webnovel

Berpisah Di Bandara

Finland tidak sadarkan diri ketika Jadeith membawanya ke penthouse Caspar. Ketika ia siuman, kepalanya terasa sangat pusing dan tubuhnya lemas.

"Di mana aku...?" keluhnya sambil memegangi kepalanya. Pakaiannya telah diganti, tidak lagi berlumuran darah Jean. Ia sedang berbaring di tempat tidurnya dan ditutupi selimut tebal.

"Sayang... kau sudah siuman...?"

Caspar yang sedari tadi duduk di tepi tempat tidur menjagai Finland tampak lega. Ia memegang tangan gadis itu. "Aku cemas sekali karena kau sudah pingsan seharian."

"Jean...? Di mana Jean??!" Finland menepis tangan Caspar dan segera duduk di tempat tidur. Ia sudah ingat apa yang terjadi.

"Dia masih kritis, tetapi aku akan memastikan dia selamat."

"Aku mau bertemu Jean..."

"Tidak bisa. Aku menghapus keberadaanmu dari apartemennya karena aku tidak ingin kau terlibat. Saat ini polisi sudah mengambil alih kasusnya dan kalau kau muncul akan ada banyak pertanyaan."

Caspar menarik napas panjang. Ia tampak sangat lelah. "Tolong dengarkan aku sekali ini...."

"Aku tidak mau lagi mendengarkanmu.... kau tidak pernah mempedulikan perasaanku. Kau egois dan hanya mementingkan dirimu...!!" kata Finland dengan nada pedas. "Aku muak pada orang sepertimu yang menganggap kau bisa membuat semua orang mengikuti keinginanmu...."

"Finland.... aku tidak menyuruh Famke membunuh Jean. Aku takkan pernah menyakitimu seperti itu. Famke melakukannya sendiri, bukan atas perintahku..."

"Tapi kau mengaku kalau kau memang menyuruh Famke untuk menghilangkan ingatannya, padahal aku sudah memintamu untuk melepaskan Jean... Kau tidak peduli pada keinginanku. Bagaimana aku bisa percaya kalau kau tidak berada di balik penyerangannya? Sekarang kau juga membuatku tidak dapat bertemu Jean, padahal di saat kritis seperti ini aku justru harus berada di sisinya... Kenapa kau tega sekali??"

Finland menangis dan menutup wajahnya dengan kedua tangan, Ia sangat kuatir membayangkan Jean sedang kritis.

"Dengar, Finland. Kau ada bersamanya atau tidak, tak ada bedanya... Jean tetap sedang kritis. Kalau kau nekat ke sana, polisi akan menginterogasimu untuk mencari tahu apa yang terjadi dan kau bisa dituduh terlibat dalam kejahatan. Kau tidak akan bisa meninggalkan Prancis." Caspar menatap Finland dengan pandangan tidak sabar, "Lebih baik kau menunggu sampai Jean sadar dan bisa membebaskanmu dari segala tuduhan..."

Finland menangis tambah sedih. Ia tahu Caspar benar dan hal itu membuat hatinya sangat sakit. Ia ingin sekali ada di samping Jean dan menjagainya.

"Sebaiknya kau istirahat..."

Caspar hendak mendekati Finland tetapi seketika langkahnya terhenti. Gadis itu membuka matanya dan menatapnya dengan pandangan benci.

"Aku mau pergi dari sini..." kata Finland tegas.

"Kau mau ke mana? Kau tidak punya tempat tinggal di Paris," Caspar terkejut melihatnya. "Kalau kau tidak ingin melihatku, aku mengerti. Aku yang akan pergi. Kau tinggallah di sini selama yang kau butuhkan."

Supaya Finland tidak memaksa untuk pergi dari penthouse-nya, Caspar buru-buru keluar. Hatinya sangat sedih melihat pandangan Finland ke arahnya yang diselimuti kesedihan.

Peristiwa penyerangan Jean menjadi berita besar di Paris. Polisi tidak dapat menemukan petunjuk apa yang terjadi sebenarnya. Mereka hanya bisa mengambil kesimpulan bahwa gadis yang ditemukan mati di apartemen Jean adalah orang yang menyerangnya karena mereka dapat mencocokkan peluru di tubuh Jean dengan senjata yang ditemukan padanya. 

Namun demikian, mereka tidak dapat mengetahui siapa Famke dan mengapa ia mencoba membunuh Jean. Pemuda itu dikenal sebagai seorang model yang tidak memiliki musuh dan disukai banyak orang.

Finland mencoba mendatangi rumah sakit tempat Jean dirawat tetapi ia tak dapat menembus pengamanan polisi. Ia menyesal tidak mencatat alamat dan nomor telepon Rosalind Marchal, ibu Jean, karena sekarang ia sama sekali tidak bisa menghubungi siapa pun yang bisa memberinya akses kepada sahabatnya itu.

Dengan putus asa ia hanya bisa menunggu di lobi rumah sakit dan mencoba mencari tahu kabar terbaru tentang keadaan Jean. Perawat yang melihatnya berhari-hari menunggu di rumah sakit akhirnya menjadi kasihan dan memberi tahu Finland bahwa operasi untuk menyelamatkan nyawa Jean berhasil dilakukan tetapi ia masih belum sadar dari koma.

Seminggu berlalu dan Finland masih tidak berhasil menjenguk Jean. Dengan sangat sedih ia harus segera mengambil keputusan karena cutinya sudah hampir habis.

Finland membeli tiket Paris - Singapura untuk tanggal 29 Januari dan dengan berat hati ia terpaksa pulang tanpa dapat bertemu Jean sama sekali. Caspar tidak mengganggunya selama seminggu terakhir saat Finland berduka. Ia tahu bahwa di saat seperti ini lebih baik jika ia tidak memicu pertengkaran dengan istrinya. Ia tetap memerintahkan Jadeith menjaga Finland dari jauh.

"Bisa tolong panggilkan taksi, saya mau ke bandara satu jam lagi."

Finland menelepon resepsionis di hari kepulangannya ke Singapura. Ia sempat menimbang apakah ia akan memberi tahu Caspar akan kepulangannya atau tidak. Setelah berpikir lama, ia memutuskan untuk menguji Caspar terakhir kalinya, apakah Caspar memang melacaknya atau tidak. 

Kalau Caspar muncul di bandara untuk menemuinya, maka berarti ia memang mengetahui gerak-gerik Finland dan selama ini ia berdusta dengan mengatakan bahwa ia tidak menguntit Finland. Yang berarti... Finland tak akan dapat memaafkannya.

Jam 4 sore Finland sudah tiba di bandara dengan kopernya. Ia meninggalkan sangat banyak barang di penthouse, hanya membawa yang paling berharga karena keterbatasan alokasi bagasi dari SQ yang dinaikinya. 

Saat bepergian dengan pesawat pribadi Caspar, mereka tidak harus memusingkan jatah bagasi dan Caspar telah membelikan sangat banyak barang di Eropa untuk istrinya. Dengan sedih Finland harus meninggalkan barang-barangnya di Paris.

"Finland..."

Saat Finland sedang kebingungan mencari counter untuk check in, sebuah suara memanggilnya dari belakang. Ketika menoleh ia menemukan Caspar berdiri di belakangnya dengan wajah yang tampak sangat sedih.

"Dari mana kau tahu aku ke bandara?" tanya Finland dengan nada dingin.

"Aku diberi tahu staf hotel." Caspar mengaku.

"Aku sudah memintamu untuk tidak menguntitku... tapi rupanya kau juga berbohong soal itu." Finland menggeleng-geleng dengan wajah marah. "Kita tidak bisa menjalani hubungan yang tidak dilandasi kepercayaan. Aku tidak mau hidup seperti ini."

"Aku berjanji, ini yang terakhir. Aku tidak akan pernah menguntitmu lagi," kata Caspar dengan suara pelan. "Tolong dengarkan aku..."

"Aku mendengarkan." Finland menyilangkan kedua tangannya di dada dan menatap Caspar dengan tajam. Wajahnya yang cantik terlihat memiliki guratan halus karena ia mengatupkan rahangnya dengan keras.

"Famke menjebakku. Aku tahu ada sesuatu yang tidak beres waktu kau bilang kau tahu ia memberi obat kepada Jean. Famke itu sangat profesional, ia tak mungkin ketahuan. Kalau sampai kau bisa tahu bahwa ia melakukan sesuatu kepada Jean, itu pasti karena ia sengaja. Aku buru-buru mencarimu karena aku takut kau dalam bahaya. Untuk itu aku harus melacak keberadaanmu... Ponselku hilang di perjalanan karena aku kalut. Aku terlambat sampai di tempat Jean... Selebihnya kau sudah tahu apa yang terjadi."

"Tapi benarkah kau yang menyuruh Famke untuk memberikan obat penghilang ingatan itu kepada Jean, diam-diam di belakangku?" tanya Finland dengan nada yang tidak berubah.

"Aku mengakui itu. Aku sudah menduga kau akan berubah pikiran..."

"Benarkah kau menguntitku dan Jean selama ini?"

Caspar diam beberapa saat, dan kemudian ia mengangguk pelan.

"Maafkan aku. Hari ini yang terakhir," katanya dengan suara hampir seperti memohon.

Finland mengusap air mata dari matanya dan berusaha tersenyum tegar. "Baiklah. Aku sudah mengambil keputusan."

"Keputusan apa?" tanya Caspar cepat.

"Aku ingin berpisah." Finland menahan isaknya dan berusaha melanjutkan bicara dengan tegas. "Saat aku melihatmu, aku tak dapat menghilangkan bayangan peristiwa di hari itu saat Famke menembak Jean... Famke mengatakan kau yang memerintahkannya untuk melakukan itu. Aku tak bisa melupakan hal itu... Aku juga tidak bisa lagi mempercayaimu, karena kau berkali-kali melanggar kepercayaanku dan melakukan hal-hal di belakangku."

"Finland...!" seru Caspar terkejut, "Kenapa kau tidak memberiku kesempatan? Aku tidak ingin Jean mati. Aku bahkan memberikan ramuan abadimu untuknya supaya ia mendapat peluang untuk pulih. Kalau aku ingin dia mati, aku tidak akan melakukannya..."

"Kalau begitu kita tunggu sampai Jean sembuh dan pulih sepenuhnya, baru kita bicara lagi."

"..."

"Aku akan kembali ke Singapura dan menjalani hidupku sendiri. Aku tidak mau kau menguntitku. Kalau kau memang menyesal dan ingin mendapatkan kesempatan lagi, kau harus bisa membuktikan bahwa kau bisa dipercaya. Sekali saja aku mengetahui bahwa kau melacakku, atau menempatkan orang untuk mengawasiku... maka itu menjadi bukti tak terbantahkan bahwa kau memang tidak bisa dipercaya dan sampai kapan pun aku tidak akan mau kembali padamu. Kau bisa memaksa memiliki tubuhku, tetapi jiwa dan hatiku selamanya akan bebas dan membencimu seumur hidupku."

"Finland...."

"Setelah Jean sembuh, dan setelah aku benar-benar yakin bahwa kau bisa dipercaya, aku akan menghubungimu." Finland akhirnya tersenyum sedikit, "Tetapi kalau sampai kau melupakanku terlebih dulu dan bertemu perempuan lain, aku tidak akan menahanmu. Kau boleh menikah dengan siapa pun. Aku menganggap hubungan kita sekarang sudah berakhir."

"Aku tidak mau mengakhiri hubungan di antara kita..." kata Caspar cepat. "Aku akan menunggu. Aku akan menunggu sampai kau pulih dan bisa mempercayaiku."

"Mungkin akan perlu waktu lama. Mungkin Jean tidak akan pernah sembuh... Mungkin aku takkan pernah bisa memaafkanmu..." Finland mengusap air matanya yang sudah mengalir deras. Ia menunjuk seorang laki-laki yang antri check in di depannya. "Aku kenal laki-laki di depan itu, aku tahu ia bekerja untukmu. Tolong berhenti menguntitku. Tinggalkan aku sendiri..."

Caspar menghela napas. Ia memberi tanda dan laki-laki itu mengangguk lalu segera menghilang dengan kopernya.

"Aku akan pindah dari Rose Mansion. Tolong jangan cari tahu keberadaanku." Finland lalu mendorong kopernya dan maju untuk check in.

"Apakah aku boleh mencoba menghubungimu?" tanya Caspar dengan suara memohon, "Aku tidak akan melacakmu, tapi aku ingin menelepon dan menghubungimu seperti laki-laki biasa... seperti yang kau inginkan sebelumnya..."

Finland tidak menjawab. Ia menegakkan kepalanya dan mencoba tersenyum kepada petugas check in sambil menyerahkan paspornya. Setelah memperoleh boarding pass, ia berjalan ke arah imigrasi, tidak mempedulikan Caspar yang berdiri terpaku memandangnya hingga menghilang dari pandangan.

***

Saya publish satu bab sekarang dan nanti kalau sudah mendarat di Bali, saya publish satu lagi ya.. Sekarang sedang mau terbang pulang. Saya jamin kalian akan suka bab berikutnya. xx

Missrealitybitescreators' thoughts
Siguiente capítulo