webnovel

Aku ingin kau mengerti perasaanku

Alesha mengerutkan keningnya, dia mencoba menerka-nerka suara yang didengarnya itu. "Apa benar ini Alesha?" suara diseberang itu bertanya lagi. Alesha tersadar dari lamunannya.

"Ah..iya. Aku Alesha. Anda siapa?" jawab Alesha penasaran. Wanita diseberang sana terdengar tertawa kecil.

"Aku adalah calon istri Pangeran George, aku rasa kau sudah tahu itu" jawab Wanita itu. Napas Alesha terasa tercekat di tenggorokan, dia sangat terkejut karena tidak pernah menyangka Silvia bisa menghubunginya. Alesha merasa khawatir, apakah Silvia ingin menghujatnya atau menghinanya karena telah merebut cinta pangeran George?

Beberapa saat keheningan menyelimuti mereka, sebelum akhirnya Silvia membuka suara. "Kau pasti bertanya-tanya kenapa aku bisa sampai menghubungimu".

Alesha terhenyak dari lamunannya. "Iya, tentunya aku ingin tahu kenapa putri Silvia menghubungiku". Ucapnya diplomastis. Dia tidak ingin terdengar lemah dan ragu menghadapi saingannya.

Terdengar Putri Silvia menghela napas panjang. " Alesha, bisakah kita bertemu? Ada sesuatu yang ingin ku bicarakan kepadamu secara langsung". ucapnya terdengar memelas. Alesha kembali terdiam, dia tidak mengerti kenapa tiba-tiba wanita itu mengajaknya bertemu.

"Kau tidak usah khawatir aku akan mencelakaimu, bukankah Pangeran George telah menyediakanmu pengawal yang siap melindungimu 24 jam? aku bahkan tidak ada niat seperti itu, percayalah". ucap Silvia seakan tau apa yang ada dalam pikiran Alesha.

Setelah lama terdiam Alesha menghela napas panjang. "Baiklah, aku bersedia". jawabnya singkat. "Terima kasih Alesha, besok pukul 4 sore datanglah. Alamatnya akan aku kirimkan segera. Bye." ucap Silvia sebelum mengakhiri panggilan. Alesha kembali menghela napas panjang, dia berusaha menerka-nerka apa maksud dari Silvia sebenarnya.

Mengapa dia ingin menemui dirinya, kalau ingin mengancam keselamatannya rasanya tidak mungkin karena Silvia ternyata tau kalau Alesha punya pengawal. Lalu apa motifnya? Alesha merasa tidak nyaman, dia berpikir untuk membatalkan saja pertemuannya dengan Silvia apalagi wanita itu sangat sok akrab dengannya. Sangat tidak mungkin seorang wanita bersikap manis dengan pesaing cintanya. Apalagi ini menyangkut harga diri dan kehormatannya. Tapi Alesha sudah terlanjur berjanji akan datang menemui Silvia sehingga dia tidak mungkin lagi membatalkannya. Alesha juga tidak mau dianggap wanita pengecut, sehingga dia akan menghadapinya dan apapun motif Silvia besok dia akan tahu jawabannya.

****

"Aku merasa sangat senang kau bisa datang Alesha, terimakasih". ucap Silvia sambil tersenyum. Bahkan senyumnya pun terlihat tulus, pikir Alesha.

"Iya, aku sudah berjanji padamu. Rasanya tidak mungkin kalau aku membatalkannya karena aku memang tidak punya alasan untuk itu, iya kan?" Jawab Alesha. Dia berusaha meyakinkan Silvia kalau memang dirinya tidak terpaksa menemuinya, sekaligus memberi kesan seolah memastikan kalau Silvia memang tulus tanpa motif lain. Karena sampai saat ini pun Alesha belum merasakan gelagat Silvia yang mencurigakan.

Mendengar hal itu Silvia tersenyum lembut. Hatinya sangat sakit dan sangat membenci wanita yang ada didepannya itu. Wanita yang telah merebut kesempatannya menjadi ratu pendamping pangeran George. Wanita yang telah menghancurkan harga dirinya. Dia tidak akan pernah sedikitpun membiarkan wanita ini hidup tenang. Tapi semua perasaan itu dia tutupi dengan sangat sempurna lewat senyum lembutnya, bahkan pskiaterpun tidak akan bisa mengetahui kalau dibalik senyum tulusnya itu tersimpan dendam membara yang siap melahap apapun yang ada disekitarnya.

"Iya, tentu saja. Aku jadi berpikir mungkin hal ini menjadi salah satu hal yang Pangeran George suka darimu. Berani. Well, sekarang kita pesan makanan dulu ya". Ucap Silvia menawarkan. Alesha pun mengangguk setuju. Setelah makanan terhidang, mereka mulai melahap makanan mereka dengan tenang.

"Alesha, aku ingin berbicara dari hati kehati denganmu." Silvia memulai pembicaraan. "Silakan putri, aku pasti akan mendengarkannya. Dan pun kalau aku punya solusi terhadap apapun masalahmu aku pasti akan membantumu semampuku." Tanpa sadar Alesha menggali kuburannya sendiri. Kali ini dia rupanya terlalu yakin akan ketulusan Silvia sehingga tidak menyadari apa yang baru saja dia ucapkan.

Mendengar itu Silvia tersenyum. Hatinya bersorak riang 'got you' gumannya dalam hati.

"Terima kasih Alesha, ternyata kau sangat pengertian". Jawabnya masih dengan senyum tulus nan lembutnya. Setelah itu diapun melanjutkan.

" Alesha, kau tau kalau sebelum mengenalmu George dan aku dijodohkan dan bahkan sudah bertunangan. Aku sangat bahagia dengan perjodohan kami karena aku sangat mencintainya meskipun Pangeran George tidak mencintaiku.

Alesha, sebagai seorang wanita tentunya kau sangat paham dengan perasaanku. Mencintai seseorang namun orang yang kita cintai tidak membalas perasaan kita, rasanya sangat sakit. Tapi aku masih bersyukur karena ibunda ratu Kate sangat menyayangiku. Aku juga sangat optimis dengan perjodohan ini meskipun George tidak mencintaiku. Karena aku yakin seiring dengan berjalannya waktu hati George akan luluh, apalagi dengan dukungan keluarga.

Aku hanya ingin memberitahu sekaligus mengingatkan kalau posisiku sekarang sangat kuat Alesha. Maksudku, meskipun kau mendapatkan cinta dari George tetapi kau tidak mendapatkan dukungan dari keluarganya. Setiap anggota keluarga kerajaan hanya akan berjodoh dengan anggota kerajaan atau bangsawan lainnya, dan tidak pernah sekalipun anggota keluarga kerajaan kami yang pernah menentang tradisi itu.

Jadi maksudku adalah daripada kau berharap lebih dari Pangeran George dan akan menambah rasa sakit hatimu kelak, lebih baik kau pertimbangkan lagi. Aku tidak memintamu untuk melepaskan George karena aku tau kalau kalian saling mencintai tapi kau pasti sudah bisa menarik kesimpulan dari apa yang telah kusampaikan. Aku hanya tidak ingin kau kecewa dan hancur karena mempertahankan hubungan kalian.

Kau juga tentunya sudah tahu posisi Pangeran George sebagai putra mahkota kerajaan, dia terikat dengan aturan-aturan yang pastinya itu sangat berpengaruh terhadap kedudukannya kelak. Dan itu juga menyangkut perjodohan kami, jika sedikit saja dia menentang aturan-aturan itu, sudah dipastikan masa depannya tidak akan secemerlang yang diharapkan.

Pangeran George akan dianggap pembangkang oleh rakyat dan mereka akan menganggap kalau Pangeran George tidak pantas menjadi seorang raja. Jadi sebelum semuanya bertambah dalam dan rumit alangkah lebih bijak kalau kau memikirkannya lagi" ucap Silvia dengan tatapan menyakinkan. Dia berusaha memanipulasi pikiran Alesha supaya terpengaruh dan akhirnya menjauhi George.

Alesha hanya terdiam, pikirannya tiba-tiba hampa setelah mendengar kata-kata Silvia. Di satu sisi Kelly tidak ingin menghiraukan semua yang dikatakan Silvia karena dia sangat yakin George akan memperjuangkan cinta mereka, namun disisi lain ketika dia memikirkan posisi George, rasanya sangat tidak mungkin kalau dirinya tetap egois dengan mempertahankan hubungannya dengan George. Apalagi keluarga kerajaan sudah menjodohkan George dengan Silvia jauh sebelum dirinya bertemu dengan George.

Alesha juga sangat sadar diri, siapalah dirinya ini yang hanya seorang mahasiswa biasa dari luar. Dia hanya gadis yang kebetulan bertemu dan mencintai seorang pangeran yang sudah mempunyai calon pendamping yang pantas. Bukan dengan dirinya yang hanya gadis biasa. Kalau rakyat inggris tahu kalau dirinya yang menyebabkan putusnya perjodohan putri Silvia dan pangeran George, bisa-bisa Alesha akan menjadi bahan bully dan yang lebih parah akan dideportasi dari inggris. Itu akan menjadi hal yang sangat memalukan bagi dirinya dan kedua orang tuanya.

Lama Alesha termenung memikirkan semua yang dikatakan Silvia, dan apa yang sudah dikatakan Silvia memang semuanya benar dan masuk akal. Alesha kemudian hanya menarik napas panjang dan meminum air yang ada didepannya karena tiba-tiba saja tenggorokannya menjadi kering.

Silvia tersenyum puas melihat sikap Alesha, dia yakin rencananya sebentar lagi akan berhasil. Tinggal selangkah lagi dan semuanya akan berjalan sesuai dengan rencananya.

Siguiente capítulo