webnovel

Idola Para Lansia

Tiga hari kemudian.

Felicia memoleskan sedikit lipstik warna pink rose ke permukaan bibiranya. Mengecap beberapa kali untuk meratakan ke seluruh bibir. Entah sejak kapan ia mulai memoleskan make up tipis pada permukaan wajahnya yang dahulu selalu polos.

"Cara pakainya gimana sih?" Felicia mengambil alat catok rambut yang baru saja ia beli lewat online. Entah kesambet setan apa, ia membeli banyak sekali alat make up dan juga hair styling tools. Mungkin stress pasca amukan sang Papa membuatnya melampiaskan tumpukan hormon kortisol itu dengan berbelanja.

"Aduh panas," tukasnya saat tak sengaja menyentuh ceramik plate pada alat curly.

"Gimana sih? Susah amat?? Coba buka yutupe." Felicia mengambil ponsel, banyak video dari beauty blogger yang kini bertebaran di jagad maya dan bisa memberi pengetahuan bagi orang awam sepertinya untuk belajar sesuatu. Termasuk caranya mencatok rambut.

"Oh, gitu caranya. Ambil dulu sebagian, capit, gulung, lalu tarik ke bawah." Felicia menonton sambil praktek secara langsung. Rambutnya yang hitam lurus mendadak berubah curly.

"WAH!! Gue bisa!!" Felicia berseru kegirangan, ia langsung mengulangi cara yang di ajarkan oleh yutuper ke semua bagian rambutnya.

Pertama kalinya bagi Felicia untuk menata rambutnya sendiri tanpa bantuan Jessca. Rangga melarang Felicia berteman dengan Jessca karena mengaggap Jessca membuat putrinya terkena dampak buruk. So, Felicia menjauhi Jessca untuk sementara waktu agar sahabatnya itu tidak menjadi sasaran negatif thingking sang Papa. Yah, sampai perasaan papanya mereda dan Felicia ada uang untuk membeli apartemen sendiri.

"Pakai apa kita hari ini?? Hm … ini aja ah." Ia memilah baju di dalam lemari. Hari ini rok span hitam, blouse lilac dengan rampel di bagian dada agar asetnya yang indah terlihat menonjol. Lalu dipadukan dengan anting pipih panjang. Terakhir, tad sling bag dan sepatu heels tinggi lima cm ber warna senada dengan roknya.

Puas mematut diri di depan cermin. Felicia bersenandung sembari merapikan kembali rambut dan juga make up. Untuk sentuhan terakhir dari penampilannya, ia akan menggunakan soft lens. Felicia kini sangat bergantung dengan benda tipis itu untuk melihat dengan jelas.

"Wah, cantiknya Non Cia. Mbok ya dandan cantik gitu dari dulu to, Non." Bibi Parmi masuk ke dalam kamar Felicia untuk membersihkan kamar.

"Ah, Bibik bisa aja!" Felicia terkikih dengan pujian asisten rumah tangga yang sudah ikut selama puluhan tahun di kediaman Atmadja.

"Kalau dandan gitu, Non Cia persis banget sama mendiang Bu Ferra, cantik, anggun, dan telihat bersinar. Kemana-mana itu kayak muncul cahayanya gitu, silau. Kalau orang desa bilang, namanya 'Pamor'e Metu', Non." Wanita paruh baya itu bertutur sembari menebah kasur dan melipat selimut. (Auranya Keluar).

"Beneran, Bik?"

"Bener, Ibu itu selalu jadi pusat perhatian ke mana-mana ia pergi. Sampai Bapak tu cemburu, hahaha," tawa renyah Parmi membuat Felicia ikut senang. Hatinya berbunga-bunga bisa mendengarkan kenangan indah akan sosok wanita yang telah melahirkannya ke dunia ini.

"Ah, jadi kangenkan sama mama." Sayang, Felicia hanya bisa melihat sosoknya di album-album foto.

"Non, sudah mau kerja? Nggak sarapan dulu?"

"Nggak, Bik. Males."

"Jangan males donk, Non. Bu Anjani sama Neng Fio sudah pergi pagi-pagi tadi kok. Katanya mau cek dekorasi pelaminan." Parmi tahu apa yang ada di dalam hati Felicia, pasti kedua orang wanita ular itu yang membuat Felicia malas turun dan berkumpul dengan keluarganya. Parmi adalah wanita yang mengasuh Felicia saat mamanya meninggal jadi ia paham dengan sikap dan juga perasaan Felicia.

"Kalau Papa dimana?"

"Bapak di ruang kerjanya, bersihin alat golf."

"Oh gitu." Felicia mengangguk paham. Hubungannya dengan sang ayah juga meregang semenjak hari itu, bahkan sampai detik ini baik Rangga maupun Felicia belum bertegur sapa.

"Bibik ambilin sarapan, ya, Non."

"Enggak usah, Bi. Cia berangkat dulu ke Rumah Sakit. Sudah siang." Felicia menyahut tasnya dan bergegas meninggalkan kediaman Atmadja. Entah kenapa rasanya begitu lega saat bisa menapakkan kaki keluar dari rumah. Rumah yang seharusnya nyaman itu nyatanya terrasa begitu menyesakkan bagi Felicia.

.

.

.

Saat yang sama, Mirielle Hospital.

Reyhan terlihat berdiri di samping kursi roda sang ayah, sementara Sony mendorong Bisma memasuki gedung MIR, untuk cek up jantung. Hari ini mereka sudah membuat jadwal kontrol dengan dokter spesialis jantung terkemuka.

Mendengar pengakuan Reyhan yang memutuskan Felicia membuat penyakit jantung Bisma kumat. Mau tidak mau, pria itu harus menjalani rawat inap beberapa hari dan kemudian dokter melanjutkannya dengan rawat jalan dan cek up tiap satu minggu sekali. Dan kebetulan sekali hari ini jadwal cek upnya.

"Bukannya Felicia juga bekerja di sini??" tanya Bisma. Reyhan berdehem sebelum menjawab, "Iya, Pa."

"Kenapa Papa nggak pernah bertemu dengannya? Berpapasan pun tidak?" Bisma rindu dengan Felicia, mantan calon menantunya itu sangat hangat pada pria berumur sepertinya, idola para lansia sesuai julukan Jessca pada Felicia.

"Kita di sayap kanan bangunan, Pa. Tempat untuk pasien VIP. Felicia bekerja di sayap kiri, untuk pasien regular," jawab Reyhan.

"Ah begitu." Bisma terpaksa mengurungkan niatnya untuk bertemu dengan Felicia.

"Sudah, ayo cepat kita jalan. Nanti nomor antrian Papa kesrobot orang lain. Bukankah Papa bilang tak ingin menunggu lama karena ada meeting siang ini?" Reyhan mengalihkan pembicaraan, ia sangat tidak nyaman bila sang Ayah mulai mengungkit keputusan Reyhan membatalkan pernikahannya dengan Felicia.

Saat pintu lift hampir menutup, tiba-tiba seruntut jemari ramping mencegahnya. Pintu Lift kembali terbuka.

"Maaf, maaf, saya sedang mengerjar waktu. Sekali lagi maaf." Pintanya dengan sopan saat lift terbuka. Dengan senyum manis terpatri di wajah ayunya, gadis itu mengangkat kepala dan …

"Eh??" Senyumannya pudar seketika saat pandangan matanya bertemu dengan para pengguna lift yang lain. Tatapan mereka saling mengunci sesaat, bahkan matanya semakin melebar tak kala melihat sosok yang pernah begitu melekat di kehidupannya dulu sedang berdiri di hadapannya.

"Cia??" Reyhan terbelalak.

"Rey …. han."

********

Wah … pasti canggung sekali ya Cia ^^

Nächstes Kapitel