webnovel

Demi Keselamatannya

Editor: EndlessFantasy Translation

"YIN - SHAO - JIE!" dia berteriak panik. Mobil itu begitu cepat dan kata-katanya terputus oleh angin.

"Berhenti berteriak! Duduk dengan benar dan pegang erat-erat! Ini akan segera berakhir. Tahan saja!" Biasanya Yin Shaojie selalu fokus dan santai ketika sedang balapan. Tapi hari ini berbeda. Alisnya bahkan basah oleh keringat dingin ketika dia memperhatikan Xiaoxiao sepanjang waktu.

Di antara kerumunan orang-orang, Han Yun terlihat sangat senang mendengar teriakan Mu Xiaoxiao dan tertawa terbahak-bahak.

Dia menyeringai jahat. Mari kita lihat bagaimana kau akan mati, dasar pela*ur!

...

Di jalanan, Bugatti biru safir berbelok di sudut dengan gerakan yang indah dan ia masih tetap memimpin.

Di dalam mobil, wajah Mu Xiaoxiao berubah semakin pucat, darahnya seperti mengalir turun dari kepala ke kakinya. Dia terlihat seperti sedang sakit.

Yin Shaojie memperhatikan ketidaknyamanannya dan dengan wajahnya yang cemas, ia pun bertanya, "Xiaoxiao, kau baik-baik saja?"

Awalnya Xiaoxiao menjerit selama beberapa waktu, tapi sekarang dia terdiam membeku dalam posisi tersebut. Mu Xiaoxiao tidak menjawab. Dia bahkan tidak menggerakkan kepalanya.

Awalnya dia ingin menutup matanya dan berpura-pura hanya duduk di atas roller-coaster, meskipun dia juga membencinya. Namun dalam situasi seperti ini, sulit baginya untuk bisa berhenti di tengah jalan bahkan jika dia mau. Dia harus tetap bertahan.

Namun, ternyata hal itu justru terasa lebih menakutkan ketika dia menutup matanya. Rasanya seakan seluruh dunia berputar-putar. Ia tidak punya pilihan selain membuka matanya dan menatap lurus ke depan. Pemandangan di depannya melintasinya seperti bayangan yang bergerak cepat.

"Mu Xiaoxiao!" Yin Shaojie tiba-tiba berteriak dengan kasar.

Panca indera Mu Xiaoxiao pun kembali. Dia merintih dan seluruh tubuhnya seolah sudah di ambang batasnya dan dia bisa pingsan kapan saja.

Wajahnya pucat, Yin Shaojie menggertakkan giginya dan mengutuk. Dia harus memperlambat demi keselamatannya.

Satu demi satu, ia disusul oleh mobil-mobil yang lain. Seseorang bahkan terlihat bersorak gembira melihatnya. Sorakan itu terdengar seperti ucapan terima kasih.

Wajah Yin Shaojie tampak pucat, tetapi dia masih menoleh ke Mu Xiaoxiao dan bertanya dengan cemas, "Apakah kau merasa lebih baik sekarang?"

Melihat Shaojie akan menghentikan mobilnya, dia buru-buru berteriak, "Jangan! Jangan berhenti!"

Dia melihat yang lainnya telah menyalip mereka dan dia merasa bersalah. Xiaoxiao melupakan rasa ketidaknyamanannya dan menatap Shaojie dengan cemas.

"Jie, cepat kejar mereka! Kau bisa melakukannya! Kau hanya sedikit tertinggal sekarang, cepat kejar mereka!"

Yin Shaojie menatapnya. Wajah Xiaoxiao tidak hanya pucat, tetapi dahinya juga bercucuran keringat dingin. Bibirnya yang biasanya berwarna merah muda menjadi pucat dan gemetaran.

"Sudahlah," katanya sambil menghela nafas. Namun, ekspresinya terlihat enggan.

Dalam situasi seperti ini, ia tetap akan memilih keselamatan Xiaoxiao daripada hal lainnya.

"Tidak bisa!" Mu Xiaoxiao berkata dengan tergesa-gesa. Mungkin karena merasa cemas sehingga rona wajahnya terlihat kembali sedikit demi sedikit.

"Yin Shaojie ... bukankah kau selalu menyombongkan diri bahwa kau adalah yang terbaik? Kau belum pernah kalah sebelumnya. Jika kau kalah, apakah kau masih bisa berdiri sambil menyombongkan diri? Jadi, kau tidak boleh kalah! Kau dengar, tidak?!"

Terdengar gembira, nada bicara Mu Xiaoxiao semakin meninggi. Dia ingin mendorongnya agar tidak menyerah.

"Aku baik-baik saja sekarang. Aku merasa jauh lebih baik, jadi cepat kejar mereka!" Yin Shaojie, apa kau bodoh? Jika kau tidak tancap gas sekarang, maka kita tidak akan dapat mengejar ketinggalan!"

Melihat bahwa mobil di depan semakin jauh dan semakin jauh tak terlihat lagi, Mu Xiaoxiao hampir marah karena cemas.

"Aku ingin kau menang! Aku tidak ingin kau kalah!" Saat Mu Xiaoxiao mengatakan ini, dia tersedak dan menatapnya dengan air mata di wajahnya.

Hati Yin Shaojie bergetar. Mata gelapnya menatap Xiaoxiao dan tampak terharu.

Siguiente capítulo