"untuk para petarung sekalian, silahkan ambil perlengkapan di sebelah sini !!". pekik seorang pemandu yang berdiri di ujung ruangan.
Satu persatu para peserta datang ketempat dimana senjata dan tameng disediakan. rata-rata peserta lebih banyak mengambil pedang, selebihnya tombak dan panah. Mereka yang sudah siap, berjalan menuju area pintu masuk arena.
"kau ambil pedang juga?". tanya Rhion yang memerhatikan Ivha yang menatap senjatanya.
"yah, setidaknya aku menguasainya sedikit dibanding yang lain". jawabnya. ia mengayunkannya sedikit dan menyampirkannya di pinggangnya.
"hmm..."
"sebaiknya kau juga cepat. Kutunggu didepan ya?". Ivha segera berjalan menuju area pintu masuk arena. Rhion mengangguk mengiyakan.
Setelah Ivha pergi, Rhion kembali berkeliling untuk mencari senjatanya. sebenarnya ia bisa saja mengambil asal, toh banyak senjata disini. Tapi ia merasa tidak cocok. dalam benaknya, ia menolak semua senjata hebat didepannya. terlebih, alasan utamanya adalah karna ia memang tak bisa memakainya.
"hei, nak"
Rhion yang merasa terpanggil menoleh. Seorang nenek bertudung dengan jubah hitam yang terjulur hingga lututnya itu tersenyum menatap Rhion. suaranya terdengar sangat parau.
"anda... memanggil saya?". tanya Rhion memastikan
"ohohoh.... tentu saja sayang. Aku tak memanggil yang lain"
Rhion hanya bisa tertawa kecil melihat sikap aneh nenek didepannya. Ia mengambil satu pedang dan menyelempangkannya.
Nenek itu menyibak jubahnya dan merogoh tas selempang yang dibawanya. tak lama kemudian, ia mengeluarkan sebilah pisau yang hampir seperti pedang pendek berwarna putih keperakan. nenek itu menyodorkannya pada Rhion.
"kulihat kau tidak cakap dengan pedang pendek. Jadi, kupinjamkan ini. Tapi, jika kau suka itu boleh buatmu.". ujar nenek itu.
Rhion mengambil pisau itu dan memperhatikannya dengan teliti. meski pisau itu memiliki ukiran unik, baik pada gagang ataupun sisi pisaunya, tapi benda yang dipegangnya tak lebih dari pisau biasa.
"apa ini bisa buat bertarung?". tanya Rhion ragu.
Bukannya menjawab, nenek itu hanya tertawa. Rhion yang bingung dengan nenek itu memutuskan untuk pergi dan membawa pisau itu dikarenakan suara gong tanda pertandingan dimulai sudah terdengar.
"ah... kalau begitu terimakasih nek."
Nenek itu kembali tertawa sambil melambai.
Rhion terus saja berjalan tanpa berbalik kearah nenek itu. Ia menghela napas dan kembali menatap pisau unik di genggamannya. sedangkan nenek itu tersenyum puas dibelakangnya. tanpa disadari oleh siapapun, ia berbalik dan menghilang dalam satu kedipan. Rhion yang masih berjalan menimang-nimang pisau itu dan menyelempangkannya.
yah, setidaknya pisau ini akan sangat berguna jika nanti aku masuk blok koki. gumam Rhion dalam hati
"oi, lama sekali kau Rhion!?". seru Ivha.
"maaf lama. memang susah mencari yang cocok."
"kau mau lihat pertandingannya?"
Mereka akhirnya berjalan mendekat ke jendela ruangan dan menonton pertandingan yang sedang berlangsung. tak jauh dari sana, seorang laki-laki berdiri dibalik dinding juga menatap arena. laki-laki itu sesekali menatap lurus kearah Rhion.
"ini adalah pertandingan terakhir dari team B." ujar Ivha
"berarti setelah ini kau?"
"iya. Untunglah kau ada di pertandingan paling akhir"
Disekitar Rhion, para peserta yang juga menonton berseru-seru, Bahkan ada yang menyoraki petarung. Entah 'payah', 'bodoh', 'idiot', Rhion hanya bisa terdiam karna ia sama sekali tak mengerti apapun tentang dunia yang seperti ini.
Tiba-tiba saja, matanya menangkap sesuatu yang berada dilantai arena. Itu terlihat seperti sebuah ukiran. Ia melirik pisaunya. Bergantian antara arena dan pisau. Ia kaget karna bentuk ukiran di kedua tempat itu sama persis.
kebetulan kah?. pikir Rhion
Suara gong kembali membuat gemuruh penonton bersorak. di arena, seorang penyihir mengangkat tinjunya tinggi-tinggi, tak jauh disisinya seorang kurcaci tergeletak tak berdaya disana. Ia menoleh kepada ivha dan mendapati ekspresinya yang menahan marah.
"hahah!! Memang kurcaci itu bodoh dalam pertarungan!"
"masak saja sana!!!!"
Suara tawa yang semakin membahana itu pasti sangat menyinggung perasaan para kurcaci. terlebih Ivha yang ada didekatnya. Rhion hanya bisa diam dan menepuk pelan pundak Ivha.
Gong kembali bergema, menandakan pertandingan akan kembali dimulai.
"berjuanglah, Ivha". ucap Rhion.
"pastikan kau benar-benar menemuiku di blok koki nanti.". jawab Ivha sedikit parau.
Keduanya tertawa. Rhion tersenyum menatap Ivha yang sudah berjalan membelakanginya. Rhion kembali dari pintu masuk arena dan kembali menonton di tempat sebelumnya. Ia bisa melihat Ivha dan lawannya yang seorang elf. Dengan adanya Ivha, ia setidaknya bisa sedikit tenang dan mencoba untuk berani.
ras yang sudah lama dikenal sebagai ras petarung seperti werewolf. Benar-benar tidak imbang. batinnya. meski begitu, Rhion harus mencoba, seperti halnya Ivha.
Pertarungan arena ini memang sejak awal tidak ada yang adil sama sekali. terlebih ras yang lemah ditempatkan untuk melawan ras yang lebih kuat. Begitupun sebaliknya. Seperti dirinya yang lawannya adalah werewolf. bahkan, tanpa harus menunggu babak final, semua orang sudah tau yang akan menempati babak itu hanyalah ras-ras kuat seperti elf, werewolf, dan penyihir.
Karna sejak dulu, ras manusia dan ras kurcaci tak pernah sekalipun terlibat dalam dunia pertarungan seperti itu. Ia terus menatap Ivha dikejauhan sana dengan sangat khawatir. Ivha terus berjuang melawan musuhnya meski ia sendiripun tau takkan ada harapan untuknya menang.
Rhion menatap bangku penonton. Ia bisa melihat Yuu, Cavel, dan Axel duduk dipaling depan. Ia meremas kuat jubah pemberian Axel. Pasti mereka juga merasakan kekhawatiran yang sama sepertinya. seperti ia yang khawatir pada kondisi Ivha. Ia tertunduk dalam.
aku hanya ingin hidup damai tanpa harus bertarung seperti ini.
Gemuruh suara gong kembali memenuhi sudut arena, disusul gemuruh para penonton. Napasnya langsung tertahan melihat ivha yang tergeletak dengan luka dimana-mana. Rhion langsung berlari ketempat dimana Ivha sudah dipindahkan untuk di obati.
Persis Rhion datang, ia mendapati tubuh Ivha yang sudah kaku dan dingin.
"pe... permisi!". seru Rhion kearah dua pemandu yang membawa tubuh Ivha di tandu.
"apa kau kenalannya?". tanya salah satu pemandu.
Rhion mengangguk. "kalau boleh tau, keadaannya..."
"aah...". pemandu itu terdiam sejenak. kemudian dengan wajah lesu ia menggeleng "ia kehabisan banyak sekali darah. Maaf, tapi dia sudah tak tertolong."
Rhion hanya termanggu menatap Ivha yang beberapa jam yang lalu masih berbincang hangat dengannya. Ia mengusap pelan pipi Ivha dan menangis disana. Padahal, 30 menit yang lalu baru saja mereka berjanji akan bertemu di blok koki. Padahal, 3 jam yang lalu mereka bertemu dan saling kenal. Ia mendadak tak bisa merasakan tubuhnya. Ini terlalu mendadak.
Apakah tak ada sekalipun kesempatan untuk mereka hidup lebih lama?
setelah kejadian itu, Rhion kembali ke ruang tunggu arena dengan langkah terhuyung. Berjuta pertanyaan menyerbu benak dan otaknya. mengusik hati dan mentalnya.
Apakah kehidupan yang seperti ini pantas untuk dinikmati?
Ia menatap pertarungan diarena sana dengan tatapan kosong. Tangannya kembali gemetar.
Apakah pertarungan memanglah satu-satunya cara untuk bertahan hidup?
"selanjutnya, pertandingan yang akan dilakukan oleh seorang werewolf dan manusia!!". seru MC dengan semangat.
Ia melangkah pelan menuju pintu masuk arena. ia merasa sangat kosong. Ia merasa seperti tak menapak dalam langkahnya. ekspresinya pun kosong dan datar. tubuhnya gemetar, dan disaat yang sama ia juga mati rasa. matanya tak henti-hentinya menyiratkan sorot ketakutan dan air mata yang makin deras.
Bagai jasad yang berjalan tanpa tujuan.
Ia menatap kosong arena. Suara sorakan yang memekakkan telinga cukup membuatnya tak bisa mendengar apapun. Termasuk suara gong dan langkah musuhnya yang mulai melancarkan serangan. Werewolf itu mengayunkan pedangnya, dan secara ajaib tubuh Rhion terpental begitu saja. Seperti ada sihir yang menjaganya.
Ia bisa melihat bibir werewolf itu bergerak. Lawannya itu bicara sesuatu. Rhion yang masih terebah berusaha bangkit. Namun, belum sempurna ia berdiri, werewolf itu kembali menyerang. Dan tanpa ampun werewolf itu terus menghajarnya hingga ia terpental jauh. tentu saja berkat sihir pelindung itu, ia tak terluka sama sekali.
Ia mengangkat kepalanya dan menangkap sosok Axel jauh dibangku penonton sana. Rhion mencoba untuk tetap bangkit.
apa ini darinya juga, sihir ini...?. pikir Rhion
Ia mencoba untuk berdiri kembali dan seperti yang diduga werewolf itu sudah ada didepannya. Namun kali ini, Rhion benar-benar sudah pasrah total. Serangan werewolf itu langsung menghancurkan sihir pelindungnya dan berhasil meninggalkan luka gores pada pipinya.
aku hanya ingin hidup damai.
Ia terhuyung persis werewolf itu melayangkan cakaran, menyebabkan jubah hitamnya terkoyak. Rhion terpaku ditempat. Suara sorakan makin bergemuruh hebat. Perlahan, pengelihatanya mulai kabur. Ia terhuyung lagi. Ia menatap kakinya yang gemetar.
Sesaat sunyi dalam dirinya. hingga suara logam membuat fokusnya kembali walau sesaat.
pedangnya...
Kakinya terhuyung, kemudian jatuh terduduk. Ia menunduk menatap ukiran yang tercetak jelas pada lantai arena yang buram dimatanya. Perlahan, tangannya yang lemas itu meraih gagang pedang pendek yang tersampir di pinggang dibalik jubahnya.
Sekelebat pemandangan muncul satu persatu muncul dalam benaknya begitu saja. Hujan, genangan darah, mayat, 55 orang memegang senjata, 23 penyihir, reruntuhan, debu mesiu, semua itu muncul begitu saja dalam otaknya. Ia membelalakkan matanya.
apa itu? Apa ini mimpi?
Matanya terpejam. ia merasakan pusing yang luar biasa. keringat begitu membanjiri wajahnya.
"heei... aku tak mau buang-buang waktu lagi! relakan saja nyawamu ya? heheheh!!". sebuah suara mulai terdengar lagi. itu mungkin suara musuhnya.
Dan sedetik kemudian, werewolf itu melesat bagai angin. Arena itu bergemuruh hebat kepada sang werewolf yang masih sehat tanpa luka. Sorakan itu membuat telinganya pengang. Rhionna berusaha bangkit dengan kakinya yang lemah.
Sorakan yang sejak tadi memenuhi telinganya perlahan mengecil. Lantas jadi tak terdengar sama sekali. Rhion terdiam dalam posisinya. tangannya menggenggam pedang pendek di pinggangnya. ia mencoba menguasai ketakutannya. ia harus bertahan apapun caranya.
demi anak-anak di desa, demi nek Ehma, demi mereka yang sudah menolongnya. ia bahkan belum berterimakasih dengan cara yang baik.
Werewolf itu bersiap dengan cakarnya. Persis ia akan mencapai Rhionna, Gadis itu mengambil kesempatan dan menyingkir. Dan disaat yang sama, ia mengacungkan pisaunya mengarah pada dada kiri werewolf.
Suara gong yang bergema pertanda bahwa pertandingan telah selesai. Rhionna shock melihat darah dari dada werewolf itu mengalir di lengannya. seakan ia baru sadar dari tidurnya, Ia menarik senjatanya dan werewolf itu roboh. Ia menatap tangannya yang berlumuran darah dan senjata yang ia genggam.
ini... bukan pedang yang kupegang....kenapa?
Ia menjatuhkan pisaunya dan menatap keduan tangannya yang berlumuran darah. Mendadak, lantai arena mengeluarkan cahaya keperakan. Cahaya itu bersinar terang dan berkumpul pada Rhionna. gadis itu masih dalan keadaan shock. kericuhan mulai terjadi. Semua penonton pergi dengan terbirit-birit untuk melarikan diri.
"Rhionna!!". Teriak Yuu untuk yang keberkian kali.
Berkali-kali yuu memanggil gadis yang berdiri diarena itu, namun tak ada respon darinya. Cavel yang sedari tadi menahan Yuu agar tidak melompat kesana juga terus memanggil Rhion. Di tempat para petarung menonton, laki-laki yang tadi berada dibalik dinding itu menatap arena dengan sedikit terbelalak. ekspresinya kembali datar dan ia segera berbalik.
"Rhionnaaa!!". Yuu masih belum berhenti memanggil. "sial! pasti suara ribut ini menghalangi panggilanku!"
"hei, Axel!! Lakukan sesuatu!!". seru Cavel.
Axel yang masih pada posisi duduk bergeming di tempatnya. Melihat pisau yang ada digenggaman Rhion membuatnya teringat sosok pembunuh yang ia lihat 4 tahun yang lalu. Ketika ia ikut ekspedisi untuk memata-matai ibukota dan mengunjungi lokasi markas mata-mata gabungan Zudikas. dimana untuk pertama kali ia melihat seseorang yang memiliki kemampuan diatas rata-rata, bahkan mengungguli ras-ras petarung.
Seorang gadis berambut panjang dengan pisau perak ditangan kanannya.
Sama seperti hari itu.
Axel yang bangkit dari duduknya membuat Yuu dan Cavel menoleh.
"Axel?"
Laki-laki itu mengacungkan jarinya, lantas cahaya putih muncul dan melesat menuju arena. Membuat arena itu seketika menjadi es yang sangat kuat. Gadis yang persis berada ditengah arena itu terperangkap didalam es milik Axel.
"HOI !! Apa kau gila!!!??". bentak Yuu yang makin emosi
di seberang kursi yang lain, ia ternganga menatap apa yang baru saja terjadi.
"whoaa.. si biru itu benar-benar nekat, kan Ozh?". gumam Aria.
Laki-laki bermata coklat pekat dan rambut hijau zamrud itu bangkit dari kursinya.
"Ozh..?". panggil Aria
"jangan-jangan... dia..."
"he?"
disisi yang lain, Lee yang juga menonton tak bisa berkata apapun. sejak awal ia menonton, ia sudah hampir menangis melihat anak baru yang begitu manis, termasuk yang baru ia kenal kemarin hampir saja terbunuh. namun, gadis itu, Rhionna, barus saja mengaktifkan sebuah syair suci yang terukir di lantai arena sebagai bentuk dari penghormatan dan persembahan untuk roh agung Taures Ietis.
"apa maksudnya ini?". gumam Lee yang masih linglung di tempatnya.
tanpa menunda waktu, Ozh segera melompat dari kursinya menuju tempat Axel. namun, angin yang muncul dari sihir Axel membuatnya terdorong. bukan hanya itu, angin dingin itu membuat semua orang yang masih di area stadion disana menjadi kaku. Ozh menggeretakkan giginya kesal sambil menatap kakinya yang terperangkap dalam es.
Lee yang masih kaget, langsung berseru mendapati kakinya yang beku sebelum ia menyadarinya.
"aduh! jangan bawa-bawa aku juga kan?!". gerutunya kesal.
Di balkon atas sana pun, Jaeal tak bisa berkedip sama sekali. terutama Ros dan Revi yang sama sekali tak tau apa yang terjadi.
"apa itu..?". Ros yang masih tercengang menegang di tempatnya.
Jaeal yang bangkit dari kursinya segera melompat dari balkon dengan perasaan bahagia yang luar biasa, bersama dengan senyum sumringahnya yang penuh dengan ambisi.
akhirnya aku bertemu denganmu, Yuanne Siliva!!. pekiknya dalam hati.