webnovel

Orang Tua Dibalik Selimut

Editor: Wave Literature

Tiga menit kemudian, Fan Xian mengambil sepiring ikan yang masih hangat di tangannya. Dia melumuri ikan itu dengan kecap asin yang telah dikirim dari selatan, lalu menyaksikan kecap kuning kecoklatan yang indah mengalir di atas piringnya. Aroma sedap memenuhi ruang dapur saat ia mencampur ikan kukus dengan saus. Dia menemukan beberapa nasi sisa tadi sore, memadukannya dengan ikan kukus, sedikit jahe, dan cuka, lalu makan dengan gembira.

Pagi berikutnya, ketika dia pergi untuk menyapa neneknya, para pelayan memberitahu bahwa seorang pencuri telah menyelinap masuk ke dapur pada malam hari. Saat Fan Xian menyadari apa yang mereka maksudkan, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum.

"Aku habis memasak sesuatu untuk diriku sendiri semalam," ucapnya kepada pengurus rumah tangga sambil dia meremas bahu wanita tua itu. "Tak perlu khawatir soal itu."

Pengurus rumah menatapnya, tercengang. Tuan muda sudah bukan anak kecil. Kenapa dia tidak meminta bantuan salah seorang pelayan? Sebaliknya, dia justru bersikeras melakukannya sendiri. Akan muncul masalah besar jika dia terkena api dan melukai dirinya sendiri.

Fan Xian tahu kalau pengurus rumah sedang memikirkan sesuatu. "Aku membaca cara mengukus ikan di buku," katanya kepada sang Countess, bertingkah menggemaskan. "Aku ingin mencobanya. Kalau enak, aku akan memasaknya untukmu sebagai kejutan. Itu sebabnya aku tidak ingin para pelayan tahu. Aku tidak mengira semua ini akan menyebabkan masalah yang begitu besar. Maafkan aku. "

Alasannya masuk akal. Tak seorang pun akan curiga.

Sang Countess tampaknya menerima alasan Fan Xian. "Tidak apa-apa," ucapnya dengan lembut. "Kamu hanya harus ingat untuk beres-beres seusai melakukan sesuatu."

Ia selalu bersikap tegas pada Fan Xian; jarang sekali sang Countess berbicara dengan begitu ramah padanya. Fan Xian merasa ada sesuatu yang aneh. Ada sedikit kelembutan di dalam kata-katanya. Kenapa?

"Aku sudah tahu apa yang terjadi semalam," sang Countess lanjut berbicara dengan lembut. "Kepala Pelayan Zhou telah gagal dalam tugasnya. Ini sudah kelewatan, sampai kamu bisa menyelinap ke dapur dan melakukan sesuatu yang sangat berbahaya seperti itu tanpa ada yang memperhatikan. Aku sudah mengirimnya kembali ke ibukota. Mereka akan mengurusnya di sana."

Fan Xian terkejut. Dia ingat bahwa, setelah membunuh, dia benar-benar lupa untuk menyelidiki masalah tentang Zhou. Jelas bahwa Zhou dalam beberapa hal bertanggung jawab karena telah membiarkan calon pembunuh menyelinap masuk ke rumah dan meracuni makanannya. Fan Xian kecewa dengan kecerobohannya sendiri.

—————————————————————

Di perpustakaan keesokan paginya, Fan Xian membaca sekilas beberapa buku yang telah tiba dari ibukota sebelum akhirnya pergi keluar rumah lagi. Ketika dia melewati pasar, dia tiba-tiba menyadari apa yang dimaksud neneknya ketika ia berkata, "Kamu hanya harus ingat untuk beres-beres seusai melakukan sesuatu."

Salah satu pojok pasar sudah terbakar menjadi reruntuhan. Anehnya, kobaran api tidak menyebar ke bangunan di sekitarnya - hanya satu bangunan yang terbakar, tanpa ada yang tersisa. Orang-orang yang telah berkumpul dengan antusias membahas kebakaran yang telah terjadi. Berkat perawakannya yang kecil, Fan Xian bisa berjongkok di dekat kerumunan itu dan menguping. Dua orang tewas dalam kebakaran itu, mayat mereka benar-benar tidak dapat dikenali.

Tempat yang terbakar adalah bangunan tempat Fan Xian membunuh seorang pria sehari sebelumnya.

Apakah kebakaran itu telah menghancurkan mayat-mayat dan memusnahkan semua jejak?

Fan Xian memikirkan tentang bagaimana neneknya telah mengirim Zhou si kepala pelayan kembali ke ibukota, dan ketika dia menghubungkan fakta itu dengan tumpukan abu di depannya, dia berkeringat dingin. Fan Xian sekarang memahami apa yang telah terjadi. Dia tidak pernah membayangkan bahwa neneknya yang keras dan tegas bisa membuat suatu siasat dengan begitu cermat untuk menjaga agar cucunya tetap aman.

Dia berpikir, bagaimana Countess menghabiskan sebagian besar hari-harinya beristirahat. Dia merasa sulit untuk menghubungkan gambaran tersebut dengan puing-puing yang masih membara di depannya.

Fan Xian berkeliaran di antara orang-orang di kerumunan. Saat dia melihat batu yang hangus dan kayu yang menghitam, serta mencium bau rumah yang terbakar, dia menyadari sesuatu.

Orang-orang di sekitarnya telah menyadari kedatangannya. Setelah menyapa Fan Xian, mereka bersiap untuk mengatakan sesuatu kepadanya. Fan Xian bertindak seolah-olah dia tidak mendengar mereka dan meninggalkan pasar, menuju ke toko kelontong tua.

"Kepala pelayan telah dikirim kembali ke ibukota," kata Fan Xian.

Wu Zhu berdiri di dalam toko, menghadap ke jalanan yang sepi. Dia tidak bergeming. Penduduk setempat semua bergegas ke pasar untuk melihat keributan yang sedang terjadi, sehingga jalan-jalan menjadi sepi.

"Bangunan yang kita datangi kemarin terbakar," lanjut Fan Xian.

Wu Zhu masih belum memberikan tanggapan.

Fan Xian meraih lengan bajunya, sambil berbicara dengan bisikan tegas. "Kamu pikir aku bodoh karena lupa 'mengurus' Zhou, kan? Aku bahkan harus membuat nenekku membereskan masalahku!"

Wu Zhu berbalik ke arahnya. "Apakah kamu mencoba membuatku merasa kasihan padamu? Apakah kamu berpikir karena kamu masih sangat muda, kamu tidak tahu bagaimana menghadapi hal-hal seperti itu, sehingga kamu kehilangan kepercayaan diri dan datang untuk mencari belas kasihan dariku? "

Suaranya terdengar sedikit penasaran, nada yang jauh lebih hidup daripada cara bicara biasanya yang tanpa emosi.

Fan Xian tersenyum. "Aku tidak punya harga diri sebanyak itu. Hanya saja aku tidak merasa nyaman membunuh seorang pria. Dan ..."

Dia berhenti bicara. Jauh di lubuk hatinya, dia merasa bahwa jika dia tidak memiliki Fei Jie dan Wu Zhu sebagai guru setelah datang ke dunia ini, dia tidak akan jauh lebih kuat daripada anak bangsawan lainnya, dan mungkin ... mungkin dia sudah mati. Terperangkap di dalam perebutan kekuasaan dan dikelilingi oleh banyak rahasia, sepertinya mengetahui hanya sedikit tidak akan berguna. Siapapun yang berusaha menunggangi gelombang kekuasaan harus mahir dalam cara-cara curang dan rumit seperti itu.

Dibandingkan dengan mereka ... dia hanya seorang bocah yang naif.

"Ada perasaan membunuh seseorang, dan perasaan menjadi yang terbunuh. Mana yang lebih suka kamu alami?" tanya Wu Zhu.

Fan Xian tidak yakin bagaimana dia harus menjawab. Tentu saja tidak ada yang mau dibunuh.

"Karena kamu sudah tahu jawabannya, jangan tanya aku." Wu Zhu memberinya seal [1]1. "Ada hal lain yang perlu aku beritahukan padamu. Sang Countess mengusir Kepala Pelayan Zhou dari Pelabuhan Danzhou. Dia tidak memerintahkan Zhou dibunuh, karena ia pikir sebaiknya orang di ibukota tidak mempermasalahkan hal ini."

Fan Xian melihat seal itu. Benda itu terlihat tidak asing, dia telah melihatnya terdapat pada dokumen di sekitar kediaman sang Count. Seal itu milik Zhou si kepala pelayan. Dia mengangkat kepalanya dan menatap Wu Zhu dengan curiga. "Kamu membunuhnya?"

Wu Zhu mengangguk.

Fan Xian tiba-tiba teringat identitas pembunuh itu. "Mengapa racun dan serangan yang digunakan oleh pembunuh begitu mirip dengan metode milik Dewan Pengawas ?" dia bertanya, bingung.

"Tanya Fei Jie."

——————————————————————————

Saat itu adalah hari musim semi yang cerah di ibukota. Di ujung barat kota berdiri sebuah bangunan persegi, yang bagian luarnya dicat abu-abu-hitam. Di dalam gedung yang tampak menyeramkan ini, di sebuah ruangan rahasia, duduklah seorang pria berwajah kurus dan tercukur kelimis di kursi roda, sepasang kakinya ditutupi selimut wol yang halus.

Jendela-jendela kaca dari ruangan tersembunyi ini ditutupi oleh kain hitam tebal, tidak setitikpun sinar matahari bisa masuk. Bertahun-tahun yang lalu, pria ini mengidap penyakit serius di suatu tempat di utara - sejak saat itu, ia mulai takut pada cahaya.

"Guru Fei, bagaimana penyelidikan di Danzhou?" Pria tua itu bertanya kepada pria aneh, berambut abu-abu - seusia dia - yang berdiri di depannya. Dia menatap pupil coklat pria aneh itu dan tersenyum.

Fei Jie duduk di kursinya sambil menyeruput teh, memandang senyum aneh yang merayap di bibir atasannya. "Sebenarnya siapa diantara kita yang orang tua mesum?" pikirnya.

Siguiente capítulo