webnovel

Ketika Seorang Penya'ir Masuk Islam (1)

Aku tumbuh dalam lingkup keluarga yang yang dipenuhi rasa cinta terhadap puisi. Salah satu kenangan tak terlupakan pada masa itu adalah penya'ir besar Ka'ab bin Zuhair.

Karya puisi Ka'ab bin zuhair tak hanya untuk para lelaki dan wanita dewasa. Anak-anak kecil pun hafal pada karyanya. Dia adalah sosok yang sangat cerdas. Tapi, di sisi lain, dia terkenal angkuh, sombong, sangat mementingkan kepuasan diri sendiri, serta suka dengan pertarungan unta dan berburu. Ka'ab juga dikenal selalu melampiaskan penderitaan dan kesedihan kepada para lawannya.

Di puisi terakhirnya, dia mencurahkan kemarahan kepada Bujair, saudara kandungnya yang masuk Islam tanpa sepengetahuan dirinya.

'"Terimalah musibah yang akan kau dapat...

sampaikan pesanku ini kepada Bujair saudara kandungku wahai sahabat-sahabatku

sungguh kasihan dirimu!

pikiranmu telah terpengaruh oleh orang-orang itu

Agama apa yang mereka tunjukkan kepadamu?

Agama itu adalah kebohongan, tak sesuai dengan apa yang ibu dan ayah kita jelaskan

Jadi, Abu Bakar putra Khuafa yang memengaruhi mu!?

Kau telah meneguk racun pertama dan terakhir miliknya dari utusan... '"

Kata "utusan" tentu saja mengacu kepada Rasulullah, sementara "racun" adalah Al-Quran. Puisi yang Ka'ab baca mengguncang Mekkah. Dia telah tenggelam dalam kegelapan dengan menegakkan harga diri kaum musyrik. Mata Ka'ab pun tak bisa lepas dari tumpukan emas di depannya. Dia bersumpah akan membalas orang-orang yang telah meracuni pikiran saudara kandungnya.

Entah apa yang terjadi di hari itu, pagi itu Ka'ab menemukan unta kesayangannya tak bernyawa lagi. Setelah kehilangan saudara kandung dan kemudian kehilangan unta kesayangannya, dia seakan-akan berdiri sendirian di dunia ini.

Ka'ab bin zuhair jelas merupakan salah satu diantara penya'ir terkenal Mekkah. Ayahnya juga seorang penya'ir. Ka'ab lahir dari garis keturunan penya'ir yang mewarisi suara indah. Masyarakat Mekkah menghafal seluruh bait-bait puisi mereka, baik milik ayahnya maupun Ka'ab. Puisi-puisi ini akhirnya menjadi tradisi dan bagian dari ungkapan persaan masyarakat. Bagian pembuka puisinya dipenuhi puji-puji terhadap kepahlawanan dan leluhur, sampai seakan-akan tubuh para pejuang unta itu berkobar keberaniannya di depan bait-bait yang dibacakan. Pahlawan tiada tanding.

Puisinya kerap dipenuhi kata-kata unta karna hewan itulah satu-satunya teman yang dipercaya sebagai tempat bersandar oleh para pahlawan padang pasir. Unta adalah teman perjalanan di belantara padang pasir yang panjang dan sepi, teman rahasia, dan teman berkeluh-kesah.

Entah mengapa aku selalu berpikir bahwa puisi seperti ini merupakan cerminan kesedihan mendalam bagi para lelaki. Mengapa inti cerita dalam puisi-puisi tersohor yang ditulis para penya'ir bukan mengenai cinta yang lembut, tetapi seekor unta? Aku pikir ini mungkin merupakan jenis kesendirian yang dipilih oleh para pejuang untuk harga diri mereka. Maksudnya, meskipun terlewati tempat-tempat yang penuh keramaian, para penya'ir seperti merupakan orang-orang yang tak ingin menyerahkan diri mereka kepada wanita. Mereka sangat berhati-hati dalam hal ini. Mereka memang bisa menggunakan wanita dalam baitnya untuk mengalahkan musuh mereka. Namun, ketika tiba gilirannya, para penya'ir itu takkan pernah memberikan rahasia-rahasia mengenai cinta mereka. Para penya'ir Arab sangat menjunjung tinggi ibu mereka. Aku telah banyak melihat orang yang berjuang untuk harga diri ibu-ibu mereka. Karena itu, aku bisa berkata bahwa pembicaraan soal wanita merupakan topik yang tiada batasnya.

Mungkin, ini bisa terlihat aneh untuk kalian. Mungkin tersirat dalam batin kalian bagaimana mungkin seseorang bisa memandang wanita sebagai hal terlarang sekaligus juga melihatnya sebagai sosok yang harus dilindungi. Hanya anak-anak di masa kecilku yang bisa memahami hal itu. Di masa-masa seperti itu, aku merasa sedih untuk para penya'ir. Sebenarnya, mereka adalah sosok kesepian. Tak satu orang pun yang berani menyukai mereka. Tak satupun wanita, selain ibu-ibu mereka.

Kerajaan bait-bait puisilah yang menguasai hukum di Mekkah. Hanya dengan satu bait perang bisa terjadi. Dengan satu bait saja perjanjian perdamaian bisa disetujui. Bait kata yang ditujukan kepada pangeran-pangeran padang pasir ini lebih berharga dari pada emas. Para laki-laki Mekkah yang membangun harga diri disana.

Karena itulah ketika Al-Quran diturunkan kepada masyarakat padang pasir, mereka mengatakan, "Kami belum pernah mendengar bait-bait seperti ini. " Al-Quran itu seperti lautan yang mengalirkan air di tengah padang pasir dan membuat orang-orang yang mendengarkannya terpesona. Al-Quran merupakan penjelasan menggunakan seni, deretan kata-kata berirama, kalimat-kalimat yang kaya, pertanyaan-pertanyaan yang dipenuhi makna dan mengejutkan, serta merupakan ajakan bertafakur yang berbeda-beda dengan kata-kata sebelumnya.

Ka'ab bin zuhair sangat benci atas ajakan mengenai persamaan status sosial bagi para budak, orang-orang miskin, dan mereka yang tak mampu. Dia mengutarakan ketidaksetujuannya dengan bait-bait yang tajam dan menusuk.

Rasulullah yang sangat mementingkan harga diri kaum Muslim marah atas kelakuan Ka'ab bin zuhair dan meminta menghukumnya. Kali ini permasalahan menjadi lebih serius.

"Kau dengar apa yang dikatakan Al-Amin mengenai dirimu? Dia berkata untuk menghukummu di tempat mereka bisa melihat mu. Sekarang, hal ini sangat berbahaya bagimu, " ucap orang-orang kepada Ka'ab. Orang-orang yang dia percaya pun satu per satu meninggalkan dirinya. Pintu telah tertutup di depan wajah sang penya'ir. Untuk pertama kali, Ka'ab sadar dengan siapa dia sedang berhadapan. Bait-bait yang menyayat luka-luka hancur satu per satu. Sekarang dia telah berada di hadapan nabi yang dia ancam. Ka'ab menyadari bahwa bait-baitnya takkan pernah bisa mengalahkan Al-Quran.

Siapakah "penya'ir" yang mengguncangkan langit dan bumi ini?

Allah....

Siapa Allah itu?

"Utusan" itu tak mungkin bisa menulis bait-bait itu.....

Muhammad putra Abdullah bukanlah seorang penya'ir. Kalau begitu, siapakah yang membuat dia mampu membacakan kalimat-kalimat agung ini?

Siguiente capítulo