MARGARET RUTGER

"Aku tidak ingin hamil." kataku. "Cari pengaman."

Aryo terkejut. Dia terduduk dari posisinya. Matanya menatapku heran dan bingung.

"Aku tidak mengerti maksudmu." katanya "Kita menikah, tentu saja kita berharap segera mendapatkan amanah itu. Setiap wanita selalu mengharapkan lahirnya anak dalam pernikahan. Kerena akan meningkatkan derajat dan kedudukannya. Kamu.... " dia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu benar-benar aneh. Aku tidak peduli, aku inginkan anak kita."

Dengan tiba-tiba dia menekan tubuhku dan bergerak lebih cepat. Aku ingin mendorongnya tapi tidak cukup kuat. Gerakanku menolaknya justru membuat dia masuk semakin dalam. Dan pada akhirnya kita mencapai kenikmatan itu bersama. Dia menciumi wajahku dan mengatakan hal-hal indah ditelingaku.

Aku ingin menangis. Dia benar-benar tidak mengerti. Dia sudah cukup mengikatku. Anak akan semakin menjebakku.

Aku ingin menangis. Bagaimana jika aku hamil? Dimana aku bisa melakukan aborsi? Apakah dia akan marah, jika aku membuang anaknya?

Aku mendorong tubuhnya. Tapi dia justru memelukku lebih erat.

"Katakan kepadaku.. " tuntutnya, "kenapa kau tidak menginginkan anakku? Lalu kau ingin anak siapa? Apakah seorang anak campuran tidak kau sukai?"

Duh, dia salah paham sepertinya.

"Ini bukan soal anak siapa." jawabku putus asa. "Bukankah aku sudah pernah menjelaskan kepadamu. Aku sedang tersesat, suatu hari aku yakin, aku akan pulang."

"Kau akan pulang ke Belanda?" tanyanya panik.

Aduuh.. bagaimana aku menjelaskan sesuaru yang tidak masuk akal ini?!

"Tidak." jawabku. "Kau tidak akan mengerti."

"Coba jelaskan. Kemanapun aku akan tetap mencarimu." ucapnya geram.

"Namaku Margaret Rutger. Aku lahir di tahun 1999. Aku tidak tahu kalender yang kau gunakan di Jawa. Tapi yang pasti adalah aku lahir dua ratus tahun dari sekarang. Sesuai dengan catatan sejarah yang pernah kupelajari, aku tahu apa yang belum terjadi. Termasuk dengan hubungan kumpeni dengan bangsa inlanders." kataku.

Tangan Aryo yang tadi memelukku erat, sekarang mulai merenggang.

"VOC akan segera bangkrut dalam waktu dekat. Dan seorang pemimpin berkebangsaan Inggris akan memimpin kaum kami disini." imbuhku.

Aku tidak bisa melihat wajahnya, karena aku berbaring membelakanginya.

"Margaret.... aku tidak mengerti..." suaranya hilang.

"Aku tidak tahu sampai kapan aku disini. Aku selalu was-was ketika aku bangun, sudah tidak lagi disini. Tubuh ini, adalah tubuh Margaret van Jurrien. Tapi wajah kami memang mirip. Nama van Jurrien yang kutahu adalah nama gadis nenekku. Jadi van Jurrien ini bisa jadi adalah nenek buyutku. Aku juga masih belum paham. Jika van Jurrien ini seorang wanita, seharusnya nama anaknya adalah sesuai nama keluarga ayahnya." kataku kemudian. "Aku juga tahu bahwa sesuai kata nenekku, kami memiliki darah Jawa."

Aku juga ingin tahu, apakah memang pria ini yang menurunkan darah Jawa di keluargaku?

"Aku tidak tahu bagaimana aku sampai disini. Jadi aku juga tidak tahu sampai kapan aku akan tetap disini."

Aku berbalik melihatnya. Wajahnya tampak syok. Aku paham, ini bukan hal yang mampu diterima oleh nalar.

Aku merasa kasihan melihatnya. Kurapatkan wajahnya dengan wajahku, hingga hidung kami bersentuhan.

"Sayang, aku akan bersamamu, hingga waktuku usai." janjiku. Kucium bibirnya yang terasa dingin.

Dia mendorongku. Dipandanginya wajahku.

"Apakah kau bersungguh-sungguh dengan kata-katamu?" tanyanya tidak percaya

"Akupun ingin tidak mempercayai semua ini. Sungguh." jawabku meyakinkannya.

Rasanya ingin aku menangis melihat wajahnya yang begitu sedih.

"Apa kamu ini sebenarnya?" tanyanya dengan putus asa. "Apa kamu manusia?"

Air mataku menitik. Dia menganggapku apa? Memang hal ini sangat tidak masuk akal. Aku sendiri tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi.

"Margaret, aku takut." katanya sambil memejamkan matanya. Bulu matanya yang panjang tampak bergetar. "Aku tidak pernah bertemu wanita sepertimu. Aku tidak pernah sebegitu menginginkan wanita, sebagaimana aku menginginkanmu. Beberapa orang yang kusebut guru, telah menolak memberiku restu. Aku melanggarnya."

Air matanya mulai turun dari sela-sela bulu mata yang indah itu.

"Aku minta maaf." kataku sambil menelangkupkan kedua tanganku di wajahnya "Aku yang menggodamu. Aku yang mendekatimu."

Malam itu aku mendengarnya menangis diatas tempatnya berdoa. Aku tidak dapat melihatnya karena terlalu gelap. Suara tangis tertahannya membuat hatiku terasa sakit sekali. Aku benar-benar merasa bersalah kepadanya.

Pelayan telah menyiapkan makan pagiku. Dia tidak terlihat dimanapun.

"Kemana Aryo?" tanyaku kepada pelayan itu.

"Saya kurang tahu, Raden hanya berpesan akan kembali nanti sore."

Aku jadi ingin tertawa. Rasanya aku sudah menikah dengan pekerja kantoran yang selalu berangkat pagi dan pulang sore. Hanya bedanya dia tidak memiliki jas dan sepatu kulit yang licin, serta dasi yang terpasang sempurna.

Ah, aku jadi membayangkan dia berada di jaman modern. Usianya bahkan belum dua puluh, tentu dia masih kuliah, sibuk dengan tugas-tugasnya atau bemain dengan teman-temannya. Dia dengan potongan rambut cepak, hoody, ransel dan sepatu kets. Dia tetap tampan. Pasti dia menjadi populer di kampusnya.

Si Aryo ini benar-benar terlalu cepat tua. Dia bahkan sudah memiliki tiga orang istri.

Dia bahkan sudah bertanggung jawab mengurus keluarga besarnya.

Seseorang berpakaian prajurit memasuki halaman rumah itu. Aku hanya bersama seorang pelayan.

"Nona van Jurrien, mari ikut saya." katanya, begitu jarak kita sudah cukup dekat.

Siguiente capítulo