webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Andere
Zu wenig Bewertungen
63 Chs

UF2568KM || 11

"Hahaha … ya ya ya. Anak Mamih cantik kok, cantik … banget kaya Mamih. Cantik-cantik gini udah punya pacar belum?"

'Deg'

"Uhuk … Uhuk …." Rein yang mendengar itu langsung tersedak susu yang sedang ia minum itu.

"Udah, ya? Makannya kaget pas ditanya kaya gitu." Rein hanya merespon ibunya dengan cengiran lucunya saja. "Boleh pacaran. Tapi, jangan serius dulu! Rein jangan sampe ngelangkahin kakak, ya?"

"Iya, Mih. Rein gak akan langkahin kakak kok. Rein kan masih sekolah." Rein memakan roti bakarnya yang tersisa dan segera menghabiskannya.

"Pinter. Ya udah, ayo kamu habisin susunya! Setelah ini kamu temenin Mamih belanja."

"Iya, Mih."

• • •

Senin pagi. Saat Rein membukakan gerbang untuk kakaknya yang hendak mengantarkannya ke sekolah, dia sedikit terkejut ketika mendapati Haris yang sudah berada di depan sana.

"Haris?" Pria itu langsung menoleh ke arah suara yang memanggilnya.

"Kok lo di sini?" Tanya Rein seraya ia mendekati Haris yang tengah duduk di atas motornya.

"Nungguin lo. Mulai sekarang kita berangkat bareng aja gimana? Pulang pergi gitu." Rein nampak berpikir untuk mempertimbangkan tawaran dari Haris.

"Gue sih ayo aja. Tapi, lo gak papa? Gue berangkatnya suka lebih awal." Haris mengernyitkan dahinya. "Pertanyaan gila apaan tuh? Iyalah. Makannya gue ngajak juga berarti gak papa."

"Yeuu … santai dong, Masnya. Kalo gitu gue ngomong sama kakak gue dulu, ya." Rein kembali masuk ke pekarangan rumahnya dan menemui kakaknya yang kala itu sedang memanaskan motornya.

"Kak, gue berangkat sekarang, ya. Lo gak perlu anterin gue sekarang, pulangnya juga gak perlu jemput. Gue mau bareng Haris."

"Haris siapa?" Tanya Rendi.

"Dia temen gue. Dia udah nungguin tuh di depan." Rendi langsung berjalan menuju ke arah luar gerbang dan dia pun mendapati seorang pria yang sedang duduk di motornya. "Kak, lo mau ngapain?" Rein dengan segera menyusul kakaknya itu.

"Lo Haris?" Tanpa aba-aba Rendi langsung bertanya pada pria itu yang membuatnya sedikit terkejut.

"Iya, Bang. Gue Haris."

"Lo siapanya Adek gue?" Haris menatap Rein yang sedang berdiri tepat di belakang kakaknya itu. Dia melihat seperti ada kegelisahan di mata Rein. Gadis itu terlihat seperti sedikit ketakutan.

"Gue temennya," jawab Haris. "Ohh … jadi emang temennya? Kirain gue lo pacarnya. Ya udah, lo jagain Adek gue, ye. Jangan sampe lo celakain dia. Hati-hati jangan ngebut! Entar lo berdua bisa jatoh kan berabe." Rendi memberikan nasihatnya kepada Haris agar pria yang lebih muda darinya itu berhati-hati dalam berkendara.

"Iya, Bang. Gue bakal jagain dia."

"Ya udah, sono berangkat! Entar telat."

Setelah berpamitan dengan Rendi, Mereka berdua segera pergi menuju sekolah. Haris mendengarkan apa yang dipesankan oleh Rendi tadi, dia benar-benar santai dalam mengendarai motornya saat ini.

Saat baru saja mereka sampai di sekolah, tiba-tiba ada seorang gadis cantik yang menghampiri mereka berdua di parkiran.

"Hai, Haris." Gadis itu menyapa Haris dan tersenyum manis ke arahnya, ia juga seakan tidak memedulikan Rein yang kala itu sedang berdiri tepat di samping Haris.

"Hai." Haris menyapa balik gadis yang diketahui berasal dari kelas IPS 01 bernama Yesi.

"Lagi akur, ya? Tumben aja gitu berangkat bareng." Haris dan Rein saling menatap satu sama lain. Wajar saja jika Yesi berbicara seperti itu, karena satu sekolah pun sudah pada tahu jika mereka adalah orang yang sering bertengkar ketika di kantin. "Oh iya, gue cuma mau ngasih ini sama lo. Dibaca, ya." Haris menerima amplop berwarna merah itu yang disodorkan oleh Yesi padanya.

"Gue duluan." Rein pergi lebih dulu dan meninggalkan Haris di sana berdua dengan Yesi.

"Rein." Haris mencoba memanggilnya, namun sayangnya Rein tidak menggubrisnya sama sekali. "Thanks, ya. Gue duluan."

Haris pun berlari untuk menyusul Rein yang belum terlalu jauh darinya. Setelah Haris berhasil menyamai langkahnya dengan Rein, ia melihat wajah Rein menjadi berbeda. Terlihat ia seperti sedang menahan marah.

"Rein, kok lo ninggalin, sih?" Rein menepis tangan Haris yang hendak menggenggam tangannya. Ia juga semakin mempercepat langkahnya dan Haris pun berusaha agar langkah mereka tetap sama.

"Rein lo marah, ya? Lo cemburu? Gue minta maaf." Mendengar itu Rein pun akhirnya berhenti dan menatap Haris. Posisi mereka baru sampai di lantai 2 saat ini.

"Gue gak marah sama lo. Gue tuh cuma gak suka aja. Lo nyadar gak sih? Yesi itu emang udah suka sama lo dari lama, wajar aja gue gak suka liat kaya gituan tadi. Gue juga jadi heran deh, kenapa sih lo lebih milih gue daripada dia? Cantik juga cantikan dia, kok."

Haris menghela napasnya dan dia pun mengeluarkan amplop yang berisi surat pemberian dari Yesi tadi. "Ya, gue tau dia emang suka sama gue. Dia juga udah sering kasih kaya ginian buat gue. Tapi …,"

Haris menggantungkan ucapannya dan langsung merobek amplop berisi surat itu. "Gue cuma cinta sama lo dan lo harus percaya itu! Gue gak akan tergoda hanya dengan puisi puisi cinta yang dia rangkai buat gue."

Haris memberikan robekan kertas itu pada Rein. "Lo buang ini, dan jangan ada lagi keraguan di antara kita! Gue gak suka liat lo ngerendah kek tadi. Gue cinta sama lo apa adanya, Rein." Haris berjalan lebih dulu yang segera disusul oleh Rein.

"Gue minta maaf, Ris. Gue janji gak bakal ngerendah kaya tadi lagi." Rein mengambil tangan kanan Haris dan menggenggamnya. Haris tersenyum dan dia pun semakin mempererat genggaman itu.

• • •

Rein dan Haris pergi ke kantin setelah bel pulang berbunyi 5 menit yang lalu. Teman-temannya yang lain sudah pulang dari tadi, jadi mereka hanya duduk berdua di sana.

"Rein, gue mau nanya." Haris membuka suaranya setelah ia membawakan 2 gelas jus alpukat untuk mereka berdua.

"Nanya aja." Rein mengambil jus alpukatnya dan dia pun mulai meminumnya.

"Lo keliatan takut saat gue ngobrol sama kakak lo tadi pagi. Kenapa?" Ya, sebenarnya Haris memang ingin menanyakan hal ini dari pagi tapi ia baru sempat menanyakannya saat ini.

"Kakak gue paling ngelarang gue buat pacaran, Ris. Makannya gue bilang sama dia kalo lo itu cuma temen gue. Sorry, ya."

Haris mengangguk mengerti. 

"Gak papa, Rein. Gue ngerti. Kakak lo emang sayang banget sama lo kayanya. Dia gak mau kalo adeknya disakitin makannya dia larang lo buat pacaran." Rein hanya tersenyum sekilas sambil memutar-mutar sedotan jusnya.

"Tapi …," Rein menatap Haris ketika pria yang ada di hadapannya itu menggantungkan ucapannya. "Gue bakal bikin dia percaya sama gue."

"Maksudnya?"

"Gue bakal bikin kakak lo percaya sama gue kalo gue bisa jagain lo dan bahagiain lo. Gue bakal bikin dia ngerestuin gue sama lo." Rein tertawa mendengarnya. Benarkah Haris akan seperti itu? Pikirnya.

"Kok ketawa?"

"Kak Rendi itu orangnya agak galak dan dia gak gampang akrab dengan orang baru. Dia orang yang sangat cuek, emang lo yakin bisa yakinin dia?" Haris mengangkat bahunya tidak peduli. Dia belum mencobanya, jadi tidak ada satu orangpun yang bisa menyimpulkan.

"Gue belum nyobain. Lo liat aja nanti."

"Oke!" Mereka berdua saling bertatapan sampai akhirnya mereka memutuskan kontak dan tertawa.

"Aduh udah deh ah! Jangan sering natep gue kaya gitu!"

"Lah, kenapa?" Haris mengernyitkan dahinya bingung. Memangnya ada yang salah dengan matanya?

"Gak kuat gue tuh tau gak? Leleh gue ditatap kaya gitu." Haris tertawa dan mencubit hidung Rein sampai merah. "Ihhh … sakit tau!!!"

"Lo emang jujur ya jadi cewek. Lo blak-blakan dan gue suka itu." Rein tidak menanggapinya dan ia malah melihat ke arah rambut Haris yang terlihat gondrong.

"Ris, potong rambut, dong. Entar kalo ketauan pihak sekolah terus lo dicukur gratis, mampus dah." Tangan Rein terurai untuk menyentuh rambut Haris. "Udah gondrong ini."

Haris mengambil tangan Rein yang sedang memainkan rambutnya itu dan langsung menggenggamnya. "Iya gue bakal cukur, kok. Tapi, lo temenin gue, ya?"

"Idih manja bener. Gak ah males, lama pastinya entar."

"Ya udah gue tetep gondrong aja kalo gitu. Lagian gue rasa gue lebih ganteng kalo gue gondrong." Rein memeletkan lidahnya setelah mendengar penuturan Haris yang begitu percaya diri itu.

"Ya udah, gondrong aja sana sampe kaya singa! Habis itu lo jadi duta shampo hahahah …."

"Aku? Jadi duta shampo lain? Hahaha … ups! Dulu pernah pakek kuah mie dan kepalaku juga sempet ilang, dan balik lagi, euuu. Aku sama seblak aja, kepalaku ga ilang lagi, gak balik lagi." Rein semakin keras menertawakan Haris yang menurutnya menggelikan.

"Terus aja terus! Terus aja ketawa sampe hamil!" Rein menendang kaki Haris di bawah sana dengan tawanya yang masih tersisa.

"Itu yang bagian kepalaku gak ilang lagi, gak balik lagi maksudnya gimana coba? Bikin orang kepikiran aja."

"Gak usah dipikirin itu mah! Mending pikirin gue aja lebih bermanfaat." Rein kembali memeletkan lidahnya ketika mendengar itu. "Idihh … cantik ye lo kek gitu."

"Cantiklah gue mah gak pernah jelek. Emangnya lo, jelek everytime everywhere. Lagian buat apa gue mikirin lo? Buang-buang umur tau gak?!"

"Ohh … gitu ya …," Haris mendekatkan wajahnya ke arah Rein yang langsung membuat Rein was-was. Haris menahan kepala Rein dan menyatukan dahi mereka.

'Glek'

"L-lo mau ngapain?"

•To be Continued•

.

Indriani0903creators' thoughts