02 Oktober 1274 AG - 08:30 Am
Kota Tigris - Mansion Moltavide del Stauven
—————
Ottuso kehilangan kata-kata. Dia sudah sudah berada di titik dimana dia tidak bisa kembali. Pria berambut hitam itu hanya bisa memohon kepadanya istrinya semoga masih mau mencintai seorang pembunuh. Ottuso tidak bisa menahannya. Preponte sudah bulat menghabisi anak-anak marquis itu. Semenjak semalam, Preponte mengamuk lagi seperti orang kerasukan
Gemerincing suara chainmail saling bertautan. Bunyi pedang berdecing saat para prajurit menyarungkannya. Di hadapan Ottuso, 100 prajurit itu sudah membuang kebanggaan mereka hanya demi menghabisi sepasang saudara.
Ottuso melihat wajah-wajah tegang mereka, yang akan melakukan pelanggaran terburuk sebagai prajurit. Walau bagaimanapun Simian adalah seorang earl. Si rambut merah itu tetaplah komandan mereka sekalipun berbeda resimen. Beberapa dari prajurit itu nampak gemetaran karena kejahatan membunuh seorang komandan selalu berakhir di tiang gantungan. Tapi mereka tidak mampu menolaknya karena undang-undang militer menjebak mereka dalam dilema.
Semua earl memiliki hak dan kewajiban yang sama. Jika di medan perang mereka memimpin 1.000 pasukan, maka di luar tugas mereka berhak memiliki dua peleton prajurit pribadi. Semua earl bebas memerintahkan 50 orang itu untuk pekerjaan apapun. Tapi pertanyaannya, jika Earl Moltavide hanya memiliki dua peleton saja, kenapa ada empat peleton pasukan pribadi di halaman mansion-nya?
Ottuso memang hanya petualang. Tapi sebagai pelayan Preponte, dia tahu seburuk apa tensi para petinggi militer Tigris. Karena prestasi Simian mengundang dengki, dua earl lain menyumbang masing-masing satu peleton untuk ekspedisi kali ini. Melihat keseriusan para earl itu Ottuso paham bahwa rencana pembunuhan ini terjadi bukan karena masalah penghinaan. Kematian pemuda itu pasti diharapkan sebagian earl lain yang ingin meniti karir dengan cara-cara busuk.
Preponte tidak mungkin tahu itu. Dia tidak mungkin paham bahwa ayahnya keluar modal habis-habisan bukan untuk harga diri seorang Stauven gagal.
"Cih, kenapa pula kita harus menunggu tamu-tamu asing itu. Mereka nyasar?" Preponte mengeluh tidak sabaran. "Kenapa kita tidak berangkat sekarang? Mereka sudah berangkat dari kemarin!"
Ottuso menepuk dahinya perlahan. Dia belum habis pikir dengan sikaf naif si anak manja. Namun Ottuso hanya diam dan membiarkan seorang banneret saja yang menjelaskan.
"11 tamu kita prajurit elit dari Kerajaan Jabulqa, Tuan. Kekuatan mereka setara seorang captain, atau seorang petualangan rank-A. Lebih baik kita menunggu mereka."
"Aku tidak butuh! Apa 100 prajuritku belum cukup? Lagipula kita juga membawa dua petualang rank-S." Preponte menimpali dan menunjuk dua orang yang duduk agak jauh. "Ayo berangkat sekarang."
Komandan peleton itu nampak gelisah. Dia tahu sebebal apa orang yang menjadi komandan sementara bagi pasukannya.
"Tapi Tuan, ini sudah kesepakan antara Earl Moltavide dengan mereka."
Bantahan itu berbuah cekikikan leher dari seorang anak pemarah. Penuh dendam Preponte membisikan knight banneret itu sebuah ancaman.
"Kita berangkat sekarang. Kita habisi mereka di tengah jalan atau aku yang menghabisimu. Aku tidak peduli meski ayahku sendiri yang akan membunuhku."
"Tapi Tuan, kalau ada saksi mata, kita bisa kena masalah! Walau bagaimanapun Tuan Simian salah satu komandan kami—
PLAKKKK!!!
Helm komandan peleton itu terhempas setelah Preponte menamparnya keras.
"Komandan, katamu?" Preponte melepaskan cekikannya. Dia menutupi wajahnya dan berdiri membungkuk dengan badan gemetaran. "Berhenti menghinaku ... kalian semua berhenti menghinaku ... Berhenti menghinaku!!!"
Kalau saja seseorang tidak memegang tangannya, Preponte pasti menebas leher banneret itu. Stauven itu masih meronta sampai tiba-tiba dia diam setelah melihat siapa orang yang menahannya.
"Kalau ayahmu tidak membayarku mahal, kamu pikir aku mau membantu bocah gagal sepertimu?" Orang tua itu berkata dengan picingan mata yang sangat dingin. "Jaga sikapmu atau aku robek mulutmu."
Semua orang diam, termasuk Ottuso. Aura intimidasi pak tua itu sangat kuat sehingga Ottuso merasakan lehernya seperti tercekik. Dia juga melihat 100 prajurit itu tidak bergeming meski sang komandan sedang diancam. Ottuso menelan ludah. Pak tua itu bisa membantai 100 prajurit itu tanpa keluar keringat. Mata Ottuso pun terpaku pada kakek-kakek itu yang kembali duduk setelah membuat semua orang terdiam takluk.
'Inikah kekuatan seorang petualang rank-S?'
Suasana semakin memanas. Tapi Simian justru sibuk dengan petualangnya. Dia tidak menyadari bahwa nyawanya sedang terancam, begitupun kedamaian Propinsi Tigris yang ayahnya perjuangkan.
Apakah Simian bisa melaluinya?
Apa yang akan terjadi selanjutnya?