webnovel

BAB 9 KEHILANGAN

Aku menatapnya tidak percaya. Aku selalu melihat dia sebagai sosok dingin yang rasional.

"Aku tidak tahu bahwa kau segila ini." kataku mencibirnya.

"Aku menjadi gila karenamu."

"Kapan kau akan membawaku pergi?" tanyaku

Digenggamnya tanganku dengan lembut.

"Aku.... secepatnya." katanya dengan tegas.

Aku tersenyum melihatnya. Ada perasaan senang.

"Bagaimana caranya?" tanyaku.

"Aku tidak tahu." akunya.

Aku tertawa melihatnya.

"Apa kau menertawakanku?" tanyanya kesal.

Aku mengangguk dengan tetap tertawa. Aku selalu suka menggodanya.

"Kau... " dia tampak marah. Dan dengan tiba-tiba dibenamkan aku dalam ciuman panjangnya yang sangat emosional, hingga kepalaku terasa begitu ringan. Tubuhku menuntut lebih banyak. Aku bahkan mendengar suara eranganku sendiri saat dia menurunkan ciumannya di leherku. Aku malu.

Aku yang menggodanya, tapi kini aku yang merasa kalah. Tangannya merosot dari bahuku. Kini berada di dadaku. Diremasnya dengan lembut dadaku. Aku merasakan sensasi yang luar biasa. Aku menahan agar suaraku tidak sampai keluar.

Namun tiba-tiba dia menghentikannya dan mundur.

"Ya Allah... !" serunya lirih. Ditutupi wajahnya dengan sebelah tangannya. "Maafkan aku. Aku harusnya lebih menahan diri. Maafkan aku."

Wajahnya penuh penyesalan. Tidak ada lagi gairah yang tadi ditunjukkan kepadaku. Dan hal itu membuatku merasa bersalah.

"Aku harus pergi. Aku akan menemuimu lagi. Aku akan siapkan semuanya."

Hari itu aku mulai menuliskan kisahku dalam diari itu. Seperti kilasan waktu, aku menuliskan kisah yang sama dengan yang kubaca. Tapi ending kisah itu sangat menyakitkan. Aku tidak ingin itu terjadi padaku. Aku ingin merubah akhir dari kisah gadis van Jurrien. Aku teringat ada pesan yang belum tersampaikan. Tapi lupa dengan isi pesan itu. Aah...bodoh sekali aku. Apakah pesan itu ditujukan kepada Aryo?

Kenapa aku tidak bisa mengingat sebagian besar isi diari itu.

Kereta sudah siap. Bahkan koper-koper pakaianku sudah diikat.

"Dhayu!" seruku memanggilnya

Gadis itu segera berlari kearahku.

"Apa maksudnya ini?!" tanyaku kepadanya dengan kesal.

"Meniir bilang bahwa Noni akan berangkat je Batavia hari ini."

Apa! Lalu bagaimana dengan rencana pelarian kita? Ah, sial sekali

Papa akan ke Yogyakarta hari ini. Dan karena aku menolak untuk ikut dengannya maka dia mengirimku kembali. Sial!

Bagaimana ini? Bagaimana cara menghubunginya? Bagaimana orang di jaman ini saling menghubungi? Tidak ada telepon, tidak ada email.

Rasanya kepalaku berdenyut memikirnya.

Bagaimana caraku menghubungi Aryo tanpa harus kesana? Papa tidak mengijinkanku kemana-mana dan pengawalnya mengawasiku dua puluh empat jam. Aku jadi merasa seperti tahanan rumah.

Dhayu mungkin bisa membantu.

"Dhayu, aku butuh bantuanmu!"

"Iya, Noni?"

Aku memberikannya sebuah surat. Dia harus hanya memberikan surat itu langsung kepada Aryo. Tidak boleh tidak. Dan dia harus menunggu Aryo membalasnya.

Aku menunggu Dhayu. Dia sudah keluar hampir dua jam yang lalu. Harusnya dia sudah kembali. Papa sedang bersama beberapa orang dari Keraton. Mereka bilang bahwa kebijakkan keraton bahwa bisa dipengaruhi oleh kami. Berawal dari hanya berdagang, sampai kita menguasai semuanya. Dan hal itu akan tercatat dalam sejarah.

Papa menemuiku dan mengatakan aku akan segera berangkat. Aku panik, Dhayu belum kembali.

Bagaimana ini?

Siang itu kita berangkat ke Batavia. Dhayu entah dimana. Aku bilang ke Papa agar menunggu, dia bilang akan mengirim Dhayu kemudian.

Aku tidak cukup alasan untuk menolak.

Rasanya ingin menangis, saat kereta itu sudah mencapai perbatasan. Hatiku tertinggal disana. Rasanya begitu berat. Dadaku terasa sesak. Akhirnya aku benar-benar menangis. Tidak ada pelayan di sampingku. Aku menangis sendiri.

Dua hari sudah perjalanan kita. Aku selalu menolak saat mereka menawarkan istirahat. Aku merasa putus asa.

Kupegang erat diari kecil itu diatas pangkuanku. Aku baru saja menuliskannya. Kisahku ternyata cukup menyedihkan. Apakah cerita ini harus menyedihkan?

Tidak! Tentu saja tidak! Aku akan mencari cara.

Suatu malam kita mencapai sebuah rumah besar. Aku bertanya kenapa kita kemari, mereka menjelaskan bahwa ini adalah tempat tinggal kita yang baru. Batavia terkena wabah. Terlalu mengerikan untuk tetap tinggal didalam benteng.

Aku semakin panik. Bagaimana Aryo bisa menemukanku?

Apakah aku benar-benar tidak akan bertemu lagi dengannya?

Setiap hari pria membosankan dengan nama de Bollan itu selalu bertamu. Aku tidak pernah meresponnya dengan baik. Tapi dia dengan sangat tidak tahu malu, terus saja datang kemari.

Suatu hari saat kita minum teh, tiba-tiba dia mendekatiku dan hendak menciumku. Aku marah. Marah sekali, hingga aku menamparnya. Dia akhirnya marah. Dia merasa aku sudah meremehkannya. Dia merndahkan keluarga van Jurrien. Dia di lingkup Batavia merupakan keluarga terhormat.

Dia mencengkeram pundakku. Rasanya sakit sekali. Dia menarikku lebih dekat dengan sekuat tenaga. Aku kalah. Tenaganya lebih besar dariku. Aku tidak dapat memberontak. Saat dia hendak menciumku segera kupalingkan wajahku. Aku merasa jijik membayangkan bibirnya bersentuhan dengan milikku.

Dia menghempaskanku hingga punggungku menabrak dinding. Pria ini mengerikan.

Begitu aku dapat lepas, aku segera berlari menjauhinya. Aku masih dapat merasakan, dia terus melihatku hingga beberapa lama.

Apakah Papa akan membiarkan orang, jika dia tahu orang ini menyakitiku?

Sudah tiga minggu. Aku mengurung diriku didalam kamarku. Dhayu telah kembali beberapa hari yang lalu. Berita yang disampaikannya membuatku kecewa. Sepertinya aku tidak mungkin lagi bertemu dengannya.

Siguiente capítulo