webnovel

Bab 5 : Sang Titisan

  Setelah aksi kebiadaban tersebut rampung terlaksana, La Afi Sangia dan seluruh anak buahnya bergelak tawa dengan sangat pongahnya. Suara mereka sangat riuh-rimpah, seolah-olah mereka sedang menghadiri pertunjukan yang membuat mereka sangat senang!

       Namun sontak mereka menghentikan gelak tawanya, karena tiba-tiba mereka dikejutkan oleh tangis seorang bayi. Seperti dikomando pula, semuanya serentak memalingkan pandangannya ke asal suara tangisan.

       "Oeeekk...oeeeek...oeeek..."

       Salah seorang anak buah La Afi Sangia, yang bernama La Mbere alias Bumi Osu, melangkah ke arah bayi yang menangis. Bayi itu tak lain adalah bayi yang perempuan dari mendiang Galara Tanaru.  Bayi malang yang masih merah itu tergeletak di samping kiri mayat ibunya. Ada satu bayi laki-laki lagi di sebelah mayat ibunya. Tetapi bayi yang laki-laki sudah tak bergerak lagi. Naga-naganya sudah ikut tewas.

       "Ini salah satu dari anak kembar dampitnya kepala desa, Dato!" berkata La Mbere alias Bumi Osu kepada La Afi Sangia dengan tanpa menoleh.

       "Hmm! Satu-satunya yang tersisa! Hua ha ha ha ha..! Kita biarkan bayi itu hidup, kita bawa pulang dia ke Pulau Sangia. Aku akan membesarkan bayi itu, sebagai pengganti bayiku yang baru meninggal, Bumi Osu," berkata La Afi Sangia. "Apa kembarannya masih hidup?"

       La Mbere  alias Bumi Osu mencoba membolak-balikkan tubuh bayi laki-lakinya mendiang galara Tanaru itu dengan ujung jari kaki kanannya. Tak ada tanda-tanda kehidupan pada bayi malang itu.

       "Tampaknya sudah lewat, Dato!"

       "Baiklah! Bawa bayi perempuan itu. Sebelum kembali ke Pulau, kalian bumi hanguskan dulu desa ini..!" perintah La Afi Sangia.

       Perintah dilaksanakan segera. Dengan hanya masing-masing mengiblatkan serangkum pukulan api, seluruh rumah penduduk pun porak-poranda dan dilalap api yang ganas. Kobaran lautan api terlihat hingga di desa-desa yang jauh.

       Hanya butuh beberapa waktu kemudian, desa yang masyhur dengan kejayaan dan kemakmurannya itu benar-benar telah rata dengan tanah, punah dengan menyisakan asap dan nyala di sana sini. Sudah tak adalagi kehidupan di situ. Tak ada lagi cengkerama, gelak tawa, dan denyut kehidupan. Semuanya lenyap ditelan angkara dan keserakahan manusia-manusia biadab.

       Ya, sekejap kejayaan telah menjadi kemusnahan, kebahagiaan menjadi tragedi yang memilukan. Sebuah kebiadaban yang luar biasa telah tercipta di penghujung timur Pulau Sumbawa malam itu!

       Perlu diketahui, La Afi Sangia adalah seorang tokoh dunia persilatan yang beraliran hitam yang sangat ditakuti kala itu, baik oleh para jawara sealiran dengannya maupun oleh para jawara persilatan yang beraliran putih. Ditakuti, tentu karena ia memiliki tingkat keilmuan yang amat sulit diukur ketinggiannya, di samping karena kebengisan dan kebiadabannya. Dia jagat persilatan, ia masyhur dengan julukan "Dato Afi Ta Ele Do" (Dewa Api dari Tenggara).

        Demikian hebat dan bengisnya tokoh hitam yang satu ini, sehingga mendengar atau menyebut namanya saja orang-orang di Kepulauan Tenggara kala itu sudah merinding duluan. Tiada kawan dalam kamus Dewa Api dari Tenggara dan seluruh anak buahnya, yang ada hanyalah lawan! Setiap yang bertentangan dengan mereka, wajib dihukum dan dimusnahkan.

       Tindakan pemusnahan terhadap Desa Tanaru, naga-naganya hanya dikarenakan La Afi Sangia merasa kecewa karena ia tidak diundang dalam acara syukuran dan pesta tersebut oleh sang galara!

       Hal yang sepele sebenarnya. Tetapi rupa-rupanya, hal itu justru dirasakan sebagai sebuah penistaan menurut pikiran La Afi Sangia beserta seluruh anak buahnya.

        Sebenarnaya, La Afi Sangia pernah dibuat tekuk lutut oleh seorang pendekar asing bermata sipit dalam suatu perang tanding yang sangat dahsyat. Sang pendekar yang bermata sipit yang tak lain adalah Dato Hongli itu bisa memaafkannya, karena La Afi berkali-kali menyembah-nyembah mohon ampunan dan berjanji untuk bertobat. Ternyata semua itu hanyalah sekedar sandiwara untuk meloloskan diri dari maut. Karena setelah sang mantan jenderal perang dari kekaisaran Dinasti Ming itu memutuskan diri untuk mundur dari urusan duniawi dan menyepi di suatu tempat yang tak siapa pun mampu melacaknya, La Afi Sangia lantas kembali ke wataknya semula. Bahkan perbuatannya lebih durjana dan biadab dari sebelumnya.

       Tak lama kemudian, La Afi Sangia mengumumkan diri sebagai seseorang yang kedudukannya setingka sangaji (raja) dengan menggelari diri dengan sebutan Paduka Sandaka Dana. Ia pun mengikrakan darinya menjadi pemimpin besar dari segala pendekar dan aliran. Ia menjadikan Pulau Sangiang sebagai pusat kekuasaannya.

         Pulau Sangiang kala itu benar-benar telah ia ubah menjadi sebuah pulau yang paling angker. Ia juga memerintahkan para anak buahnya untuk melakukan perompakan terhadap setiap kapal dagang yang melintasi laut di sekitar pulau tersebut. Kekayaan haram ia tumpuk di pulau bergunung tunggal itu kian hari makin menumpuk.

        Untuk mempertangguh kekuasaannya, La Afi Sangia alias Paduka Sandaka Dana pun merekrut sangat banyak pemuda-pemuda tangguh dan para jawara untuk dijadikan sebagai pajuri (prajurit) angkatan perangnya. Dengan kekayaan yang demikian banyak yang dimilikinya, Negeri Sangiang pun mampu menciptakan sebuah angkatan perang yang sangat besar dan tangguh. Di sekeliling pulau dipasangi meriam-meriam hasil rampasan yang siap untuk ditembaki jika ada kapal asing yang mendekati Pulau Sangiang.

       Kerajaan-kerajaan yang ada di Pulau Sumbawa memang ada yang pernah mencoba untuk menghancurkan kerajaan bayangan Sangiang itu, tetapi selalu gagal. Bahkan mereka pulang dengan membawa kehancuran dan kerugian yang tak sedikit. Banyak kapal mereka yang berhasil ditenggelamkan. Jangankan berhasil menghancurkan kekuatan Negeri Sangiang, untuk mendekati pulau pun mereka tak mampu. Hal tersebut bukan hanya sekali dua kali dilakukan oleh Kerajaan Mbojo yang merupakan kerajaan pemilik wilayah,  tapi sangat sering. Bahkan kerajaan tersebut beberapa kali meminta dukungan pasukan dari kerajaan-kerajaan tetangga dan menggempur dari segala penjuru, namun selalu dapat digagalkan oleh La Afi Sangia. Setelah kegagalan berkali-kali itu, kerajaan-kerajaan itu pun tak pernah lagi datang untuk melakukan hal yang sama. Mereka sudah putus asa, dan mungkin sudah kehabisan dana untuk perang. Demikianlah.               

        Saat matahari pagi telah menerangi jagat, kondisi bekas Desa Tanaru demikian mengenaskan. Mayat-mayat bergelimpangan di mana-mana. Dan kondisi mayat-mayat itu nyaris serupa, yaitu gosong bersama pemukiman mereka yang sudah menjadi abu. Kepulan dan sisa-sisa api masih terlihat menyala di sana sini.

       Dan, entah dari arah mana datangnya, tiba-tiba sesosok manusia yang berusia empat puluhan tahun, berkulit putih, bermata sipit, tetapi jenggot dan kumis panjang telah memutih laksana sutera, seputih rambutnya yang tergelung dan diikat dengan semacam pita putih yang cukup lebar dan panjang, telah berdiri di tengah-tengah bekas perkampungan itu.

       "Haiya,  benar-benar manusia biadab La Afi Sangia! Aku benar-benar merasa berdosa telah memaafkannya dulu! Biadab keparat!" gumam laki-laki yang tak lain adalah Dato Hongli itu geram. Ia menggeleng-geleng pelan sembari mengusap-usap janggutnya yang panjang sedada.

       Sejauh mata memandang yang tampak hanyalah  pemandangan yang mengenaskan yang tersaji. Berkali-kali Dato Hongli menggertakkan giginya sehingga tulang rahangnya menonjol di pipi tuannya yang tampak kokoh itu. Kulitnya yang putih berubah merah saga akibat menahan amarah yang sangat. Rupanya dirinya adalah manusia pertama yang hadir di medan pembantaian itu, karena tiada seorang pun warga dari desa-desa sekitar yang tampak di situ.

       Keadaan di sekitar itu demikian lengang. Entah masyarakat di desa-desa sekitarbelum tau peristiwa itu, atau mereka merasa ketakutan untuk hadir di tempat itu. Tentu siapa yang tak merinding dan kecut nyalinya terhadap La Afi Sangia, sehingga mereka tidak berani untuk datang ke situ.

       "Tapi bagaimana pun, mayat-mayat ini harus dikuburkan," guman Dato Hongli lagi seolah-olah kepada dirinya sendiri.

       Untaian semacam tasbih yang berukuran cukup besar tak berhenti berputar di tangan kanannya. Kakinya terus melangkah pelan dan hati-hati, sembari matanya mengamati hati-hati setiap mayat, mengharapkan kemungkinan masih adanya yang masih hidup.

      "Hmm, tampaknya semuanya telah tewas. La Afi Sangia benar-benar manusia yang sangat biadab! Anak-anak dan wanita pun dibantai tak tersisa! Haiya...!"

        Kepala Dato Hongli tak henti-hentinya menggeleng pelan demi menyaksikan bekas aksi kebiadaban manusia yang bernama La Afi Sangia dan para anak buahnya itu.

       Pada saat Dato Hongli berjongkok, hendak memeriksa sesosok mayat yang nampaknya masih utuh, tiba-tiba telingannya menangkap suara 'greek' yang halus. Seperti suara nafas lemah bayi yang hendak menangis. Serta merta ia memasang telinganya baik-baik dan menoleh.

       Naga-naganya suara kecil itu berasal dari sebelah kanan, arah barat. Segera sang dato mendatangi asal suara itu, dan berharap itu adalah suara kehidupan. Di situ ia mendapati begitu banyak mayat yang bergelimpangan. Tapi rata-rata mayat-mayat itu dalam kondisi nyaris tak berbentuk karena terbakar dan gosong.