webnovel

Autis

Duduk termenung menatap ke pintu yang menghubungkan kamarnya dan balkon. Dia ingin melihat dunia luar agar tahu di mana dia sekarang namun pintu itu tertutup rapat dengan gembok besar yang mengikatnya.

Dia terpenjara di rumah mewah dengan pengamanan ketat dan fasilitas hotel bintang lima. Dia hanya di perbolehkan berada di dalam rumah dan tidak di izinkan keluar walaupun selangkah. Itu karena ilham sudah menebak apa yang akan wanita itu lakukan jika sudah berada di luar rumah.

Deretan pakaian berbagai warna dan desain silih berganti masuk ke dalam kamarnya. Dia terkadang di mintai pendapat mengenai pakaian tersebut tapi menolak untuk berbicara. Dia memakai gaun terbuat dari berlian sekalipun tetap sama, dia hanya menjadi boneka di istana megah itu. Baginya tak ada bedanya, ia berpakaian pantas atau tidak karena mata penghuni rumah sama sekali tak ada yang berani menatapnya.

Hanya bibi grace selaku pelayan pribadinya yang biasa berbicara dan melakukan kontak mata dengannya. Selebihnya hanya berani menatap sekejap dan menundukkan pandangan seperti tulang leher mereka akan patah jika berani menatap permaisuri sang raja.

Meri selalu menjalani pemeriksaan rutin untuk kepala dan lehernya. Walau sudah merasa baik, ilham tetap saja memaksa agar dokter memberikan suntikan untuk mempercepat proses pemulihan. Meri bahkan terkadang merengek tak ingin di suntik lagi, tapi ilham selalu berada di sampingnya untuk menenangkannya. Mengusap bekas suntikan yang tak henti melubangi kulitnya.

Infus yang awalnya terpasang dengan baik mulai kacau karena meri yang aktif bergerak hingga membuat darahnya naik ke selang. Saat hal itu terjadi, ilham hanya bisa memarahi perawatnya dan mulai memperbaiki infus itu lagi dan lagi.

"aku tidak mau di infus lagi. Aku sudah sehat dan lagipula nafsu makanku cukup bagus. Lepaskan saja" ujar meri saat ilham sibuk memperbaiki selang infus yang tersumbat. "ilham, aku muak di batasi bergerak karena selang itu. Lepaskan saja. Aku akan makan dengan baik mulai sekarang"

Ilham menatap wajah meri saat mengatakan hal itu. Dia enggan melepaskan infus karena meri bersikap seperti anak kecil yang harus di paksa agar bisa makan. Dia hampir kewalahan seharian harus kembali dari kantornya hanya karena pelayan meri menelfon dan mengabari meri yang tidak ingin makan.

"apa aku bisa memegang kata-katamu?" ilham menatap mata meri untuk menangkap sinyal kebohongan di matanya itu.

"Mmm" meri bergumam kemudian menganggukkan kepalanya.

"katakan meri?" ilham adalah sahabat meri sejak lama, dia berada di kampus yang sama dengan andre saat itu, hingga akhirnya dia memutuskan keluar setelah mengalami masalah dengan rafa.

Dia tentu mengenal kepribadian wanita itu dengan baik. Kata-kata dan sikap yang tidak bisa di percaya ketika dia hanya bergumam atau sekedar menganggukkan kepalanya. Wanitanya itu hanya bisa di percaya jika dia mengatakan dengan bibirnya.

"mengapa kau dan andre begitu menyebalkan. Kalian seperti saudara kembar" meri teringat andre juga sering mengatakan kalimat yang sama ketika dia hanya bergumam agar tidak perlu menepati perkataannya.

"pertama, kami bukan saudara. Kedua, kami berbeda. Dan ketiga, berhenti menyebut namanya karena aku tidak suka mendengarnya. Ke empat aku mengenalmu lebih dari dia. Dan yang terakhir pastikan kau menepati perkataanmu karena jika tidak, bukan hanya tangan kanan mu yang akan ku infus tapi tangan kiri dan kakimu akan mengalami hal yang sama. Kau mengerti" ucapan ilham begitu tegas hingga meri tak berani membantah.

Dia tak akan menyebut nama andre lagi, tapi dia akan menggantinya dengan sebutan suami atau lelakiku. Ilham suka atau tidak, itulah faktanya. Dia tidak akan bisa mengubah statusnya sebagai nyonya andre hanya dengan memisahkan mereka.

"aku menunggu" lanjut ilham menantikan jawaban meri.

"aku mengerti. Setuju dengan semuanya. Kalian memang bukan saudara aku tahu itu. Kalian berbeda dari karakter dan pemikiran, kau mengenalku lebih baik dari dia aku juga tahu itu karna pada saat ini kau bahkan bisa tahu aku di mana dan dia tidak tahu apa-apa. Aku akan menepati perkataanku dengan makan teratur dan aku juga tidak akan menyebut namanya lagi. Mungkin akan ku ganti dengan kata suami mulai sekarang. Aku sangat mengerti" jawab meri tegas dan berapi-api.

"terserah padamu. Jika ku dengar lagi kau menyebut namanya atau memanggilnya dengan sebutan suami, ku pastikan menutup mulutmu hingga kau bahkan tak bisa mengingatnya" ujar ilham tak kalah tegas. "kau boleh mencobanya jika kau mau"

"dia tetap suamiku wa...."

Sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya, ilham sudah lebih dulu membungkam mulut meri dengan bibirnya. Spontan meri langsung mendorongnya menjauh.

"apa yang kau lakukan?" bentak meri

"membungkam mulutmu dengan cara yang seksi"

"kau..."

Meri mengusap bibirnya dengan kedua punggung tangannya. Dia merasa jijik dengan apa yang baru saja ilham lakukan hingga menegusap bibirnya dengan kasar.

"keluar, aku tidak mau melihatmu" meri berteriak keras tepat di wajah ilham, hingga pria itu merasa terkejut dengan apa yang dia lihat dan dengar.

Dia di usir di rumahnya sendiri oleh wanita yang di cintainya. Terlebih wanita itu adalah meriana yang ia kenal wanita lemah lembut bahkan tak akan tega menginjak semut sekalipun.

Ilham terpaku sesaat mencerna perkataan meri serta tatapan penuh kemarahan yang terpancar dari wajahnya. Wanitanya, berubah menjadi dewa kematian ketika sedang marah. Dia segera menguasai pikirannya dan menatap tajam ke arah meri.

"aku baik beberapa hari ini bukan berarti aku tidak akan mengasarimu. Pastikan kau bersikap sopan kepadaku atau kau sendiri akan merasakan buah dari sikap keras kepala mu itu. Aku cukup baik dengan tidak menyentuhmu beberapa hari ini, jadi pikirkan apa yang akan aku lakukan jika kau mengulangi sikapmu barusan" ancam ilham.

Hancur, takut dan tak berdaya itulah yang dirasakan meri mendengar ucapan ilham barusan. Dia merasa dihantam tepat di jantung saat mendengar ilham berbicara begitu kasar kepadanya. Dia tak berani lagi melawan dan memilih diam karena ucapan ilham tak pernah main-main. Jika dia mengatakan akan memaksa maka itulah yang akan dia lakukan.

Berciuman dengannya sudah cukup membuat meri merasa ternodai, dia tidak bisa membayangkan jika harus tidur dengan pria dingin seperti ilham. Sungguh memuakkan memandangnya dalam jarak sedekat ini. Meri menghempaskan tubuhnya di kasur dan berbalik memunggungi ilham.

Tangannya di tarik dengan paksa, dan perlahan dia merasakan jarum infus itu terlepas dari kulitnya, membuat rasa lega seakan terbebas dari kekangan. Ilham menutup bekas jarum itu dengan kapas steril yang sudah di beri alkohol dan menekannya lembut untuk beberapa waktu kemudian membelai rambut wanita yang membelakanginya itu dengan lembut, mendaratkan kecupan singkat di pelipis wanita itu.

"istirahatlah dan renungkan kesalahanmu hari ini" ilham menjauh dari meri yang merasa buruk dengan apa yang di alaminya.

Meri bangkit melempar semua barang yang ada di sekitarnya. Dia begitu kesal mendengar dialah yang harus merenungkan kesalahannya. 'kau yang seharusnya bertaubat' batin meri masih melempar semua yang bisa dia lempar dan menghancurkan semua yang bisa dia hancurkan. Hingga tanpa sadar darah keluar dari bekas jarum infus yang belum lama terlepas.

Ilham yang baru akan membuka pintu kamarnya mendengar keributan di kamar meri segera berlari dan mendapati kamar itu sudah seperti kapal yang di hempas gelombang dahsyat. Dia akan meledak marah namun padam saat melihat tangan meri yang putih bersih berubah merah dengan darah.

"meri, tenanglah" ilham mengunci pergerakan meri dengan memeluk wanita itu dari belakang dan melipat tangannya yang menggenggam kedua tangan meri di dada wanita itu.

Meri terus meronta dan semakin menggila hingga ilham harus berteriak memanggil perawatnya.

"cepat, obat penenangnya" teriak ilham masih kesulitan menahan meri yang terus meronta.

"tuan, sulit memberinya suntikan saat ini dia tidak berhenti bergerak" ujar perawat itu khawatir akan salah menyuntikkan obat karena kondisi meri yang selalu bergerak. Setidaknya butuh dua orang untuk membantunya memegang tangannya.

"kemari, biar aku yang lakukan" ilham mengambil suntikan itu dan dengan mudah menancapkannya pada punggung tangan sebelah kiri meri.

Sulit baginya menusuk di bagian kanan karena tangan itu kini tertutupi darah. Hingga ia harus melakukannya di tangan kiri meri.

Setelah suntikan itu, meri masih meronta namun perlahan melemah hingga terkulai di pelukan ilham. Ilham mengangkat meri ke ranjang setelah meminta perawat merapikannya terlebih dahulu.

Ilham dengan sigap membersihkan bekas darah di tangan meri dan menutup lukanya dengan plaster. Jantungnya seakan berhenti saat melihat tangan meri bersimbah darah. Dia tidak tahu meri akan bereaksi seperti anak autis yang kambuh karena tersulut emosi.

Ilham meminta perawat melepaskan semua pakaian meri hingga tak ada yang tersisa kemudian menutupi tubuh mulus wanita itu dengan selimut. Dia sangat kesal dengan sikap memberontak meri. Memberinya pelajaran berharga saat melakukan kesalahan adalah hal yang perlu dia lakukan agar hal ini tidak terulang lagi.

Ilham meminta beberapa pembantu membereskan kekacauan itu dan kemudian memerintahkan mereka pergi. Ilham menatap wajah meri yang terlelap karena obat penenang kemudian mencium keningnya lalu tidur di sofa yang berada di kamar itu.

Siguiente capítulo