webnovel

Delapan puluh tujuh

Ketika malam menjelang, rumah keluarga Mayer masih tetap ramai. Mereka sedang berbincang di ruang keluarga yang ada di lantai dua. Tepat berada di depan kamar Freya.

Bibi Fritz dan Freya yang menetap di Amerika akhirnya datang, meski beliau dan putra semata wayangnya datang beberapa menit sebelum acara pernikahan dimulai. Beliau adalah Bianca Mayer, adik satu-satunya Frederik Mayer. Bianca dan Seth, putra Bianca, merupakan keluarga yang dimiliki Fritz setelah dia kehilangan keluarganya. Bersama dengan bibinya, Fritz tumbuh menjadi pemuda yang mendapat kasih sayang seorang ibu. Meski itu didapatnya dari sang bibi.

Freya merasa sedikit canggung dengan kedatangan bibinya. Karena dia memang belum pernah bertemu dengan beliau semenjak kembali ke keluarga Mayer. Meski begitu, tampaknya bibi Bianca tidak merasa canggung sama sekali. Dia langsung bisa membaur dengan orang-orang yang berkumpul disana dan berbincang dengan hangat.

"Hei, ini sudah malam. Apa pengantin tidak mau menikmati waktu mereka?" pertanyaan bibi Bianca segera menyadarkan mereka. Pandangan mata langsung menuju Troy dan Freya, mereka masih asyik berbincang dengan Jovita dan keluarganya.

"Wah, bibi memang pengertian. Apa kita harus keluar dari rumah agar mereka bisa bebas menikmati malam?" Aaron yang lengsung menyambar umpan yang ditebar sang bibi berkomentar.

Ditempatnya, Freya tersipu malu. Pipinya sudah merah merona, seperti kepiting rebus. Sedangkan Troy, dia terlihat tampak bingung. Ingin mmbantah tapi tidak tahu bagaimana menyampaikan bantahannya.

"Oke, mungkin kita memang harus berpindah tempat. Mengungsi untuk memberikan privasi kepada pengantin baru." siapa sangka, mama mertua Freya pun bisa memberikan komentar seperti itu.

"Ini nggak adil. Kenapa kita semua harus mengalah demi dua orang?"Jovita yang protes untuk membuat suasana semakin panas.

"Oh come on, Jo, mereka adalah raja dan ratu sehari. Kita harus memberikan hak eksklusif itu." Digta tak mau kalah.

Dengan kesadaran masing-masing, semua orang mulai bangkit dan pindah ruangan. Semua orang kecuali Fritz Mayer. Dia terlihat tidak mau menyetujui ide untuk meninggalkan adiknya berdua saja bersama dengan Troy.

"Hei, Mr. Mayer, apa kamu akan menjadi saksi malam pertama mereka?" Jovita menyadarkan Fritz. Melihat Fritz yang hanya diam saja, Jovita merasa gemas. Dengan kasarnya dia menarik kakak Freya untuk ikut berpindah ruangan.

Kini hanya tinggal Freya dan Troy yang berada disana. Keduanya bingung harus berbuat apa.

"Apa kita harus ke kamar sekarang?" tanya Troy polos. Setelah menunggu beberapa saat untuk memberikan jawaban, akhirnya Freya menganggukkan kepala.

Baik Troy maupun Freya selalu tidur dalam gelap. Mereka akan mematikan lampu kamar ketika tidur. Dan itu yang mereka lakukan. Meski begitu, keduanya tidak segera memejamkan mata.

Freya sibuk dengan pikirannya. Dia sekarang telah menjadi istri seorang Troy Darren (lagi), memang tidak ada masalah dengan statusnya itu, tapi pemikiran tentang menjadi seorang ibu membuatnya merasa khawatir. Ditambah lagi sekarang bayinya sudah tumbuh dengan sehat di dalam rahimnya. Masih ada lebih dari 10 minggu sebelum anak itu menghirup udara dengan paru-parunya sendiri, tapi pemikiran negatif terus saja berdatangan.

"Kamu lagi mikirin apa?" suara Troy menyadarkan Freya dari lamunannya.

"Entah lah. Banyak hal yang aku khawatirin." jawab Freya. Dia tidak bisa mendeskripsikan apa yang sedang berkecamuk di dalam otaknya.

Troy langsung mengubah posisi tidurnya. Dia menghadap ke arah Freya dan mulai mengelus perut Freya dengan lembut. Seharian ini dia belum melakukan kegiatan itu karena sibuk dengan pernikahan.

"Hai, Baby, Mama sedang galau. Kira-kira apa yang Mama pikirin? Kamu tahu apa itu?" Troy berbicara dengan perut Freya. Dan seketika gerakan itu menyapa tangan Troy. "Mungkin Mama sekarang sedang bahagia karena akhirnya bisa bersama Papa lagi. Atau mungkin Mama sedang sibuk memikirkan nama yang cocok untuk kamu?"

Tanpa menghiraukan Freya, Troy terus saja bermonolog. Bertanya dan menjawab pertanyaannya sendiri. Membuat Freya tersenyum mendapati tingkah lucu suaminya.

Satu hal yang menghantui Freya ketika dia tahu tengah mengandung anak Troy. Pemikiran itu yang akhirnya membulatkan keputusannya untuk menyembunyikan kehamilan itu. Pemikiran tentang apakah Troy akan menerima dan menyayangi anaknya? Mengingat pengalaman kehamilannya yang terdahulu masih membuatnya trauma. Troy yang sangat marah mengetahui bahwa Freya tengah hamil, padahal saat itu jelas di dalam perjanjian pernikahaan mereka disebutkan bahwa tidak ada anak selama pernikahan. Dan itu sudah diketahuinya dengan pasti.

Melihat tingkah ajaib Troy sekarang, berbanding terbalik dengan Troy yang dikenalnya dahulu. Troy yang sekarang sangat tergila-gila dengan makhluk yang belum bisa dia sentuh.

"Baby, Papa sudah punya nama cantik untuk kamu. Miss Darren Papa akan bernama Aileen Brianne nanti kalau lahir. Kamu suka?" .

"Apa artinya Papa?" Freya yang mendengar percakapan sepihak Troy seperti didongengi, langsung tertarik dengan perbincangan itu.

"Aileen itu cahaya, Brianne itu kuat. Karena Baby menjadi cahaya dan kekuatan Papa saat masih di rumah sakit." ucap Troy penuh semangat.

Apa yang membuat Freya tidak bersyukur dengan hidupnya sekarang? Dia dikelilingi oleh orang-orang yang sayang dan peduli dengan dirinya. Bahkan hal mustahil yang tidak pernah dia bayangkan pun sekarang bisa dia rasakan dan dapatkan.

...

Pengantin baru masih tinggal di kediaman Mayer untuk beberapa hari selanjutnya. Itu adalah permintaan Fritz. Dan Troy dengan senang hati menurutinya, karena sekarang dia sudah mulai sibuk dengan pekerjaannya. Dan lagi, Troy berpikir bahwa membawa Freya untuk tinggal di apartemen bukanlah ide yang baik. Istrinya membutuhkan ruang gerak yang lebih luas, dan itu tidak bisa dia dapatkan kalau dia tinggal di apartemen.

Selain itu, kegalauan masih terus menghampiri Troy. Apakah dia akan tinggal di Canberra atau pindah ke Indonesia? Memang pekerjaannya bisa dia kerjakan dari sini, tapi sang mama lebih memilih untuk tinggal di Indonesia. Sedangkan sekarang Freya belum mampu untuk diajak melakukan perjalanan jauh.

"Apapun keputusan kamu, aku akan menerimanya." ucap Troy, ketika dia merebahkan tubuhnya disamping Freya.

"Kamu kepala keluarga, jadi kamu yang menentukan." Freya terlihat tidak tahu harus bagaimana menyampaikan pendapatnya.

"Aku cuma mau kita bersama. Dimanapun nggak masalah." Troy lalu memulai rutinitas malamnya sebelum tidur. Mengelus perut Freya.

"Aileen, Papa datang." dengan penuh sayang Troy menciumi perut istrinya. "Maaf Papa baru bisa menyapa. Tadi papa kerja."

"Gimana kalo pas lahir ternyata laki-laki?" tanya Freya gemas melihat interasi Troy dengan anaknya. Dan dia terus saja memanggil bayinya dengan nama Aileen.

"Emang bisa gitu?" kini Troy keheranan. Pemeriksaan terakhir menyatakan bahwa bayi mereka kemungkinan besar perempuan.

"Bisa, tapi bukan karena berubah. Mungkin pas pemeriksaan nggak terlalu tepat, jadi hasilnya nggak sesuai ketika lahir." jelas Freya, sedikit bangga dengan ilmu yang dia punya.

Troy langsung bangkit dari tidurnya dengan wajah panik. "Jadi aku harus mempersiapkan nama untuk anak laki-laki juga? Gimana dengan perlengkapannya? Kita banyak membeli barang berwarna pink."

Melihat tingkah suaminya yang panik, membuat Freya tak dapat menyembunyikan senyumnya. Haruskah dia sepanik itu hanya karena sebuah nama dan perlengkapan bayi?

Siguiente capítulo