Mayang mondar-mandir di dalam kamarnya, sebenarnya ia sudah pulih tetapi di depan Asih dan Tari, Mayang masih pura-pura sakit supaya dirinya tidak terbebani dengan kegiatan gotong royong desa. Sejak menyaksikan penyerahan pusaka itu, Mayang semakin panas. Kirana bisa dengan mudah memegang keris pusaka dan bahkan alam mendukungnya, sedangkan dirinya malah terluka saat memegangnya.
Mayang tau, paham, keris itu memang ditunjukkan untuk Kirana. Tetapi di sisi lain, ia juga ingin diakui. Bukan hanya sekedar sebagai pendekar, tetapi juga sebagai wanita yang disegani dan dihormati di desa Halimun.
Mayang berusaha mengurangi kegelisahannya, ia kembali duduk di tempat tidurnya, termenung, matanya menatap kosong pada masa lalu dimana dirinya masih berusia 16 tahun. Pada saat itu ibu Mayang adalah seorang abdi dalem bagian dari pelayan istana, sesekali ia datang menemui ibunya dengan berbagai alasan supaya dapat masuk istana dan bisa melihat Raden Sastra yang tampan.
Unterstützen Sie Ihre Lieblingsautoren und -übersetzer bei webnovel.com