2 Perkemahan Masa Tamu

Langit yang semula cerah kini menggelap perlahan. Mataharipun telah tenggelam dan berganti menjadi rembulan yang terang bersama bintang-bintang berkelip-kelip sebagai penghias langit malam.

Setelah makan malam bersama keluarga kecilku, aku menyibukkan diri dengan berkemas keperluan pribadi yang akan kubawa untuk acara Perkemahan Masa Tamu di sekolahku.

Kemarin hari setelah pembagian regu untuk berkemah, aku ditunjuk oleh kakak pendamping kelas sebagai ketua regu. Tentu saja aku yang mesti lebih disiplin dan menunjukkan sikap kepemimpinanku untuk anggota-anggota di reguku.

Pagi-pagi sekali aku sudah tiba disekolah. Hari ini aku tidak terlambat sebab aku diantar oleh Papah dengan menggunakan kendaraan untuk mempersingkat waktu dalam perjalanan hingga lebih cepat untuk sampai di sekolah.

"Kakak hati-hati, ya. Kalau ada apa-apa bilang saja sama kakak kelas atau gurunya. Jaga diri baik-baik." perintah Papah yang masih berada diatas motornya dengan mesin yang masih menyala.

"Siap!" tegasku sembari melakukan gerakan hormat pada Papah.

"Ayo Dek cepat. Apel paginya akan dimulai" ucap seorang pemuda tinggi mengenakan seragam Pramuka lengkap yang tiba-tiba menghampiri kami.

"Jang, titip anak saya, ya? Kalau minta jajan kasih saja, ya?" ucap Papah kepada pemuda itu yang aku kira adalah kakak kelasku dari Osis.

"Hahaha. Siap, Pak" ucap pemuda itu seraya tertawa lepas karena gurauan Papah dan Papahpun ikut tertawa.

"Hati-hati, dia masih suka ngompol" ucap Papah kepada pemuda itu sembari menunjukku dan pemuda itu tertawa puas mendengarnya. Bukan hanya pemuda itu saja yang tertawa, bahkan teman-temannya yang lainnya yang mendengarpun ikut tertawa dan menghampiri kami.

"Bener, Dek masih ngompol?" tanya pemuda itu kepadaku entah untuk memastikan atau sekedar gurauan. Tapi itu berhasil mempermalukanku.

"Bohong, kak." ucapku membela diri walau sesungguhnya aku memang masih sering kencing ketika tidur. Dan semua yang mendengarnya tertawa dengan serempak dan begitu puas.

"Bener, ah!" ucap Papah kemudian semua orang yang berada bersama kami tertawa lebih keras dan menggema. Setelah sedikit pertikaian kecil antara aku dengan Papah perihal kencing ketika tidur, Papahpun akhirnya pergi berangkat ke tempat kerjanya.

Perkemahan ini dilaksanakan selama tiga hari. Yang mengikuti acara ini hanya seluruh siswa angkatanku, Osis, anggota Pramuka, dan guru-guru saja.

Apel pagi telah dilaksanakan, kami semua selanjutnya menuju kelas yang akan dijadikan tempat istirahat kami yang telah diatur posisinya antara satu regu dengan regu yang lainnya.

Sangatlah wajar jika kami semua dari angkatanku masih canggung antara satu dengan yang lainnya. Mungkin aku salah satu tipe manusia yang mudah beradaptasi dengan lingkungan atau manusia baru sehingga tidak menyulitkan aku untuk hidup bersosialisasi dengan mudah.

Acara demi acara telah kami lewati di Perkemahan ini. Acara yang diselenggarakan oleh sekolah ini begitu menyenangkan bagiku. Kami seolah dihibur dan dimanjakan, tetapi tentunya kami juga mendapat banyak ilmu, pengalaman, dan kedisiplinan yang lebih.

Dengan waktu yang cepat, aku sudah mendapatkan banyak teman dari berbagai kelas. Mungkin karena aku yang memulai perkenalan terhadap mereka terlebih dahulu.

"Shana, nanti kita sebangku, ya?" ucap Inka ketika waktu istirahat tiba setelah menyelesaikan beberapa acara. Inka adalah teman baruku yang berasal dari luar kota.

"In Syaa Allah, Inka." ucapku seraya tersenyum ramah. Sebenarnya aku bingung harus menentukan sebangku dengan siapa karena bukan hanya Inka yang ingin sebangku denganku. Beberapa temanku yang lainnya pula banyak yang meminta sebangku denganku.

"Pokoknya harus, Shana! Aku tidak punya teman lagi. Ya, Shana? Janji, ya?" Inka bersikuat memelas padaku dan aku tidak bisa berkata selain iya.

Inka berteriak kegirangan seperti anak kecil yang mendapatkan apa yang ia mau. Aku suka dengan karakter seperti Inka yang tidak pemalu seperti yang lainnya. Selain itu, Inka pandai menghargai perasaan orang lain.

Jika aku sudah bersama Inka, maka kami seperti sepasang sahabat yang masih kanak-kanak. Mungkin penyebabnya dari kesamaan karakter kenakak-kanakan antara aku dengan Inka yang menjadikan kami nyaman ketika bersama.

Waktu istirahat telah berakhir, aku dengan yang lainnya bersiap-siap untuk penjelajahan. Selain mempersiapkan keperluan untuk diri sendiri, sebagai ketua regu akupun harus memperhatikan kesiapan anggota reguku.

"Dengar baik-baik, ya? Dipenjelajahan ini kita itu dinilai sama kakak kelas. Selain jawaban soal, kekompakkan kita sama yel-yel kita juga jadi pertimbangan penilaian. Pokoknya kita harus semangat. Biar kita menang. Setuju?" ujar Zahara, salah satu anggota reguku yang lumayan aktif. Sebelum kami berangkat untuk menjelajah, kami bermusyawarah terlebih dahulu dengan membentuk lingkaran.

"Setuju!" ucap kami serempak dengan sedikit berteriak dan menggema membuat teman-teman dari sangga yang lain bersorak ramai untuk menyoraki kami. Dan adu yel-yelpun terjadi antara regu-regu putra dengan regu-regu putri.

Meskipun suasana menjadi ricuh dengan nyanyian yel-yel, kakak kelas dari Osis dan Pramuka tidak menegur ataupun mengamankan kami. Justru mereka tertawa melihati perilaku adik kelasnya yang masih terbilang wajar.

Semakin dibiarkan, suasana semakin ricuh. Bahkan yang semula regu putra dengan regu putri dipisah, kami justru berbaur berantakan dan saling mendorong satu sama lain.

"Woy! kalem woy! Jangan keras sama perempuan! Berani sama perempuan. Banci lo!" teriakku seraya mendorong pundak seorang laki-laki yang mendorongku secara brutal hingga aku nyaris terjatuh.

"Elo cewek-cewek kasar! Sekali tinju juga mampus!" ucap laki-laki berkulit sawo matang yang tinggi badannya sama denganku.

"Gue kubur hidup-hidup, lo baru tau rasa!" tegasku yang mulai emosi kepada laki-laki itu dengan menunjuk-nunjukinya.

"Sudah, sudah! Berhenti!" kak Agung akhirnya berteriak melalui pengeras suara untuk mengamankan kami. Seketika kami semua yang sedang ricuh di lapangan terdiam.

"Awas lo!" ucap pelan laki-laki itu seraya menunjukku dan menjauh dariku. Dan aku hanya melototinya dengan rahang yang mengeras sebab menahan emosi.

"Sabar, Shan. Biarin saja. Orang kayak gitu jangan dilayani" sahut Inka menenangkanku seraya mengusap-usap punggungku pelan dan aku menghela nafas untuk menenangkan syaraf-syaraf yang mulai menegang karena marah.

"Jangan mentang-mentang kalian jadi tamu disini terus kalian bersikap sewenang-wenang! Kalian ingat apa yang Bapak Kepala Sekolah katakan? Sikap buruk kalian waktu di SMP jangan dibawa kesini! Tolonglah jaga sikap!" tegas kak Agung kembali. Dan semuanya diam tak bergeming.

Selama kak Agung meceramahi dan memarahi kami yang sedang berdiri mematung, yang terlihat dilapangan sekolah ini hanya debu yang berterbangan sisa kami ricuh dan angin siang meniup ditengah teriknya sang mentari.

Setelah mendapat kata-kata kemarahan dan nasihat dari sang ketua Osis, kami akhirnya melanjutkan acara seperti semula.

Itulah aku yang kadang kala bersikap kasar jika aku dikasari terlebih dahulu. Aku sama sekali tidak takut untuk berkelahi kendatipun dengan seorang laki-laki. Karena ketika waktu SMP dan SD, aku sering berkelahi dengan laki-laki. Bahkan ketika SD aku pernah nyaris dikeroyok oleh lima laki-laki yang sekelas denganku ketika kelas sedang sepi.

Saat itu aku tak melawan, namun sebelum tangan-tangan mereka berhasil memukuliku, aku berhasil menyelamatkan diri dari mereka.

Aku sering berlatih bela diri sendirian di rumahku. Karena meskipun aku perempuan, aku harus bisa menjaga diri sendiri. Karena kebiasaanku yang ketika mendapat masalah aku lempiaskan dengan meninju-ninju sebuah bantal guling, aku menjadi perempuan yang semakin kasar. Bahkan cara berjalan dan cara bicaraku kata mereka seperti laki-laki.

Walau apapun yang mereka katakan, sekali lagi aku tidak peduli. Mereka menyuruhku untuk menjadi feminim, tetapi aku tidak bisa. Mungkin, karakter ini sudah mendarah daging dalam diriku dan aku nyaman dengan karakter ini.

avataravatar
Nächstes Kapitel