webnovel

Duapuluhlima

Di dalam main hall sudah banyak orang yang hadir. Semua kalangan bercampur disini menjadi satu, tak ada yang membedakan mereka atasan atau bawahan. Tak ada yang membicarakan pekerjaan, hanya obrolan santai dan ringan sambil menikmati berlalunya waktu.

Acara ini diselenggarakan sebagai bagian dari pengakraban diri dengan semua orang yang berjasa untuk perusahaan.

Gemerlap lampu membuat suasana pesta menjadi lebih bersinar dan hingar bingar. Berbagai jenis makanan tersaji, juga minuman beralkohol maupun tidak. Ditengah ruangan, terdapat tempat dimana para chef mempertunjukkan keahliannya dalam mengolah makanan. Memberi pemandangan lain yang mendapat sambutan hangat dari para tamu. Mereka menyajikan makanan yang segar dan berkualitas.

Troy bersama dengan Vanesa tak henti-hentinya menyapa para tamu. Sebagai tuan rumah, mereka harus menyambut siapa pun yang datang dengan ramah. Tak lupa, keduanya juga melakukan pembicaraan secara personal dengan beberapa tamu. Ditengah kegiatannya, Troy teralihkan pandangannya. Dia seperti melihat sosok yang familiar, yang seharusnya tidak ada di dalam ruangan ini tapi entah bagaimana ceritanya dia berada di dalam ruangan ini bersama tamu yang lainnya. Belle.

Dalam balutan gaun longgar berwarna fuschia pink yang kalem, Belle tampak mempesona meski gaunnya minim ormanen ataupun hiasan. Ditambah dengan make up yang minim dan tatanan rambut yang sesuai, Belle bagai bidadari yang turun dari kahyangan. Sungguh sangat cantik.

Mata Troy tak melepaskan pandangannya dari Belle. Bahkan pandangan matanya masih terus saja mengikuti kemana Belle pergi, sampai perempuan itu menghilang dibalik pintu.

"Troy, kamu liatin apa? Sana cepat cari Fenita, perasaan Mama nggak enak nih." Vanesa menyadarkan putranya yang melamun.

Sepintas dia mengamati, hal penting apa yang membuat Troy melamun. Seketika moodnya menjadi kacau karena melihat sosok perempuan gila itu. Bagaimana bisa dia masuk ke dalam acara ini?

Troy langsung menuruti perkataan sang Mama. Sambil terus memasang wajah tersenyum, Troy mengitari hall untuk mencari istrinya.

"Kenapa lho kalo dicari malah nggak nemu." Troy merasa jengkel karena masih belum menemukan istrinya.

Entah berapa putaran dia mengelilingi hall, akhirnya Troy menemukan istrinya. Tapi tunggu. Fenita berjalan dengan seseorang? Seingat Troy, Fenita belum banyak mengenal orang dengan akrab disini. Bahkan karyawan paling bawah pun tidak pernah melihat Fenita dengan cermat. Lalu siapa dia?

ITU BELLE!!

Troy hapal dengan gaun yang dikenakan Belle. Juga, hanya ada sedikit perempuan hamil yang menghadiri acara pada malam ini. Jadi tak akan sulit untuk mengenalinya sebagai Belle. Mantan kekasihnya. Tapi kenapa dia bersama dengan Fenita?

Dari kejauhan, Troy masih mengamati kedua perempuan itu. Lalu sesuatu yang aneh terjadi. Belle menghentikan langkahnya dan memegangi perutnya sesekali. Apa ada sesuatu yang terjadi? Apa Belle tidak sehat?

Tanpa berpikir panjang, Troy langsung menghampiri Belle yang tengah kesakitan. Menyingkirkan tangan Fenita dengan kasar, yang membuat istrinya itu tersingkir dan akhirnya terjatuh.

"Are you okay?" Troy terlihat sangat khawatir.

Mendapati orang lain yang menanyakan kabarnya, Belle sedikit kaget. Terlebih saat dia menyadari bahwa orang itu adalah Troy, mantan kekasihnya yang telah dia tinggalkan. Tapi menghadapi situasi seperti sekarang ini, Belle hanya menganggukkan kepalanya.

"Istri kamu jatuh." ucap Belle sambil terus memegangi perutnya. Tampak Belle berusaha mengatur napasnya untuk mengurangi rasa sakitnya.

Entah apa yang merasuki Troy, dia hanya melihat sekilas ke arah Fenita tanpa berbuat apapun. Bahkan dia tidak tergerak untuk membantu Fenita berdiri. Malahan,Troy langsung menggendong Belle dan meninggalkan Fenita yang masih terduduk karena jatuh.

Melihat pemandangan yang sangat menyakitkan mata dan hatinya, Vanesa langsung berlari menuju Fenita. Dia membantu menantunya berdiri dan memapahnya untuk duduk di kursi terdekat.

"Kamu nggak papa, Sayang?" tanya Vanesa khawatir.

"Nggak papa, Ma." jawab Fenita dengan senyum.

Anehnya, setelah memberinya senyuman, Fenita langsung berubah ekspresi. Tiba-tiba saja dia meringis kesakitan. Entah bagian mana yang cedera, tapi ini harus segera di periksakan. Dia tidak mau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan terjadi pada menantu tersayangnya ini.

Dalam keadaan sedikit panik, Vanesa segera menelepon Aru dan meminta menyiapkan mobil. Tak kurang dari sepuluh menit, mobil sudah siap di depan, segera membawa Vanesa dan menantunya ke rumah sakit. Meninggalkan pesta dan tatapan para tamu yang penasaran dengan apa yang terjadi.

"Bagian mana yang sakit?" suara Vanesa semakin panik.

Bagaimana tidak, tadi Fenita hanya meringis kesakitan kecil, tapi sekarang dia terlihat hampir menangis menahan sakit sambil memegangi bagian perutnya. Tidak hanya itu, keringan mulai muncul dipelipis Fenita.

"Aru, bisa lebih cepat? Terobos lalu lintas kalau perlu."

Tangan Vanesa menggenggam erat tangan Fenita. Apapun yang terjadi, dia tidak mau kehilangan perempuan yang sudah menemani putranya ini. Apapun itu dia akan tetap melindungi Fenita, meski putranya yang bodoh itu terus saja mengabaikan Fenita dan memilih perempuan gila harta itu.

Tenang Sayang, Mama ada dipihak kamu. Berandal kecil itu akan membayar atas apa yang sudah dia lakukan ke kamu.

...

Perut Fenita terasa sangat sakit. Entah apa yang terjadi dengan tubuhnya, tapi ini adalah pertama kalinya dia merasakan sakit yang amat sangat. Rasanya dia seperti dihajar dibagian perutnya. Seketika pikirannya melayang ke kehamilannya. Jangan sampai hal buruk menimpa anaknya.

Ya Tuhan, tolong aku.

Tak terasa, air mata jatuh membasahi pipinya. Dia benar-benar tidak tahan dengan sakitnya. Bahkan genggaman tangan mama mertuanya dan elusan dipundaknya tidak mampu mengalihkan pikirannya dari rasa sakit ini. Kini dia menangis dalam diamnya sambil memeluk mertuanya. Sempat terbesit dipikirannya bahwa dia akan mati, maka dia akan iklas menerima kematiannya ini, tapi jangan siksa dirinya dengan sakit yang tak tertahankan ini.

Pukul satu dini hari.

Samar-samar Fenita mendengar suara orang bertengkar. Entah apa yang mereka perdebatkan, tapi rasanya dia mengenal suara itu. Oh iya, itu suara mama mertuanya. Dan kemungkinan besar yang menjadi objek omelan adalah Troy. Siapa lagi yang akan membuat Madam Vanesa bisa meluapkan amarahnya sedekimian rupa?

Perlahan, Fenita membuka matanya. Dimana dia? Kemungkinan ini adalah rumah sakit. Karena sebelumnya dia sedang dalam perjalanan ke rumah sakit bersama Madam Vanesa dan Aru sebelum dia kehilangan kesadarannya. Dan sekarang dia merasa pusing, Entah tidakan apa yang dilakukan kepada dirinya sampai dia merasa ada sesuatu yang salah dengan dirinya.

"Anda sudah sadar?" suara yang dikenalinya sebagai Aru menyambutnya.

"Apa boleh kamu bantu aku untuk bangun?" Fenita mencoba membangunkan dirinya, tetapi selalu gagal.

"Dokter bilang anda harus banyak istirahat. Mungkin pengaruh obat biusnya belum hilang sepenuhnya." Aru menahan tubuh Fenita yang hendak bangkit. "Saya akan memanggil Tuan dan Nyonya."

Dalam sekejap, Madam Vanesa diikuti Troy menghampiri Fenita. Entah apa yang sudah terjadi, tapi riasan mama mertuanya itu terlihat kacau. Tidak hanya itu, bekas air mata juga tercetak di pipi beliau.

"Ada apa, Ma?"

Tanpa berkata, Madam Vanesa langsung memeluk Fenita. Beliau juga tiba-tiba menangis. Perlu beberapa menit hingga akhirnya Madam Vanesa menguasai dirinya dan berhenti menangis.

"Maafin Mama. Maafin Troy." Mama mertuanya kembali menangis.

Bingung dengan apa yang terjadi, Fenita hanya bisa menatap mama mertuanya dan Troy secara bergantian. Apa yang sebenarnya telah terjadi dalam waktu beberapa jam ini?

"Kamu keguguran. Cucu Mama nggak selamat." ucap Madam Vanesa lirih. Air mata beliau berjatuhan dengan derasnya.

Untuk sejenak Fenita terdiam. Hanya ada air mata yang merupakan respon tubuhnya untuk menanggapi berita yang baru saja didengarnya. Rasanya, semua bagian tubuhnya tiba-tiba merasa tidak ada tenaga.

Kehidupan macam apa ini? Selama ini dia hidup sendiri tanpa orangtua kandung dan keluarga. Dia selalu berdoa agar kelak mendapatkan keluarga yang menyayanginya. Bertahun-tahun dia berjuang sendiri, bahkan banyak cemoohan yang dia terima. Disaat dia akhirnya mendapatkan status yang cukup baik, kehidupan berumahtangganya tak berjalan mulus. Dia terus bertahan demi pernikahan yang sempurna. Sekarang apa lagi?

Dia harus kehilangan anak yang belum pernah dia panggil 'sayang'. Anak yang bahkan belum mendapat pengakuan dari ayahnya. Anak yang bahkan tak ada seorangpun yang menyadari kehadirannya selain dia sendiri. Bahkan dia yang terlambat untuk menyadarinya kehadiran anak itu.

Kedua perempuan itu menangis sambil terus bergenggaman tangan. Bila salah satu merasa dunianya hancur, yang lain akan menguatkan.

Siguiente capítulo