Saat membuka matanya, Freya merasa kepalanya sangat pusing. Rasanya dia tidak akan bisa bangun dari tempat tidur kalau kelapanya pusing seperti ini. Pemandangannya berputar cepat yang membuatnya mual. Mencoba bangun, tubuh Freya tertahan oleh sebuah tangan. Seketika ketakutan menguasai dirinya. Oh Tuhan, apa yang terjadi? Dimana ini?
Penyesalan itu merasuki Freya. Dia benar-benar mengutuk dirinya yang dengan bodoh memilih melewatkan malam dengan minum di klub malam. Padahal jelas-jelas kakaknya sudah melarangnya untuk datang ke klub malam, kecuali ada yang menemaninya. Entah itu Fritz atau Jovita. Atau pengawal kalau perlu. Tapi itu sudah terlambat. Benar-benar terlambat untuk menyesalinya sekarang.
Berusaha melepaskan tangan itu dari tubuhnya, perlahan Freya bangun. Benar-benar harus pelan dan tanpa suara, agar si pemilik tangan itu tidak menyadarinya. Bahkan Freya tidak berani melihat wajah orang itu, takut dia akan terus terbayang dengan apa yang terjadi tadi malam.
Kalau bangun tidur di tempat asing bersama orang asing sudah membuat kepalanya makin pusing, kini Freya harus di kaget kandengan fakta bahwa dia sudah berganti pakaian. Kemeja yang kebesaran itu membalut tubuh Freya. Seketika kakinya lemas.
Ya Tuhan, apa semalam aku diperkosa? Kenapa kejadian buruk datang beruntutan?
"Kamu udah bangun?" suara berat itu menghentikan langkah Freya. Seketika badannya membeku dan tak bisa digerakkan.
Melihat bayangan laki-laki itu bangun lalu menyibakkan selimutnya dan berjalan mendekat membuat Freya serasa ingin berteriak. Meminta tolong kepada siapapun yang mendengarnya agar dia diselamatkan. Tapi tak ada suara yang keluar.
"Nggak pusing?"
Tunggu, sepertinya suara itu tidak asing bagi telinga Freya. Memberanikan diri, Freya akhirnya menolehkan kepalanya, ke arah suara itu berasal. Lalu di lihatlah pemuda itu berdiri disana. Troy Mikhaila Darren.
Seketika Freya merasa sangat lega. Benar-benar lega karena mendapati orang yang dikenalnya ada di hadapannya sekarang.
"Kenapa diam aja? Apa masih pusing?" terlihat sedikit kepanikan tergambar jelas di wajah Troy.
Wajah yang terlihat kurus tapi mulus itu mendekat. Segera meraba dahi Freya dan memegang kedua pipinya. Seketika terlihat lega. "Nggak demam kok."
Oke, bisa dijelaskan apa hubungannya orang mabuk dengan demam?
"Mana bajuku?" Freya yang akhirnya berhasil menguasai diri segera melakukan apa yang seharusnya dia lakukan dari tadi. Mendapatkan bajunya dan segera kembali ke rumah.
"Baju kamu kotor kena muntahan. Kalau mau pulang, kamu bisa pake bajuku dulu." jawab Troy tanpa ragu.
Tak dapat memikirkan apa yang sebaiknya dia lakukan, Freya hanya diam saja. Pikirannya benar-benar kosong. Mendapati dirinya tidur seranjang lagi dengan Troy saja sudah membuat Freya kelimpungan, bagaimana kalau dia sampai meminjam baju Troy? Pasti semua orang di runah akan curiga ketika mendapati baju asing yang berada di laundry room.
"Dimana kamar mandinya?" Penuh kesabaran, Troy menunjukkan letak kamar mandi.
Freya segera mengunci kamar mandi dan mendudukkan tubuhnya di kloset. Membenamkan wajahnya di kedua tangannya dan berusaha menahan tangisnya. Kilasan ingatan mulai menyerbu kepala Freya. Berputar berulang kali seolah ada tombol yang otomatis akan memutan ulang kilasan itu. Bagaimana Freya bertekad melepaskan penatnya dengan mendatangi klub malam. Bagaimana dia mulai meminum gelas pertamanya dan terus berlanjut hingga gelas ke lima. Lalu bagaimana dia dengan percaya diri menelepon Troy untuk datang. Semakin diingat, semakin besar penyesalannya.
Perlu waktu lebih dari 30 menit yang dibutuhkan Freya agar bisa mendapatkan kepercayaan dirinnya. Saat keluar dari kamar mandi, indera penciumannya dimanjakan oleh bau wangi masakan yang berasal dari dapur. Seketika perutnya berbunyi dengan nyaringnya. Iya, dia sangat kelaparan karena melewatkan makan malam, dan sekarang sudah terlambat untuk sarapan.
"Aku nggak tau selera kamu kaya apa, aku cuma bisa bikinin sup buat merekadan hangover." Troy meletakkan semangkuk sup yang masih mengepulkan asapnya di meja. Menarik kursi dan mempersilahkan Freya duduk disana.
Entah karena lapar menguasai dirinya atau karena tidak dapat menolak undangan Troy mencicipi masakan pemuda itu, Freya segera menghambur ke meja makan, duduk dengan manisnya di kursi dan segera mencicipi sup buatan mantan suaminya. Begitu sup mencapai perutnya, rasa hangat menjalari tubuhnya. Benar-benar terasa hangat dan segar, menyingkirkan pusing akibat mabuknya semalam.
...
Rasanya menyenangkan melihat orang yang sedang makan masakan kita dengan lahap. Troy tidak pernah menyadari hal itu sebelumnya, sampai dia memasakkan sup sederhana untuk Fenita. Benar-benar sederhana karena hanya inilah yang bisa dia masak, dan tentunya bahannya tersedia di apartemennya.
Setelah menghabiskan mangkuknya, Fenita melirik mangkuk yang ada di depan Troy, matanya memancarkan harapan agar dia bisa menikmati isi mangkuk itu dan menghabiskannya. Menyadari bahwa satu mangkuk belum cukup, Troy segera menyodorkan mangkuk miliknya. Tanpa basa-basi, Fenita segera memindahkan isi mangkuk ke mulutnya. Tak kurang dari 10 menit, Fenita yang bertubuh mungil itu telah menghabiskan dua mangkuk penuh sup. Sekuat tenaga Troy menahan diri agar tidak berkomentar.
Saat tengah asyik memikirkan bagaimana tingkah lucu dan menggemaskan istrinya itu, Troy dikagetkan dengan tingkah Fenita. Dia membawa mangkuk kosong ke bak cuci piring dan segera mencucinya. Pemikiran 'iya-iya' yang sejak semalam berusaha dibuangnya kembali memenuhi otaknya. Betapa pemandangan yang dulu sering dia lihat tetapi dia abaikan ini ternyata sekarang memiliki kesan tersendiri. Dari tempatnya berdiri, Troy melihat tubuh mungil yang selama ini dia remehkan terlihat sangat menggoda. Dengan kemeja yang kebesaran membungkus tubuh mungilnya itu, serta rambut yang dikucir tinggi. Oh, kuciran itu menampakkan leher yang mungkin baru sekarang disadari oleh Troy tampak menggoda. Seolah ada tangan yang melambai ke arahnya, meminta untuk didekati dan diusap.
Perlahan langkah mantap Troy menuju kesana. Tempat dimana tangan yang tak nampak itu melambai-lambai. Seolah menyuruh Troy untuk membelai dan mengusap leher itu. Mungkin satu pelukan tidak akan merugikan kalau dia melakukannya dengan cepat. Yap, dan memang tepat bila Troy mengikuti lambaian tangan itu. Tubuh Fenita terasa pas dalam pelukannya. Dan wangi tubuh Fenita masih sama seperti terakhir kali Troy mengingatnya. Meski itu bertahun-tahun yang lalu.
Rasanya benar-benar menenangkan bisa memeluk orang yang selama ini hanya bisa dia lihat dari jauh. Leher jenjang Fenita rasanya sangat pas dengan kepala Troy ketika dia menyandarkan kepalanya disana. Kalau saja bisa, Troy ingin menghentikan waktu agar dia bisa berlama-lama menikmati wangi tubuh istrinya. Juga menikmati tubuh yang sudah lama dia rindukan.
"Sebentar saja." pinta Troy saat dia merasakan bahwa Fenita mencoba memberontak, menjauhkan tubuhnya dari tubuh Troy.
Berapa lama dia berhasil memenuhi penciumannya dengan bau Fenita? Dia sendiri tidak tahu. Yang jelas, saat Fenita mulai menghindari pelukannya, Troy merasa segar dan siap melakukan apa saja hari itu. Bahkan dengan ringannya Troy melangkahkan kakinya untuk ganti baju dan berangkat kerja. Saking ringannya otak dan tubuhnya, dia lupa bahwa Fenita masih di dalam apartemennya, ditinggalkan sendirian.