Thanne I schel flutte
From bedde to flore,
From flore to here,
From here to bere,
From bere to putte,
At te putt fordut.
—————
14 Desember 1259 AG - 01:00 Pm
Di rumah kecil pelosok Manor Stauven
—————
Sudah enam tahun Phulia disemayamkan, puisi kematian itu masih terngiang di telinganya. Grall menatap bekas rumahnya yang menyimpan berjuta kenangan antara dirinya, Phulia dan semua impian yang pernah dia ceritakan.
"Sampai kapanpun aku tidak akan melupakanmu ... meski aku harus."
Grall membiarkan rumah kecil itu apa adanya. Dia membiarkan sarang laba-laba bertebaran dan kayu-kayunya lapuk dimakan rayap. Satu-satunya yang terawat dari rumah itu hanyalah kamar tidur di mana ada batu nisan yang bertuliskan "Phulia del Stauven." Di makam itu pun masih ada mawar merah yang dua hari lalu Grall taruh. Bunga kesukaan perempuan itu masih belum layu karena Grall selalu menggantinya, agar istrinya tahu bahwa kematian bukan alasan untuk saling melupakan.
Dan seperti biasanya pula Grall mencium pusara itu seperti dia mencium kening Phulia menjelang tidur. Tidak ada kesedihan. Grall merasa wanita istimewa itu masih ada di sisinya.
"Kamu jadi keras kepala lagi setelah Phulia pergi." Seseorang menegurnya dari belakang. "Kamu lihat? Nisan puteriku jadi mengkilap karena mulut baumu. Sampai kapan kamu begini, Nak? Lanjutkan hidupmu."
"Aku masih bernapas. Hidupku masih berlanjut."
"Tapi kau berhenti tertawa, Grall." Tonos bicara kalem. Dia menghampiri Grall dan meraih dagunya. "Kamu bahkan jarang tersenyum sekarang."
"Hanya dia alasanku tersenyum."
Tonos picingkan matanya. Dia mendorong-dorong jidat Grall dengan kedua jarinya.
"Yeah yeah, merpati adalah mahluk yang setia. Kamu tahu kenapa? Karena otak mereka kecil."
"Aku memang dungu tanpa istriku. Aku anggap itu pujian."
Tonos semakin terganggu.
"Setidaknya tersenyumlah, Nak."
Grall berusaha tersenyum agar ayah mertuanya diam. Semenjak kepergian Phulia, Tonos kembali berperan sebagai ayah angkatnya. Pria tua itulah yang menggantikan peran Phulia sebagai pendukung semua ambisinya.
"Rencana kita sembilan tahun lalu sudah berjalan mulus. Barlux sudah menjadi duke dan ayah juga membantuku menghabisi beberapa oposisi."
"Kamu sudah menyiapkan semua anggota rapat?" Tonos bertanya sembari mendampingi Grall berjalan menuju mansion-nya.
"Iya. Hanya satu orang yang tidak bisa hadir. Ayah tidak perlu bertanya kenapa."
Tonos tersenyum. Dia memandang Grall dengan tatapan penuh kasih sayang.
"Rasanya, baru kemarin kamu Grall kecil yang aku gendong."
Grall melirik sekilas. Di balik sifat bengisnya, Tonos adalah sosok ayah yang sempurna. Dia banyak belajar banyak dari pria itu tentang bagaimana bersikap pantas sebagai sesama ayah. Marquis itu tersenyum ketika Tonos menghentikan langkahnya dan membelai rambut pirangnya.
"Matamu semakin tajam, Nak. Kamu sudah mampu melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda. Aku tidak menyangka sebesar ini pengaruh puteriku padamu."
"Lebih dari itu, ayah. Aku bisa membuktikannya."
"Sebagai marquis? Atau sebagai ayah dari ketiga anakmu?"
Sejenak, Grall menghentikan langkahnya sendiri. Dia menoleh ke belakang dan melihat rumah kecil yang sudah jauh dia tinggalkan.
"Cukup kita saja yang menelan kenangan pahit kehilangan Phulia. Bukan Simian. Ayah tahu maksudku?"
***
Tiga hari kemudian.
Grall duduk di ranjang itu. Dia membelai rambut Simian kecil yang masih terkapar berbalut perban.
"Cucuku mirip sekali ibunya. Dia tidak mengambil sedikitpun darimu. Lihat wajahnya, setampan aku, bukan?"
Ucapan Tonos tidak Grall balas. Dia masih terkesima dengan keajaiban yang baru saja dia dapatkan. Karena seorang gadis berumur 10 tahun, dia sangat bersyukur puteranya masih bisa dia timang.
"Sejak kapan kamu mencintai Phulia?"
"11 tahun."
"Pfftt ... Cinta monyet."
"Dan selama enam tahun aku berusaha membuatnya melihatku sebagai laki-laki."
"Seorang bocah berumur 11 tahun mengejar cinta perempuan matang 22 tahun. Dunia ini sudah rusak."
"Iya, bagiku dunia ini sudah rusak enam tahun ini."
"Jezz, lama-lama aku mual dengan sikap mendayumu itu. Kamu mau menyusul dia? Sini, serahkan lehermu, hahahaha!"
Grall tidak menangkap lelucon Tonos. Bukan karena tidak lucu, melainkan karena itulah yang dia pikirkan andai tidak ada Simian.
Tawa Tonos pun terhenti. Secara perlahan dia mengulurkan tangan dan ikut mengelus rambut Simian.
"Kamu pandai bersandiwara, Nak."
Grall mendengar suara Tonos agak berat. Dia paham secemas apa ayahnya enam tahun ini kepada dirinya. Marquis itu pun enggan menolehnya. Dia enggan melihat wajah muram Tonos yang biasanya selalu terkekeh.
"Aku terbiasa melihat kematian di medan perang, Ayah. Tapi kematian Phulia memberiku makna lain. Mungkin ini yang dirasakan keluarga prajurit yang aku bunuh." Grall bicara dengan wajah menunduk. Dia ungkapkan perasaan terlarangnya sebagai seorang jenderal. "Dan ayah mengajarkanku untuk jangan pernah ragu mengambil keputusan, dan jangan pernah menyesali keputusanku sendiri jika aku merasa lelaki. Tapi ..."
"Kamu menyesal Simian memiliki warna rambut dan pupil berbeda darimu?"
Grall tidak menjawabnya, lebih tepatnya tidak mau. Dia masih mengelus rambut Simian penuh kasih sayang, untuk membuktikan bahwa tidak ada penyesalan sedikitpun.
"Apa kamu menyesal puteramu ini dijuluki anak terkutuk? Kamu menyesal dia mewarisi warna rambut dan pupil dari ibunya?"
Tangan Grall berhenti mengelus. Dia mengambil napas panjang yang kontan mengundang tepukan pundak.
"Mulai besok kamu harus jadi orang berbeda, Nak. Ikut aku."
Tonos mengajak Grall beranjak. Ketika tidak ada orang melihatnya, pria itu pun berkata, "Sekarang kamu bukan marquis, bukan prajurit, bukan Stauven, bukan pula ayah dari tiga orang anak. Sekarang kamu adalah anakku, Grall. Bebaskan dirimu."
Jujur dalam hatinya, Grall juga merasa ada yang salah dengan sikapnya. Dia merasa bahwa sikap itu akan mengganggu visi yang dua hari lalu ayahnya paparkan. Marquis itu langsung membuang semua kepura-puraannya untuk bersikap tegar. Dia buang semuanya sejauh mungkin dan menjadi dirinya sendiri.
"Ayah tahu? Rambut merah Simian adalah rambut yang sama dari perempuan yang memberi tahun-tahun terbaik dari hidupku. Ayah tahu? Pupil biru Simian ada pupil biru yang sama dari seseorang yang membuatku tidak pernah mencemaskan hari esok. Ayah tahu itu?"
Grall meluapkan sisi lainnya yang tidak dia tunjukan kepada banyak orang. Dia memandang Tonos dengan mata berkaca-kaca dan pipi yang mulai basah. Pundaknya terasa berat saat tumpukan kenangan yang dia simpan membanjiri pikirannya dengan senyum anggun seseorang.
Untuk sekali ini saja, jenderal besar itu menundukan kepalanya dan mulai terisak.
"Kat—katakan padaku, Ayah. Bagaimana aku bisa menyesalinya? Ba—bagaimana aku bisa?"