webnovel

SHEILA : Skate Love

Memberanikan diri dan merelakan hatinya jatuh kepada wanita yang acuh, dingin dan bermental baja? Ya. Itulah yang dilakukan seorang lelaki yang tidak pernah tahu bagaimana rasanya menjomblo. Ilham Satyanara. Lelaki tampan yang dikagumi oleh banyak kaum hawa, namun tidak pernah membuatnya menjadi seorang playboy atau bahkan mempermainkan hati wanita. Baginya, satu wanita saja cukup. Dan hanya satu yang harus ia bahagiakan. Bagi Ilham, dengan mudah mendapat dan mengambil alih hati wanita. "Nggak ada satu pun cewek yang mampu menolak pesona seorang Ilham" Kata-kata mutiara yang selalu ia lontarkan untuk membanggakan dirinya sendiri. Namun, memang benar adanya. Sayangnya, kata-kata mutiara tidak berguna dan tidak terpakai sama sekali ketika ia bertemu dengan seorang wanita yang dua tahun lebih tua di atasnya. Sheila Aksadana Setyaningrum. Gadis tomboy yang memiliki kharisma terpendam, namun enggan untuk membalas cinta Ilham. Sheila adalah seorang gadis yang memiliki hobi bermain skateboard. Ia senang hidup di atas panasnya aspal dan berbaur dengan para lawan jenis yang satu hobi. "Terus, kalo lo ganteng, bakal bikin gue cinta gitu sama lo? MIMPI!" Tapi tidak ada kata menyerah dalam kamus Ilham. Ia terus saja berusaha mencari cara untuk bisa mengambil hati Sheila. Sampai ia rela berlatih skate, hanya untuk menyeimbangi hobi Sheila yang sebenarnya sulit ia lakukan. (Halo.. Ini adalah karya keduaku. Semoga kalian suka, yaa! Jangan lupa review dan tinggalkan komen kalian!.) Cover by : @JieunDesign

Fenichaan · Teenager
Zu wenig Bewertungen
321 Chs

Hangatnya Sebuah Pelukan.

"Sayang, kamu ada urusan apa? Kamu nggak ketemu sama orang lain, kan? Kamu nggak ngekhianatin aku, kan?."

DEG!

"Emang, ya. Batin seroang pacar itu bener-bener kuat," batin Aji.

"Nggak, Sayang. Tadi aku ada urusan soal keluarga aku. Adik aku minta dikirim uang, makanya aku pergi ke ATM sebentar."

"Oh, gitu. Ya udah syukurlah. Aku kira kamu selingkuh dari aku."

Tak bisa dipungkiri. Aji sebenarnya merasa bersalah dan tidak enak karena telah berbohong pada Brama. Tapi ia juga tidak mungkin berkata jujur, bahwa ia telah bertemu dengan seseorang yang sangat mengharapkan putusnya hubungan mereka.

Tuk.. Tuk.. Tuk

"Itu kayaknya makanan kita. Aku ambil dulu, ya," ujar Aji sebari beranjak.

***

Sheila bangun dari tidur siangnya dengan wajah segar dan mood yang baik. Ia meregangkan otot-otot tubuhnya dengan beberapa gerakan.

"Langsung mandi aja deh. Udah sore juga, terus packing," seru Sheila dengan semangat.

Gadis itu berjalan dengan sebari bersenandung kecil. Mengambil handuk dan melakukan ritual mandi seperti yang biasa ia lakukan.

Di bawah, tepatnya di ruang keluarga. Ratna dan Farel tengah duduk sebari bermesraan.

"Pa, akhirnya Sheila bersikap baik lagi sama Mama," ujar Ratna yang tengah menyandarkan kepala di pundak Farel.

"Iya, Ma. Kita hanya perlu mengerti Sheila. Karena orangtua adalah sekolah, teman, dan tempat untuk dia kembali."

Ratna mengangguk pelan. Ia menyandarkan kepala lebih dalam lagi, menikmati waktu berdua yang sangat jarang terjadi.

Namun selang beberapa menit, ponsel Farel berdering sangat nyaring. Membuat Ratna mengangkat kepala dari sandaran ternyaman selaman hidupnya.

"Siapa, Pa?," tanya Ratna dengan mata yang sedikit memicing.

"Mas Wisnu. Ada apa, ya? Tumben banget dia telpon aku," jawab Farel.

Pasalnya, sangat tidak biasa jika kakak kandungnya itu menghubungi dirinya dengan sengaja atau hanya sekadar basa basi.

Paling tidak, Wisnu akan membahas hal penting soal pekerjaan atau menegur Farel ketika ada masalah di Aksadana Corp.

"Udah kamu angkat aja. Siapa tahu penting."

Farel mengangguk dan menurut.

"Halo, Mas."

"Halo, Farel. Kenapa lama banget angkat telponnya?," tanya Wisnu di seberang sana. Terdengar dari nada bicaranya kalau laki-laki itu sedikit kesal.

"Maaf, Mas. Tadi saya lagi di kamar mandi."

"Ok, gak masalah. Mas telpon kamu cuma mau tanya. Apa kamu tahu kalau Sheila mau nyusul Aksa ke Bandung?."

Farel melirik Ratna yang berada di sampingnya untuk beberapa detik.

"Tahu, Mas. Tapi sebelum itu, kami sekeluarga mau pergi dulu ke New York. Setelah dari New York, Sheila nyusul Aksa ke Bandung," jelas Farel sambil merubah posisi duduknya.

"Baiklah. Mas hanya memastikan. Takutnya dia kabur dari kamu dan Ratna," jelas Wisnu.

"Nggak, Mas. Mas tenang aja. Sheila udah baik dan nurut sama kami."

Sheila memang terkenal nakal di seluruh keluarga besarnya. Hal itulah yang membuat kakak dari orangtua nya merasa khawatir, karena takut jika keponakan perempuannya berniat untuk melarikan diri.

"Oke. Kalau gitu. Mas tutup ya telponnya, salam buat Ratna."

"Iya, Mas. Salam juga buat mbak Arumi."

Panggilan mati. Farel kembari menaruh ponselnya sambil menghembuskan napas lega.

"Apa katanya Pa?," tanya Ratna yang baru saja melihat ekspresi suaminya.

"Mas Wisnu tanya, apa iya Sheila mau pergi ke Bandung, ke tempatnya Aksa."

"Terus?."

"Aku jawab iya. Tapi setelah kita pulang dari New York."

"Tapi kan Sheila belum ada ijin sama kita, Pa," kata Ratna.

"Nggak apa-apa. Papa yakin, kalau Sheila udah ngomong duluan ke Arumi atau Wisnu."

"Tapi kan kita orangtua nya, Pa. Masa dia gak ijin sama kita?."

"Kata siapa? Ini Sheila mau ngomong sekaligus minta ijin."

Farel dan Ratna sontak menoleh secara bersamaan.

"Sheila," gumam mereka setelah melihat sang putri yang tengah berada di ambang pintu. Dengan setelan baju tidur motif sapi yang sangat menggemaskan.

"Papa sama Mama pasti kaget, kan? Karena aku tiba-tiba mau ke Bandung tanpa ijin dari kalian?," ujar Sheila sebari melangkah, menghampiri kedua orangtua nya.

"Iya, Sayanh. Tadi om Wisnu telpon, katanya kamu mau ke Bandung nyusul Aksa," sahut Ratna yang segera merangkul putrinya duduk.

"Iya Ma, Pa. Aku mau ke Bandung, ke tempat Aksa. Tapi setelah pulang dari New York, kok."

"Papa sih nggak masalah. Toh, kamu di Bandung sama Aksa. Kakak kamu sendiri," ujar Farel.

"Ya, kalau Papa setuju, berarti Mama juga harus setuju,"

"Yes!," seru Sheila.

"Mama kira kamu becanda mau nyusul Aksa."

"Beneran lah, Ma. Mana mungkin aku becanda," ucap Sheila sebari meraih toples yang berisi kue kering di atas meja.

"Tapi inget pesen Mama, ya. Jangan ngerepotin Aksa."

"Siapa, Ibu bos!."

Sheila hormat kepada kedua orangtua nya. Membuat Farel dan Ratna memeluk sang putri dengan gemas.

Gadis itu tersenyum lebar. Setelah sekian lama ia tidak merasakan pelukan sehangat ini.

"Gue seneng banget. Ternyata jadi anak yang baik menyenangkan juga."

***

Malam pun tiba. Sheila tengah merapikan beberapa barang yang akan ia bawa ke New York.

Pakaian, adalah barang wajib yang harus ia bawa. Kopernya sudah terisi penuh, hanya tinggal koper kecil yang akan ia isi dengan beberapa boneka dan perlengkapan perawatan tubuh dan wajah.

"Ah.. Akhirnya selesai juga," gumam Sheila sebari merebahkan tubuh di atas kasur berukuran besar miliknya.

"Brama ke mana, ya? Kok gak ada kabar. Tumben banget."

Gadis itu meraih ponsel yang sepi sunyi sejak siang hari.

"Kok gak di angkat, sih? Dia lagi di mana? Padahal gue pengen telponan kayak tadi pagi."

"Eh, kenapa gue jadi bucin gini, sih? Gak! Gue gak boleh jadi budak cinta. Gue harus wajar dalam mencintai Brama."

Meski begitu, Sheila tetap menghubungi Brama. Bagaimanapun juga ia harus memberi tahu kekasihnya itu bahwa ia akan berangkat esok hari.

"Halo, Ma," sapa Sheila setelah panggilan terhubung.

"Halo, Sayang. Kenapa?," jawab Brama.

"Aku mau ngasih tahu, kalau aku berangkat besok abis subuh."

"Iya. Kan kamu udah bilang."

"Hm.. Kamu lagi di mana?," tanya Sheila untuk mengalihkan percakapan.

"Aku lagi di rumah Aji. Kenapa?."

Ya. Sheila memang tahu siapa Aji. Dia adalah teman sekaligus sahabat Brama yang selalu menemani lelaki itu kemana pun ia pergi.

Terlebih lagi Brama sering menginap di tempat Aji, saat ia memiliki masalah dengan keluarganya.

"Oh, kamu mau nginep di rumah dia?."

"Enggak, Sayang. Nanti aku juga pulang, kok."

"Ya udah, deh. Aku tutup dulu ya telponnya."

"Iya, Sayang. Selamat tidur. I love you."

Sheila tersenyum kecil, namun tidak menjawab apapun. Ia lebih memilih untuk mematikan panggilan secara sepihak.

"Kenapa perasaan gue gak enak, ya? Brama sering banget nginep di rumah Aji. Apa mereka?...."

"Ah, gak mungkin. Mana mungkin Brama suka sama cowok. Lagian juga, dia kan pacar gue."

Ting!

Ponsel Sheila berbunyi. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal.

"Siapa nih? Nomornya gak ada di hp gue," kata Sheila.

"Ada sesuatu yang lo gak tahu dari Brama."