webnovel

Apa dia marah?

Halaman rumah yang biasanya terlihat sepi kini ramai dengan para pria. Keributan itu mengundang warga lain satu per satu untuk datang. Jadilah acara yang hanya di hadiri sepuluh orang berubah menjadi dua bahkan tiga kali lipat.

Ilham kesulitan berkomunikasi karena ia belum menguasai bahasa kurdi. Sedikit demi sedikit ia belajar dari percakapan yang ia dengar dan ali yang sabar menjadi penerjemah. Ia sudah sering mendengar kermahan masyarakat turki termasuk izmir, tapi baru tahu kategori ramah itu bukan hanya sekedar senyum sapa dan salam tapi mengobrol dengan begitu akrab.

Pada akhirnya tetangga sebelah membawa catur dan kartu poker untuk bermain. Ilham sebagai tuan rumah tak ingin ikut andil dan hanya menjadi penonton. Ia hanya tertawa saat yang lain tertawa walau tidak mengetahui dengan jelas apa yang mereka tertawakan.

Perkumpulan para pria itu baru bubar setelah melihat jam menunjukkan pukul tiga dini hari. Ilham merasa lega karena akhirnya bisa masuk dan beristirahat.

Agar tak membangunkan meri, ilham berjalan perlahan menghampirinya dan duduk di sisi ranjang. Pemandangan di hadapannya saat ini seakan membayar jerih payahnya selama enam bulan berkeliling dunia hanya untuk mencari sosok wanita yang kini tertidur lelap bagai bayi di ranjangnya.

Setelah mencium bibir dan kening istrinya, ilham beranjak menuju kamar junior. Ia sudah berjanji akan tidur di kamar junior saat anak itu memintanya sesaat sebelum ia tertidur. Ia tidak ingin ingkar janji pada junior di malam pertama ia datang. Tapi sebagai pengorbanan ia melewatkan malam pertamanya bersama meri dan itulah yang akan ia sesali selama lima hari ke depan.

Di pagi hari, meri terbangun karena nyeri pada perut bagian bawahnya. Sudah terbiasa dengan rasa nyeri ini, meri segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

Sejak saat ia membuka mata, ia tidak melihat ilham di sampingnya jadi ia menebak bahwa suaminya tidur di kamar junior. Ia tidak kesal karena ilham tidak tidur dengannya, ia hanya merasa kecewa tamunya datang di saat yang tidak tepat.

'menyebalkan sekali' batin meri.

Meri menuju kamar junior untuk melihat apakah kedua pria itu sudah bangun atau masih terlelap.

Junior berbarong dalam posisi miring dan sulit bergerak. Ia menatap wajah dadi nya yang sangat jelas di matanya. Tubuhnya terkunci oleh tangan dan kaki ilham yang memeluknya seakan ia adalah bantal empuk.

Meri melihat posisi itu dengan senyuman yang manis kepada junior yang juga menatapnya. Mata anak kecil itu seakan meminta pertolongan sementara mulutnya tetap terkunci rapat.

"apa kaki dadi berat?" tanya meri setengah berbisik agar tak membangunkan suaminya.

Junior hanya mengangguk, ia sudah bangun sejak tadi tapi tak berani bergerak seinci pun karena takut membangunkan dadi nya yang tampak pulas dalam tidurnya.

Setelah menyingkirkan tangan dan kaki ilham dari tubuh junior, barulah junior mengulurkan tangannya agar meri menariknya dan menggendongnya.

"uhh, anak ibu tumbuh dengan baik" meri tetap berusaha menggendong junior walau untuk berjalan ia harus menahan nyeri di perutnya.

"aku pikir dadi akan tidur di kamar ibu" ujar junior saat meri membawanya ke kamar mandi yang berada di kamar meri.

"kenapa? Apa junior tidak membolehkan dadi tidur di kamar ibu?"

"bukan begitu. Dadi sudah berjanji tidur di kamarku, kalau dia tidur di kamar ibu semalam artinya ia ingkar janji. Tapi untunglah dadi menepatinya" kata junior senang.

"apa kau senang dadi mu pulang?"

"Mmm, sangat sangat senang. Tapi bu, liburan tahun ini. Apa kita akan meninggalkan dadi di sini dan pergi ke Indonesia berdua?" tanya junior kepada ibunya yang masih sibuk memandikannya.

Walau junior sudah berusia delapan tahun, sesekali meri memandikannya sendiri untuk menjalin ikatan dengan putranya itu. Baginya junior selalu jadi bocah kecil pemberi semangatnya.

"ibu sudah berjanji akan membawamu pulang ke Indonesia saat berlibur. Ayahmu menunggu hari liburmu minggu depan. Dadi akan ikut bersama kita, tapi junior tidak bisa menghabiskan liburan bersama dadi karena ayah akan kecewa. Kita akan menghabiskan banyak waktu di sini bersama dadi, jadi di Indonesia biarlah junior berlibur dengan ayah. Bagaimana menurutmu?" meri tetap bertanya pendapat anaknya saat mengambil keputusan yang berkaitan dengan kehidupan putranya itu.

"tidak bisakah kita berlibur ber empat?" junior tidak bisa memilih antara ayah atau dadi nya. Keduanya berharga jadi ia hanya berharap mereka biaa berlibur bersama.

"itu tidak bisa. Bukan karena dadi tapi ibu tidak bisa menemui ayahmu. Ibu tidak ingin dadi mu cemburu, apa junior lihat sikap dadi kemarin? Dia sangat cemburu pada uncle ali"

Hahaha. Tawa keduanya lepas mengingat wajah ilham semalam saat belum mengetahui bahwa ali sudah berkeluarga.

"aku mengatakan tentang uncle fuad pada dadi, karena itu ia jadi lebih impulsif"kata junior jujur pada ibunya.

"tidak masalah, ibu akan mengatasinya" jawab meri.

Meri memasak sarapan untuk junior yang akan berangkat sekolah. hari ini ia kebagian shift pagi dan ada kuliah sore, jadi ia akan meminta ilham yang menjaga junior saat ia tak ada di rumah. Lagi pula ilham orang baru di izmir jadi doa pasti belum memiliki kegiatan apapun.

Setelah sarapan bersama junior, meri mengantar putranya itu ke sekolah. Ia bertemu dengan fuad yang juga mengantar malik.

"dokter ana" sapa fuad ceria.

"hai. Aku tidak melihatmu kemarin di acara lomba lutfi. Ku pikir kau akan datang" ujar meri membuka topik.

"aku ada urusan jadi terburu-buru dan tidak bisa melihatnya" fuad memang tak melihatnya karena setelah melihat meri di peluk oleh pria lain, ia pergi menemui junior untuk memberi semangat dan mengatakan ia harus pulang cepat karena ada urusan.

"tidak masalah" meri kemudian berbalik masuk ke mobilnya.

"dokter ana" panggil fuad. "berhati-hatilah menyetir"

"kau juga berhati-hatilah berkendara"

Fuad adalah pria pencinta motor, karena itu ia selalu menggunakan motor ke manapun. Hanya jika ia melakukan perjalanan jauh barulah ia menggunakan mobil.

Tiba di rumah, ilham masih belum bangun. Meri mulai memasak untuk makan siang suaminya. Ia terbiasa saat dengan terpaksa ia harus meninggalkan rumah saat jam makan siang dan malam, meri akan memasak makanan di pagi hari agar junior tidak jajan sembarangan di luar rumah. Terlebih lagi saat ini ada ilham yang juga menjadi bayi besarnya.

Saat asik memasak di dapur, sebuah tangan melingkar di sekitar perutnya dan membenamkan dagunya di pundaknya. Meri sudah tahu itu ilham karena tidak ada orang lain di rumahnya saat ini kecuali ilham.

"kau bangun kesiangan" ujar meri sambil terus melanjutkan aktivitas memasaknya.

"Mmm, pengganggu itu bertambah banyak saat kau tidur. Aku jadi kesulitan dan terlambat tidur karena mereka" ilham mengecup lembut leher mulus istrinya yang terlihat jelas tanpa hijab yang menutupinya.

Jika berada di rumah hanya berdua dengan junior, meri selalu melepas hinab dan cadarnya dan berubah mengenakan mini dress selutut dengan lengan pendek. Ia juga gerah jika sepanjang hari harus menutup kulitnya. Kulitnya juga butuh udara bebas.

"mengapa tidak tidur di kamarku?" tanya meri

"apa itu artinya kau memintaku tidur denganmu?" kebiasaan lama pria itu memang sulit hilang. Menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.

"aku hanya bertanya karena takut kau akan menyesalinya" kata meri dengan senyum licik di bibirnya. Dia tidak ingin menyesal sendiri karena tidak bisa menahan kantuk semalam dan mendapat haid di pagi hari. Jadi ia berencana membuat suaminya juga merasakan penyesalan yang lebih dalam.

"aku sudah berjanji pada junior untuk tidur di kamarnya. Kenapa aku harus menyesalinya. Nanti malam dan malam selanjutnya aku bisa tidur di kamarmu" jawab ilham percaya diri.

"kau yakin tidak akan menyesal?"

Ilham masih sibuk menjelajahi leher istrinya itu sehingga hanya bergumam untuk menjawab pertanyaan meri.

"sebenarnya tadi pagi aku datang bulan" meri membuat suaranya sedikit sedih untuk membuat ilham berempati.

Mendengar hal menjengkelkan itu, ilham menghentikan ciumannya dan membalik tubuh meri menghadapnya.

"apa kau serius?" tanya ilham dengan raut wajah rumit.

"untuk apa aku bercanda dengan lelucon seperti ini" jawab meri.

"meriana, tidak bisakah kau menundanya barang sehari saja" rengek ilham penuh kekecewaan.

"kau dokter jadi kau pasti tahu tak ada yang bisa di lakukan untuk menundanya. Manusia bahkan belum bisa menebak dengan pasti waktu kapan ia datang" kata meri menjelaskan. "wajahmu itu. Mengapa terlihat murung. Kau tadi sudah bilang tidak akan menyesalinya"

"aku tidak akan menyesali jika hanya menundanya semalam. Tapi sekarang aku harus menunggu setidaknya lima hari lagi. Apa kau tahu berapa lama aku menunggu malam pertama itu?" keluh ilham "enam tahun. Ah bukan, sekarang sudah enam tahun lima bulan sejak kita menikah. Selama itu aku menunggu"

"bagus, itu enam tahun dan ini hanya lima hari, bersabarlah lagi. Hmm" rayu meri.

Ia juga tidak tega tapi melakukan hubungan saat haid berisiko menimbulkan berbagai penyakit. Ia juga tahu ilham tidak akan mau melakukannya saat ini karena sebagai dokter dia juga pasti tahu itu akan berakibat buruk untuk meri.

"aku tidak tahu kenapa, tapi lima hari menunggu rasanya lebih lama dari enam tahun"

Meri memikirkan cara untuk membuat ilham setidaknya sedikit merasa lebih baik. Sedikit inisiatif. Jurus itulah yang sejak dulu ia gunakan. Meri melingkarkan tangannya di pinggang suaminya dan berjinjit untuk bisa mendaratkan sebuah kecupan ringan di bibir suaminya itu.

Niat awal meri hanyalah memberi kecupan ringan, namun saat ia akan melapaskan diri ilham justru merangkul pingganya mendekat dan menahan kepala meri agar tidak menjauh darinya. Ciuman itu sangat kasar, seakan mencerminkan rasa kesal dalam diri ilham.

Dia sudah tidak malu melakukan hal seperti itu karena ciuman pertamanya sudah di curi oleh meri saat pertemuan terakhirnya di penjara cambridge. Ia sudah tidak canggung lagi melakukan hal itu bersama meri.

Setelah menjelajahi bibir istrinya yang sudah mulai merah karena hisapan dan gigitannya. Ilham melepaskannya, mencium singkat kening wanita itu dan berbalik pergi tanpa sepatah katapun.

"kau mau kemana?" tanya meri melihat ilham pergi meninggalkannya.

"mandi air dingin" jawab ilham tanpa berpaling untuk menatap meri. Ia hanya terus berjalan menuju kamar meri dan menutupnya dengan keras. 'BAAMMM' suara pintu di tutup dengan keras.

Meri yang yang berada di dapur menyaksikan dan mendengar keributan itu terkejut.

"apa dia marah?" ujar meri pada dirinya sendiri

Siguiente capítulo