webnovel

Tiga puluh tujuh

Pagi yang sibuk menyambut Fenita. Beberapa pelayan disibukkan dengan persiapan untuk keberangkatan dua tuan dan nona mereka kembali ke Canberra. Juga beberapa menyiapkan bahan untuk sarapan.

Saat melangkah menuju ruang makan, Fenita mendapati kakaknya sudah duduk manis disana dan sibuk membaca koran. Di hadapannya terdapat secangkir kopi yang menjadi sarapannya.

"Selamat pagi, Kak."

Mendengar seseorang menyapa dirinya, Fritz mengalihkan pandangannya dari koran ke adiknya yang cantik.

"Hai. Mau sarapan apa?"

"Aku bisa mengurusnya." jawab Fenita yang langsung berjalan menuju dapur.

Meski ada banyak asisten yang sigap memenuhi semua kebutuhanya, Fenita lebih suka melakukan apapun sendiri. Dan beberapa asisten sudah diberitahukan tentang kebiasaannya itu. Jadi mereka hanya akan melihat dan standby dibelakang, kalau-kalau bantuan mereka diperlukan.

Saat tengah menikmati sarapan, keduanya kedatangan seorang asisiten. "Maaf, Sir, ada tamu yang berkata ingin bertemu dengan Miss Fenita."

Mendengar apa yang disampaikan oleh asistennya, Fritz langsung meletakkan koran paginya dan segera bangkit. Siapa yang mencari 'Fenita'sepagi ini?

Baik Fenita maupun Fritz saling bertukar pandang. Tidak ada yang tahu siapa Fenita kecuali keduanya.

"Aku yang temui." kata Fritz yang ditujukan untuk sang asisten rumah tangga sekaligus untuk Fenita.

Baik Fenita maupun sang asisten langsung menganggukkan kepalanya. Dan melihat tuan muda itu berjalan keluar, menemui sang tamu.

Fenita bisa merasakan debaran jantungnya tak terkendali. Dia tahu tamu yang dimaksud adalah Troy. Siapa lagi yang akan memanggilnya dengan nama Fenita dirumah ini selain dia. Kalaupun bukan Troy, itu berarti bisa jadi kedua sahabat Troy. Hanya itu kemungkinan besar misteri tentang si tamu.

Sarapan segera terabaikan. Fenita memfokuskan pendengarannya ke ruang tamu. Menguping pembicaraan kedua pria itu sekaligus ingin mendengar suara Troy yang sangat dirindukannya.

"Dimana dia?" pertanyaan itu langsung menyambut kehadiran Fritz di ruang tamu.

"Kejutan melihat anda mengunjungi rumah mungilku sepagi ini, Mr. Darren." dengan langkah tenangnya, Fritz menyambut Troy lalu duduk di sofa terdekatnya.

"Dimana dia?" Troy mengulangi pertanyaannya. Terlihat tidak sabaran.

"Kalau Fenita yang anda maksud, dirumah ini tidak ada yang bernama Fenita." suara setenang aliran sungai keluar dari mulut Tuan Mayer.

"Fe aku tahu kamu di dalam. Keluar dan temui aku. Ada yang harus kita bicarakan." teriakan Troy memenuhi ruang tamu. Menarik perhatian para asisten yang sedang melakukan aktifitas paginya.

Di dalam ruang makan, Fenita berusaha untuk tidak menuruti keinginan Troy. Dia sekuat tenaga berusaha duduk tenang di kursinya. Tapi pada akhirnya Fenita memilih untuk masuk ke kamarnya, lebih baik dia menghindar kalau-kalau Troy nekat masuk ke dalam rumah.

"Itu bukah hal yang sopan untuk berteriak di dalam rumah yang kau kunjungi, Mr. Darren." meski wajahnya terlihat tenang, tapi suara Fritz terdengar penuh ancaman.

Suara Troy yang berteriak tidak jelas terdengar dari dalam kamar Fenita. Tapi keteguhan hati Fenita menguatkan dirinya untuk tidak keluar dan menemui Troy. Apapun yang terjadi, dia harus tetap pada keputusannya untuk menjauh dari Troy. Toh keduanya sekarang tidak memiliki hubungan apapun, hanya mantan istri yang berusaha menghindari mantan suaminya. Tak lebih dari itu.

Keadaan menjadi tenang kembali setelah setengah jam kemudian. Nampaknya Troy sudah lelah karena usahanya tidak membuahkan hasil. Dan dari jendela kamarnya, Fenita bisa melihat Troy berjalan keluar rumahnya. Tanpa berbalik ataupun memandang sekelilingnya.

Dalam hati, Fenita ingin pandangan mereka bertemu. Dia ingin melihat mata hitam Troy yang sangat dirindukannya. Juga ingin tahu, melalui mata itu, apakah masih ada jejak dirinya di dalam hati Troy. Yah meskipun bisa dipastikan, tidak ada ingatan yang membekas tentang dirinya pada lelaki yang berjalan makin menjauh itu.

"Apa dia sudah pergi?" tanya Fenita ketika melihat kakaknya kembali ke ruang makan.

"Iya." jawabnya singkat. "Ayo kita bersiap."

Fenita menganggukkan kepalanya dan segera kembali ke kamarnya, mengambil tas. Mobil yang akan mengantar mereka ke bandara sudah menanti. Keduanya lalu memasuki mobil dan melaju menuju bandara. Kembali ke kehidupan Fenita sebagai Freya Mayer dan melanjutkan kuliahnya.

...

Tak percuma Troy masih bertahan untuk tetap berada di rumah Fritz Mayer. Dia melihat mobil itu keluar meninggalkan rumah, tak berselang setelah dirinya keluar dari rumah itu. Dan sekali lagi, ada sosok perempuan yang duduk di sebelah Tuan Mayer. Perempuan yang diyakininya sebagai Fenita, perempuan yang sangat dirindukannya yang hampir membuatnya gila.

Menjaga jarak seaman mungkin, Troy mengikuti kemana mobil itu pergi yang ternyata menuju bandara. Disana Troy masih berusaha tenang agar dia bisa mencari petunjuk dimana sebenarnya istrinya berada beberapa bulan terakhir ini. Dan ada satu petunjuk kecil yang berhasil ditangkap oleh Troy. Australia.

Tak melanjutkan aksi menguntitnya, Troy segera kembali ke kantor. Dengan informasi kecil yang baru saja dia dapatkan, dia harus bergerak cepat.

Di balik meja kayu yang kokoh ini Troy mengerjakan semua pekerjaannya. Mulai dari menandatangani dokumen penting sampai mengetik proposal. Dan kini, dia sibuk dengan laptopnya, mencari informasi apa saja yang bisa dia temukan.

"Aaron, bisa kita ketemu? Ada beberapa hal yang ingin aku tanyakan." Troy berkata melalui ujung ponselnya.

"Oke, nanti makan siang kita ketemu di restoran biasanya." jawab Aaron.

Sambil menunggu jam makan siang, Troy berusaha memusatkan pikirannya ke pekerjaan. Meeting yang belakangan menarik perhatiannya pun sekarang bukan prioritas utama di dalam pikirannya. Para peserta rapat tidak berani bertingkah aneh-aneh, bahkan untuk sekedar mengelap ketingat yang menetes pun mereka tidak berani. Suasana ini terlalu tegang. Tapi tetap berlangsung selama hampir dua jam.

Ketika mengamati jam tangannya sudah menunjukkan pukul 12.30, Troy segera mengakhiri rapat. Secara sepihak.

"Kita makan siang dulu." lalu Troy meninggalkan mereka yang menatap bosnya dengan penuh tanda tanya.

"Aku makan siang di luar. Dan aku nggak tau apa aku akan kembali atau tidak. Batalkan semua agenda hari ini." ucap Troy kepada Mr. Khan sebelum meninggalkan gedung kantornya.

Selama menunggu kedatangan Troy, Aaron bertanya-tanya, apa yang akan mereka bahas kali ini. Tapi kemungkinan besar topik pembicaraannya tetaplah sosok Fenita Miracle. Bahkan setelah enam bulan berlalu, Troy masih tetap tenang dan tidak berusaha berlebihan untuk mencari perempuan itu. Dan sekarang tampaknya dia seolah mencapat petunjuk kecil yang berharga.

"Maaf aku terlambat." perkataan Troy menyadarkan Aaron dari lamunananya.

"Biasa aja. Aku juga belum lama sampai."

Kedua pria itu menahan diri mereka masing-masing. Banyak pertanyaan tersusun rapi di kepala mereka yang siap untuk dilontarkan. Dalam tenang keduanya menikmati makan siang dan berharap makan siang segera berakhir.

"Kamu tahu dimana asal Fritz Mayer?" pertanyaan itu terlontar dari mulut Troy, memulai percakapan mereka.

"Canberra, Australia. Kenapa?" jawab Aaron penuh keheranan.

"Tahu rumahnya?"

"Aku nggak yakin tepatnya, karena dia orang yang sangat menjaga privasi. Tapi Canberra bukanlah tempat luas kan."

Apa yang dikatakan Aaron memang benar. Canberra bukanlah kota yang luas bila dibandingkan kota-kota yang lain di Australia. Tentu akan lebih mudah meski Troy harus mencari satu per satu.

Ada secercah harapan yang membuncah di hati Troy. Dia harus segera menyusun rencara untuk mencari Fenita. Dan kali ini, dia akan melakukan pencariannya sendiri.

"Terima kasih informasinya." Troy bangkit dan meninggalkan Aaron yang masih belum paham arah pembicaraannya.

Siguiente capítulo