Sinar sang surya yang hangat kembali membangunkan sibuknya Kota Jakarta, juga kembali menyibukkan hari-hari Nata yang dirasa itu-itu saja. Hari ini Nata harus datang sedikit lebih pagi, jika biasanya ia datang tepat pukul 6.45 hari ini ia datang pukul 6.30 --ingin menyerahkan tugas ke bk-- begitu katanya saat ditanya Pak Dan.
Nata mengetuk perlahan pintu ruang bimbing konseling. Irama jantungnya --dagdigdug-- terdengar bak irama pengiring langkahnya memasuki ruang keramat itu. Selepas menjeda beberapa detik berlalu, Nata memutuskan untuk mendorong pintu kayu yang ada di depannya itu. Tepat di tengah ruangan satu meja kayu besar dan kursi kayu dengan tuan duduk seorang wanita paruh baya sudah menunggu kehadirannya. Wanita paruh baya itu tersenyum miring sembari melambai ringan ke arah Nata. Menyeru ringan nama gadis berkuncir kuda yang sudah berhenti tepat di depannya.
"Baru datang Nata?"
Nata mengangguk ragu --baru datang? Demi dewa penguni laut pasifik, katanya sebelum jam pertama, dan jam pertama dimulai 15 menit lagi.--
"Saya terlambat ya, Bu?" tanya Nata dengan nada memelan.
"Tidak, jadi mana?" Seperti seorang rentenir yang menagih hutang pada targetnya, wanita paruh baya di depan apa itu kini mengulurkan tangannya seakan sedang meminta sesuatu hal yang begitu penting.
Nata menyodorkan selembar kertas yang sudah penuh dengan tulisan tangannya. "Tapi, untuk Rama ..., saya minta maaf, Bu." Nata membungkuk. Ia tidak benar menyesal untuk itu. Ia hanya sedang marah. Benar-benar kesal untuk remaja berandal satu itu. Ingin rasanya ia seret berandalan itu, ia buang ke Samudra Hindia dan ia saksikan tubuhnya dihabisi brutal oleh ribuan hiu.
"Untuk Rama? Ada apa dengan Rama?"
"Dia tidak bisa ...." Berat rasanya mengatakan kebohongan itu. Bukan tidak bisa mengumpulkan, tetapi lebih tepatnya remaja itu tidak mau --itu yang ingin Nata katakan. Namun, mengapa juga rasanya begitu berat? Padahal untuk apa ia membela dan melindungi orang yang tak peduli dengannya?
"Tidak bisa apa?"
"M-mengumpulkan." Nata memejamkan matanya rapat. Menunggu umpatan atau celaan macam apa yang akan dilontarkan padanya.
"Sudah, bahkan ia sudah menaruhnya sebelum saya datang."
"Oh?" Nata mendongak cepat diikuti dengan kedua bola matanya yang membulat sempurna dan mulutnya yang terbuka lebar.
"Sungguh?" Nata mengulang bertanya. Memastikan bahwa yang baru saja ia dengar bukan suara bisikan hatinya sendiri yang berusaha mengokohkan.
"Rama sudah mengumpulkan."
--Mukjizat macam apa ini? Sungguh apakah setelah ini ada kejutan yang bisa lebih dari ini? Rama! Hari ini Nata ingin berterimakasih padamu.
"Kalau begitu terimakasih, Bu. Saya akan ke kelas sekarang, " Nata membungkuk ringan diikuti dengan senyum lebar yang terlukis jelas diparas cantiknya. Bahagia. Benar-benar bahagia yang ia rasakan sekarang.
kau tau rasanya seperti mendapat durian runtuh yang rasanya enak tak terkira? Begitulah kiranya perasaan Nata sekarang ini.
"Nata, " suara wanita paruh baya itu menghentikan langkah Nata. Ia memutar badan rampingnya.
"Saya tidak akan memberi point ke kamu."
Nata melipat keningnya samar. Ia terdiam sejenak. Aneh rasanya, bukankah ia baru saja kepergok membolos di jam pelajaran? Dan bukankah itu hal yang salah? Bukankah seharusnya ia mendapat hukuman atau point?
"Rama sudah menjelaskannya. Ia bilang kalau itu salahnya yang mengajak kamu menunggu hujan. Kalian terjebak hujan di belakang sekolah. Dan Rama yang meminta kamu menunggu dengannya. Jadi itu salahnya, benar begitu?"
Mata Nata membulat. "Rama berkata begitu?"
"Bahkan ia sempat bilang kalau kamu sakit, jadi dia menemani kamu dulu."
Nata terdiam sejenak. "Rama benarkah itu kamu?" batinnya bergejolak. Nata belum bisa benar-benar percaya pada apa yang dilakukan oleh Rama.
••• 100 Persen Itu Sempurna •••
Langkah kakinya tegas menapaki satu persatu ubin yang ada di bawahnya. Sesekali gadis itu menurunkan pandangannya, sebab ingin menyembunyikan senyum yang ada di wajahnya saat ini. Nata merasakan kelegaan yang luar biasa pagi ini. Setidaknya, ia bisa memulai dan berharap bahwa di akhir semua nanti kisahnya masih baik-baik saja dan sempurna. Ia tak tahu kalau Rama bisa melakukan kejutan itu. Meskipun tak besar, setidaknya Rama tahu apa yang dirasakan oleh Nata kemarin malam.
Perpisahan keduanya tak benar-benar berjalan dengan lancar. Nata merasakan jengkel dan dongkol di lama hatinya. Namun, sebab Rama ... pagi ini, remaja jangkung itu sukses menebus semua kesalahan yang sudah ia lakukan.
Nata menghentikan langkah kakinya. Tepat di depan ambang pintu kelas ia menarik napasnya dalam-dalam. Sejenak berpikir kata apa yang akan pantas ia katakan pada Rama sebagai bentuk rasa terimakasihnya pada remaja jangkung itu.
Ah, apapun! Yang terpenting tidak memalukan.
Nata masuk ke dalam kesal. Suasana riuh gemuruh sebab bel belum menyala dan menyuruh semuanya untuk tenang dan mengambil tempatnya masing-masing. Tatapan matanya mulai menyapu setiap sudut ruangan, menatap satu persatu perawakan tubuh si teman-teman sekelasnya yang mulai tak asing untuk Nata. Buka. Itu yang cari, bukan juga perkumpulan remaja di sudut ruangan. Rama tak suka bergaul dengan orang-orang di sini.
"Dia tidak masuk ke kelas?" gumamnya ringan. Nata menoleh ke arah satu bangku yang tak jauh darinya. Benar saja, itu kosong. Tak ada yang berani duduk di sana selain Rama Aksa Megantara.
"Nata!" Dila melambaikan tangannya. Memanggil gadis itu untuk lekas datang kepadanya.
Ah, sial! Pencarian harus dihentikan.
"Gimana laporannya ke BK? Lo dimarahi?" tanya gadis itu kala Nata berjalan mendekat. Tak ada jawaban dari Nata, gadis itu hanya menggelengkan kepalanya lalu kembali diam dan meletakkan tas punggung di atas kursi.
"Engga?" tanya Dila mulai penasaran. "Rama?"
"Rama menulis suratnya," sahut Nata dengan enteng. Sekarang Dila mulai menatapnya dengan aneh sebab jawaban itu. Dila dan Rama memang tak dekat, tetapi dua tahun berturut-turut menjadi teman sekelas Rama yang kadang kala melihat dengan detail tingkah tengil remaja situ, membuatnya tak bisa percaya dengan apa yang dikatakan oleh Nata begitu saja. Dila butuh buktinya!
"Lo ancam dia?" tanyanya mulai penasaran. Menarik tubuh Nata dan membawa gadis itu untuk duduk sejejar dengannya. "Katakan! Lo ngancam gimana?"
Nata terkekeh. Ia melepaskan genggaman jari jemari Dila dari pergelangan tangannya. "Rahasia!"
Dila berdecak dengan kesal. "Nyebelin banget!"
"Ngomong-ngomong ...." Nata kembali membuka suaranya. Ia menoleh ke arah bangku yang masih kosong meksipun semua bangku yang lainnya sudah terisi penuh.
--dan akhirnya, bel berbunyi! Menandakan bahwa inilah akhir dari masa bahagia di pagi ini. Waktunya untuk serius.
"Rama gak masuk?"
Dila menoleh. "Entah. Dia suka aneh. Paling-paling juga balapan liar atau semacamnya. Kalau belum disentil Tuhan, Rama gak akan pernah jera."
... Bersambung ...
.
Dia /'adalah karya Tuhan yang paling rumit'/
-Lanata, 100 Persen Itu Sempurna-