Kerajaan Arcadia berdiri 150 lalu tepat setelah perang suci berakhir. Seperti layaknya kerajaan baru, kerajaan itu tidak pernah merasakan kedamaian karena perang-perang memperebutkan perbatasan. Konflik-konflik itu pun memunculkan nama-nama besar yang disegani seluruh kerajaan.
Salah satunya adalah Marquis Grall del Stauven.
Grall tidak pernah gagal memimpin lebih dari 12.000 pasukan di perang manapun dia ditempatkan. Marquis itu bukan hanya ahli di medan tempur, konon katanya, perebutan pulau perbatasan juga dia menangkan melalui meja perundingan.
Prestasi luar biasa, bukan?
Tapi bagi seorang Grall, nama besar itu hanyalah bekal untuk menusuk punggung kerajaannya sendiri dari belakang. Semenjak tahu fakta bahwa Kerajaan Arcadia di bawah kendali New Age Order, Grall menyusun rencana matang untuk memberontak di masa depan.
Eksekusi dari rencana itu pun dimulai 15 tahun lalu ketika gerbang dunia lain terbuka sesuai ucapan ayah angkatnya..
***
15 tahun silam.
————
12 Juli 1259 AG - 11:00 Am
Kota Tigris, Kerajaan Arcadia
—————
Hari itu Grall baru tiba dari Ibu Kota Kerajaan. Pintu gerbang Kota Tigris disesaki ribuan orang yang menyambut kedatangan jendral muda berambut pirang emas dan berpupil hijau emerald.
Namun, Grall sudah mual dengan segala pujian yang selama ini dia terima dari kebohongan. Meski merasa tidak nyaman, Grall berpura-pura memainkan perannya sebagai sosok pahlawan.
Dari atas kudanya dia melambaikan tangan kepada warga Kota yang masih terlena dengan dunia palsu mereka. Para awam itu tidak tahu bahwa perang adalah masa di kala uang mengalir ke kantong-kantong para penguasa. Mereka tidak tahu bahwa perang adalah kesempatan emas bagi para bangsawan untuk meraih pengaruh politik. Para awam itu juga belum tahu bahwa perang adalah saat-saat terbaik bagi para pemuka agama, untuk menyebarkan dongeng bodoh mereka tentang surga, kematian dan harapan palsu di hari kemudian.
Dunia ini telah membusuk. Semua itu terjadi karena iming-iming sebuah organisasi. Para bangsawan serakah itu tidak sadar bahwa mereka hanyalah boneka untuk kejahatan yang lebih besar.
Grall ingin mengakhirinya ... dia bersumpah untuk itu.
Di sepanjang perjalanan menuju manor¹-nya, Grall berusaha keras menjaga kharisma sebagai seorang petinggi militer. Dia hanya melirik para prajurit kota yang menaruh satu tangan di dada, juga kepada anak-anak yang memandang sosoknya sebagai panutan. Dia juga tidak pedulikan para perempuan yang pingsan di tempat saat beradu tatap dengan wajahnya yang tampan.
Grall meraih surat yang dia terima beberapa hari sebelumnya. Setelah ini, dia akan bertemu lagi dengan kaum-kaum yang dia benci. Para serakah itu masih saja memaksanya berkompromi untuk sandiwara perang baru. Jenderal muda itu memutuskan untuk memulai rencana yang dia simpan sejak bertahun-tahun silam.
"Bergembiralah, Hotwind, setelah ini kau terbebas dari hujan panah dan tombak anti-cavalry," ujar Grall kepada kudanya.
Pria itu berlalu dari stable¹ menuju ruang rapat yang dijaga ketat para prajurit. Sesuai surat yang dia terima, dia melihat tiga sosok familiar telah menunggunya di kursi tamu. Grall mengamati wajah mereka satu-persatu dengan perasaan terganggu.
Dia melihat Duke Kota Tigris duduk di kursi paling kiri. Grall juga melihat seorang utusan Istana Arcadia di bangku tengah, serta seseorang dari ras berbeda yang membuatnya langsung tahu mau bicara apa babi-babi itu.
"Pikirkan kembali anak muda, suatu saat nanti kamu sendiri yang akan membuang idealisme bodohmu itu. Bersikaplah realistis," ujar seseorang di antara mereka.
Marquis itu menatap tajam duke tua yang baru saja berbicara.
"Kedudukan kita setara di kota ini. Jangan banyak tingkah hanya karena kamu punya uang," ujar Grall pada duke itu. Dia menunjuk si orang asing di kursi paling kanan dan bertanya, "Orang Jabulqa itu datang ke sini bukan untuk bertamasya, bukan?"
"Hahahahaha, kamu memang tajam, Anak muda. Sayang sekali kau masih lugu," balas duke itu meremehkan. "Atau lebih tepatnya, kamu munafik!"
Grall tidak merubah wajah dinginnya. Dia tahu betul kedatangan tiga orang itu hanya untuk menyusun perang baru melawan Jabulqa entah dengan motif apa lagi.
"Ayolah, Anak muda. Perang nanti pasti melambungkan nama kita di kerajaan."
Duke tua itu terlalu memaksa sehingga Grall menyudahi sikap diamnya. Orang serakah itu jelas belum sadar bahwa ada sekelompok orang yang memanfaatkan keserakahannya.
"Medan perang tempatnya orang saling membunuh, bukan tempat orang bermain drama. Kalau kau mau cari muka dari prestasi orang lain, kau salah alamat."
"50.000 platinum. Kita bisa bicarakan lagi kalau masih kurang," jawab duke itu membuka penawaran. Dia bersikap santai seolah hasil negosiasi itu sudah dia ukir di atas batu. "Tunggu apa lagi, Anak muda? Kamu tidak bosan jadi marquis miskin?"
Grall hanya melirik dingin. Dia berganti menatap si tamu dari Jabulqa dan berbicara dalam Bahasa Iram.
"Kita sama-sama jenderal. Kita sama-sama tahu berapa nyawa yang kita kirim, Tuan Khayin. Anda tidak bosan?"
Jenderal dari Jabulqa itu adalah lawannya di medan perang. Tapi di meja perundingan, uang adalah pemersatu segala bangsa.
Itulah ekspresi yang Khayin tunjukan kepada Grall.