Di sebuah tempat - Yang jauh dari jangkauan manusia
Lelaki tua itu memandang ke arah jendela, dia hanya memandang sebuah pemandangan gelap di depannya. Sesekali percikan api terlihat, melengkapi pemandangan yang ada di depannya.
"Bagaimana dengan kabar itu? Apa benar dia tertangkap?" Tanya lelaki tua itu dengan suaranya yang berat dan parau.
Tubuhnya yang jangkung dan terlihat kurus, dengan jenggotnya yang panjang hingga perutnya. Membuatnya menjadi terlihat sangat tua, tapi badannya masih tegap. Ia memandang wanita bertudung yang berlutut di depannya.
"Ya Tuan, kabar itu benar." Ucap wanita itu masih berlutut dan menunduk dengan hormat. Lelaki tua itu tertawa, suaranya membahana ke segala arah.
"Ijinkan aku yang menanganinya." Ucap wanita tersebut, dan seketika lelaki tua itu berhenti tertawa. Ia berjalan mendekati wanita tersebut yang masih belum bergeming sama sekali.
Lelaki itu mulai mengucapkan sesuatu yang cukup panjang, mendadak hawa sekitarnya menjadi panas. Wanita itu sedikit menengok ke arah tuannya, dan menatap dengan takjub.
Tangan lelaki tua itu tiba-tiba lebih bercahaya, dan sesaat ada kobaran api yang muncul dengan besar. Lelaki tua itu pun menutup kobaran api itu dengan tangannya yang satu lagi, dan api benar-benar padam seketika.
Tapi di tangan laki-laki tersebut, muncul sebuah cambuk hitam. "Anggap ini sebuah hadiah," Ucap lelaki tua itu masih dengan suara paraunya, menyodorkan cambuk ke arah wanita tersebut.
"Ah.. Untukku? Terimakasih Tuan Azkya." Ucapnya dan menerima dengan bangga cambuk hitam yang ia pandang terus menerus tanpa berkedip.
"Kau butuh energi yang kuat, ketika berada disana. Ada hal yang harus aku urus disini, benteng mereka masih belum bisa kita kalahkan." Ucap Azkya yang kemudian duduk di kursi titahnya.
"Tuanku, apa perlu aku mendampingimu menghadapi para Yarkee?" Wanita itu mulai mendongak dan memandang wajah tuannya dengan gelisah.
"Tidak perlu Heidy, aku menyerahkan masalah ini dengan Destra."
Heidy pun menunduk dan tidak berani untuk berdebat dengan tuannya, walaupun tangannya mengepal dengan keras.
***
"Evander!! awas dibelakangmu!!!
Pria itu berlari dengan sangat kencang, menghindari sebuah ekor berduri tajam dan mulai melompat dengan tinggi. Ia terhenti di antara pohon yang memiliki dahan yang tinggi.
"Eros!! Bagaimana dia bisa keluar dan terbang dengan bebas?!" Teriak Evander yang mulai mengeluarkan busur panahnya.
"Entahlah?? Kalau kau bertanya dengan ku, haruskah aku bertanya dengan Naga gila itu??" Eros melemparkan bumerangnya ke arah Naga yang dengan mudah menangkisnya.
"Setauku, harusnya naga ini sedang dalam jam belajar. Apa mungkin anak-anak terlalu bersemangat mempelajarinya?" Ucap Eros yang tiba-tiba muncul dan berada di sampingnya. Eros sudah memegang bumerangnya, dan masih menatap lurus ke arah naga yang mulai mengamuk dan mulai membakar dengan menggila.
"Cepat kau harus hentikan dia Evander!! atau dia akan membakar sebagian lahan bunga obat disini! Aku tidak mau melihat Gaia mengamuk!" Ucap Eros yang sudah mulai melompat turun.
"Huhhhh. Hari yang benar-benar melelahkan." Ucap Evander yang mulai melepas panahnya ke arah naga yang berada jauh di depannya.
"Tashhhhhh....." "Tasshhhhhhh"
Dua anak panah itu berputar cepat ke atas dan meluncur ke arah naga hijau yang tidak hentinya mengeluarkan api dari dalam mulutnya.
Dua panah tepat mendarat mengenai bagian perutnya, seketika panah itu mulai menghilang dan memudar, bukan karena kulit naga yang terlalu tebal. Tapi panah itu seakan-akan meresap ke dalam tubuh naga yang besar itu.
Tidak lama mata naga yang berwarna hijau terang itu, mulai terlihat mengantuk. Tinggi naga itu mencapai 18 meter, ekornya yang panjang dengan duri-duri yang mengelilingi ekor. Sayapnya tidak sepanjang ekornya. Tapi ia memiliki taring yang cukup panjang, dan terlihat ia hanya memiliki tiga taring.
Disisi lain, Eros sedang bertekuk lutut diantara kobaran api yang mulai membesar.
Melafalkan beberapa mantra dengan sinar berkilau terang...."
Eros terus mengucapkan mantra itu berulang-ulang. Seketika awan mulai berkumpul banyak dan dengan cepat berubah menjadi kelabu, petir-petir mulai bermunculan, dan angin pun mulai bertiup dengan kencang.
"Eros, cepat !! Api sudah semakin membesar." Ucap Evander masih mengarahkan busurnya ke arah naga yang sudah terkulai lemas, berjaga-jaga jika Naga itu mulai menggila lagi.
Eros masih berkonsentrasi, kali ini ia bangkit dari duduknya. Berdiri dengan tegap, tangannya ia rentangkan ke atas. Matanya mulai mengeluarkan sinar putih yang menyilaukan.
Tidak lama hujan pun turun dengan deras, Eros memandang langit dengan tersenyum puas. Api yang berkobar pun mulai mengecil.
"Huhhhh, untunglah." Ucap Eros sambil mengkaitkan kembali boomerang di sisi bajunya.
Evander melompat ke arahnya ikut memandang lahan bunga Deril yang luas, dan hampir sepertiganya sudah habis di lahap api.
"Kau yang akan melapor ke Gaia bukan soal ini?" Lirik Evander, dan Eros memberikan tatapan menolak. "Gila, aku tidak mau!! Wanita gila itu lebih berbahaya dari naga Hijau ini."
Evander dan Eros pun bersiul, dan dua ekor pterenadon datang menghampiri mereka. Mereka pun menepuk badan burung tersebut dengan pelan, burung besar itu sangat jinak.
Evander dan Eros memperhatikan pemandangan di bawah mereka, seekor Naga Hijau masih terlelap dalam jaring khusus yang menjeratnya. Sedangkan di setiap ujung jaring dikaitkan dengan kaki Pterenadon, burung itu sangat besar dengan panjang 10 meter. Dan mereka mampu membawa naga hijau yang ukurannya dua kali mereka.
Evander dan Eros sedang berdiri tegak di sebuah aula yang luas, mereka baru saja memberikan laporan kepada tuan mereka.
Banyak jendela yang mengelilingi aula tersebut. Dan cahaya matahari dapat dengan mudah masuk melewati jendela, dan memperlihatkan kesan yang cukup terang di aula tersebut.
Seorang pria tua dengan rambut cokelatnya sedang duduk dengan santai, dia duduk di singgasananya sambil menikmati cangkir keramiknya yang berwarna putih terang.
Suara pintu terbuka dengan kasar. Wanita dengan rambut cokelatnya yang dikuncir kuda dengan tinggi. Memperlihatkan wajah masam dan marahnya, berjalan dengan cepat walaupun di pundaknya ada dua pedang panjang yang ia rekatkan di tameng, dan menempel dipakaian jirahnya.
Wanita itu memandang tajam ke arah Evander dan Eros, lalu tanpa ragu menarik pedangnya dan mengarahkan dengan mantap ke arah dua pria di depannya.
"Kenapa kalian tidak melapor kepadaku!" Gertak wanita itu, sedangkan pria yang duduk di singgasana masih menikmati minum tehnya.
Tidak ada yang bersuara diantara mereka berdua, sedangkan pedang masih mengarah ke mereka.
"Gaia.. Hentikan." Suara pria itu membuat Gaia sedikit mengalihkan perhatiannya, dan melirik ke arah ayahnya.
"Harusnya kau berterimakasih kepada mereka berdua, Mereka berhasil membuat naga Norwe itu tidak menghancurkan lebih banyak lagi." Ucap Pria teresebut dengan tenang.
"Itu sudah menjadi tugas mereka, apa kita harus merekrut orang lain ayah?" Gaia tetap tidak menurunkan pedangnya, sedangkan dua pria dihadapannya tidak bergeming dan masih tertunduk dengan hormat.