webnovel

Ch. 2 Mara Jangan Dipukat, Rezeki Jangan Ditolak

"Huft.. ini kan mimpiku? Kenapa susah dimodifikasi?" seorang remaja berumur 15 tahun terbangun dari tidurnya. Berbaring di atas ranjang, tanpa perubahan posisi. Tubuhnya miring ke arah jendela dengan mata terbuka. Tidak ada rasa terkejut di hatinya. Wajah yang dingin, tiada rasa takut, hanya sedikit kebingungan.

Layaknya seorang remaja manusia, Aswa memiliki perawakan yang standar. Wajah yang standar, tidak dikategorikan tampan. Warna kulitnya agak gelap dengan rambut berwarna hitam. Ia memiliki tinggi sekitar 159 cm. Masih bisa bertambah karena secara fisik Aswa masih dalam pertumbuhan.

Aswa menyapu ujung bibirnya yang basah. Sejurus kemudian membalik bantal yang sebelumnya ia rebahi. Genangan air di bantal sekarang sudah diatasi.

Sejak berusia tujuh tahun, mimpi seperti ini sering ia alami. Ia telah bermimpi menjadi seorang yang berwawasan luas, lalu bermimpi menjadi guru yang dikagumi banyak murid. Mimpi ini awalnya biasa-biasa saja baginya. Namun ia mulai sadar mimpi itu menjadi sebuah petualangan. Tiap mimpi saling terkait dan beralur panjang. Antara satu malam dengan malam yang lain.

Tidak setiap malam Aswa bermimpi seperti itu karena diselingi mimpi "sik-asik" seorang remaja. Itupun mimpi yang tidak dapat dimodifikasi, membuat Aswa merasa hambar untuk masalah mimpi yang "asik". Saat ia menyadari sedang bermimpi dan hendak memodifikasi, maka ia akan terbangun dari tidurnya. "Oh, sh*t"

Suatu mimpi biasanya terkait dengan obsesi yang dimiliki seseorang. Atau terkait dengan pengalaman hidup sebelumnya, membaca atau menonton video juga termasuk. Sebagian mimpi bisa pula menjadi suatu pertanda yang akan terjadi di masa yang akan datang. Bagi Aswa, mimpi ini perlahan menunjukkan tanda-tanda sebagai sebuah penanda.

Beberapa bagian adegan dari mimpi itu benar-benar terjadi dalam kehidupannya. Salah satunya menjadi orang yang berwawasan luas. Awalnya kemampuan ini ia anggap sebagai sesuatu yang janggal.

 Sebelum mendapat takdir mimpi yang menjadi sebuah penanda, ia mengalami pengalaman yang tidak bisa ia ingat dengan jelas. Pada awal tahun 1014 AG (After Glory, perhitungan tahun untuk bumi yang didiami Aswa), tepatnya malam tanggal 3 Januari, setelah 15 menit duduk di teras rumah ia menjadi orang yang linglung. Memandang ke arah kartu digital. Membaca tulisan yang tertera di sana.

Usianya saat itu baru lima tahun, tapi tiba-tiba sudah bisa membaca.

Tanpa guru.

Tanpa latihan.

Tanpa tutorial dari Youtube...

Sejak saat itu keterampilan membacanya sangat cepat. Seperti mesin scanning. Dalam sekali membaca, ia dapat memahami maksud tulisan dan membandingkannya dengan pengetahuan yang ia miliki.

Kecerdasannya di atas rata-rata orang normal. Mampu berpikir silogisme, deduktif-induktif, kritis analitis dalam waktu yang sangat singkat. Setiap hipotesis yang ia buat mampu dia verifikasi dengan cepat dengan mengingat literatur yang ia baca sebelumnya. Verifikasi ini sifatnya hanya teoritis. Baginya dapat membuktikan sesuatu secara empiris jauh lebih meyakinkan. Belum tentu juga menyenangkan.

Sayangnya, walau diberkahi otak yang cerdas, remaja lima belas tahun ini tidak banyak memiliki obsesi. Jika dilihat dari kebiasaannya, hobi remaja ini adalah membaca. Hampir di setiap kesendiriaannya, di toilet sekalipun, ia akan membaca. Tapi ini menurutnya bukan hobi, melainkan kebiasaan untuk mengisi waktunya. Itu tetap dikategorikan hobi saja, oke?

Ia melirik jam dinding, jarum pendek mendekati angka dua dan jarum panjangnya berada di antara angka delapan dan sembilan. Jam klasik untuk ukuran dunia post modern.

Mencoba mengatur kembali posisi tidur dengan memasukkan tangan ke bawah bantal.

"Sebaiknya dibuang dulu..." ia beranjak dari tempat tidur sambil membersihkan tangannya yang basah. Genangan air di bawah bantal bersentuhan dengan punggung tangannya kala itu.

Lampu di kamarnya yang semula redup berubah terang. Untuk mencapai toilet ia harus melalui lorong rumah yang lebarnya hanya 80 senti meter. Jarak kamar dengan toilet hanya lima meter. Itu selebar kamar ayahnya yang berdekatan dengan toilet.

Pintu kamar ayahnya tidak tertutup rapat. Di sela cahaya terang terlihat ayahnya duduk dengan tenang membelakangi pintu.

"Argghh... aku sudah mau muntah!!"

Aswa menghentikan langkah tepat saat ayahnya berteriak. Aswa berbalik, membuka lebar pintu kamar, berdiri tepat di belakang ayahnya.

Ayah Aswa memiliki perawakan yang tegap walau perutnya sudah terlihat buncit. Otot-otot tubuhnya sudah sangat kendor. Saat masih muda otot-otot nya adalah bagian tubuh yang dibanggakannya. Kulitnya berwarna gelap karena sering diterpa panas. Dengan wajah yang tidak dapat dikategorikan rupawan cukup mirip dengan wajah Aswa. Walaupun demikian, penampilan tetap menjadi perhatian ayah Aswa. Gaya rambut dan pakaian yang selalu rapi ditambah dengan wewangian maskulin, menandakan ayah Aswa masih memiliki sisi humanis dan ketertarikan dengan lawan jenis.

"....."

"Ah, si bungsu... Ayah sudah menunggu kau bangun."

Aswa duduk di lantai menghadap Ayahnya. Muhayman, ayah Aswa melepaskan konsol game yang terintegrasi pada sepasang sarung tangan. Barang bekas ini gabungan antara mesin dengan entitas sihir. Di dunia ini, penemuan tekhnologi sihir sudah umum terjadi sejak seribu tahun silam, lebih sedikit. 

Sumber listrik di rumah Aswa merupakan hasil kinerja sihir dan ilmu pengetahuan. Memanfaatkan batu cahaya hasil ekstraksi energi surya. Satu batu menghasilkan energi listrik sebesar 500 Watt dan mampu bertahan selama satu bulan pemakaian. Penggunaan energi ini sangat efisien. Untuk ukuran keluarga yang terdiri hanya dua orang seperti Aswa, 500 Watt cukup untuk satu setengah bulan. Penggunaan listrik praktis hanya untuk pencahayaan, memasak, dan kebutuhan lain yang berdaya rendah.

"Kenapa bisa peringkat satu? Sudah ku katakan, cukup masuk lima besar." Wajah Muhayman suram. Masalah ini jelas merujuk pada hasil tes masuk sekolah menengah atas.

"Menjadi peringkat satu tentu saja akan menjadi perhatian banyak orang." Aswa mengangguk.

"Itulah... padahal kau tau situasinya." Suara Muhayman merendah.

Aswa telah melakukan instuksi ayahnya untuk tidak menunjukkan banyak bakatnya. Cukup nilai untuk masuk lima besar, bukan menjadi nomor dua dan tentu saja bahkan nomor satu. Di dunia ini, warga biasa yang memiliki bakat akan ditekan. Tekanan halus hingga tidak disadari gagal mendaki puncak.

Tes masuk sekolah dibagi ke dalam empat bidang. Bidang wawasan, kekuatan fisik, kekuatan spiritual, dan kecerdasan emosional. Hasil akhir adalah akumulasi dari keempat bidang ini.

Sekolah yang Aswa masuki adalah jurusan pengembaraan, bernama Spiritualist Menengah Atas Mahakama.

Tes kekuatan fisik dan kekuatan spiritual adalah bidang kelemahan Aswa. Tidak perlu berpura-pura, dengan upaya maksimal saja Aswa hanya mendapat nilai terendah, masing-masing 15 dan 14 dari margin 100. Benar-benar buruk untuk menjadi pahlawan masa depan di dunia fantasi.

Tes kecerdasan emosional tanpa direkayasa oleh Aswa mencapai nilai 80. Hasil ini memang ingin diketahuinya sendiri tanpa aplikasi khusus yang terjual secara online.

Saat tes wawasan, nilai yang didapat adalah 76, hasil yang paling mungkin ia capai untuk merekayasa peringkat. Akan tetapi peserta lain tidak ada yang mendapat nilai di atas sepuluh dari 100 nilai maksimal!!

Alhasil peringkat satu yang bukan target awal menjadi miliknya.

mara jangan dipukat, rezeki jangan ditolak...

Takdir memang seperti itu, tidak ada yang bisa dilakukan duo ayah dan anak ini untuk menolaknya. Pindah ke sekolah lain akan memicu resiko yang lebih tinggi.

"Ayah, dari pengamatan Aswa, sekolah memang melakukan beberapa trik untuk mempengaruhi peringkat. Ada sebelas kemungkinan yang Aswa temukan." Aswa menggunakan namanya untuk mengganti kata "aku" atau "saya" sebagai bentuk kesantunan kepada ayahnya. Budaya yang sudah hilang di dunia dalam cerita ini.

"Terus..." Muhayman mengangkat kepalanya.

"Banyak soal jebakan yang sebenarnya diperuntukkan untuk tes menjadi tutor. Untuk ukuran tes masuk sekolah menengah atas... soal yang digunakan bersifat kualitatif dan membutuhkan nalar peserta. Bagi mereka yang ukuran bangsawan, soal dan jawaban semestinya sudah dibocorkan." Aswa menundukkan kepala ketika Muhayman mendekatkan tubuh dan telinganya ke mulut Aswa.

"Ada dua peserta yang tiba-tiba terlibat perkelahian. Mereka diamankan anggota keluarga masing-masing. Seorang pria dari Guild Dragonslayer dan yang satu dari keluarga Burung Enggang Batu, seorang wanita. Pria dari keluarga Dragonslayer mengundurkan diri." Aswa berbisik.

Bayangan pertarungan masih membekas di ingatannya. Dua orang, pria tampan dan gadis cantik.

Pertarungan berlangsung setara. Serangan jarak jauh dan dekat yang mereka pertontonkan sama-sama baik. Pria Dragonslayer mampu mengendalikan kekuatan api dengan cukup mahir. Panjang dan pendek api yang dikeluarkan memang belum terpola. Namun jelas dia sudah terlatih dengan baik. Gadis cantik yang menjadi lawannya sebenarnya memiliki elemen yang lemah melawan api, yaitu tanaman. Hanya saja tanaman ini sudah terintegrasi dengan elemen besi. Butuh waktu bagi api untuk melelehkan besi walau pasti leleh. Di samping itu si gadis mampu membuat tanaman itu tumbuh sekehendak hatinya, mengganggu pergerakan pria Dragonslayer. Semakin lama pertarungan berlangsung semakin intens gerakan mereka. Siswa lain jelas terganggu dengan keributan ini. Setelah dua jam bertarung dua keluarga datang melerai. Hasil pertarungan bisa dianggap belum mengeluarkan pemenang. Si pria Dragonslayer pergi, sang gadis cantik tetap bertahan.

"Satu dari keluarga Benua Merah dan satu dari keluarga asli Pulau Lawas. Aku tau jelas situasinya. Hanya dua anak ini yang mendapat bocoran. Si burung enggang tidak sempat lagi mengerjakan soal." Muhayman mengangguk.

"Rencana berubah sedikit, secepatnya kamu belajar kemampuan membaca pikiran. Hehehe..." mata Muhayman memancarkan kecermelangan.

"Setelah memiliki kemampuan itu, lalu mendaftarkan diri ke perguruan silat. Tidak perlu yang mengolah tenaga dalam." Muhayman bingung dengan kata-kata Aswa. "Sebelum tidur tadi malam, kemampuan itu sudah Aswa kuasai." Aswa memandang wajah Muhayman dengan sedikit mengangkat alis. Mata Muhayman melirik ke arah layar transparan yang belum dimatikan.

"Heh, anak yang beruntung dan bertuah. Kalau begitu mulai besok daftarkan dirimu di perguruan silat. Tidak perlu yang mengolah tenaga dalam. Cukup yang mengolah fisik. Kamu lebih tau yang terbaik." Muhayman memandang Aswa dengan dalam sambil memundurkan tubuh, memberi jarak antara dirinya dengan Aswa.

"Aku lihat dari tadi kakimu gemetar. Pergilah ke toilet." Muhayman melihat Aswa yang bergegas berdiri.

"Malam ini kita bangun pondasi spiritual dalam dirimu."

"Baik." Aswa ke luar kamar sambil menekan "pipa" lalu bergegas menuju toilet.

Malam itu tidak ada percakapan mengenai mimpi Aswa yang telah mencapai puncak. Pada mimpi itu Aswa tewas dalam satu serangan.

***

Siguiente capítulo