webnovel

REWRITE THE STAR'S

"Kamu adalah kata semu, yang tak jua menemukan titik temu." Arunika Nayanika, gadis cantik pemilik netra hitam legam dan pipi bolong disebelah kiri. Terkenal tidak bisa diam juga asal ceplas-ceplos saat berbicara, membuat gadis itu banyak memiliki teman, meski hanya teman bukan sosok yang benar-benar berarti dalam hidupnya yang disebut sahabat. Gadis yang sering menguncir kuda rambutnya itu adalah gadis yang rapuh. Dibalik sifat bar-bar dan asal ceplosnya, ia memiliki trauma berat dengan segala hal yang disebut 'rumah'. 'Rumah' yang seharusnya menjadi tempat ternyaman untuk kembali, saat dunia menyakiti. Namun tidak, untuk sosok Arunika. Sekolah, menjadi tempatnya melepaskan luka dan trauma pada 'rumah'. Hingga, Tuhan mengirimkan sosok luar biasa bernama Sandyakala Lazuardi. Sosok dingin, ketus, pedas dan misterius. Yang mampu membuat Arunika menemukan arti 'rumah' sebenarnya. Namun, berbanding terbaik. Menurut Sandyakala bertemu Arunika adalah kesialan dalam hidupnya, yang tak seharusnya tertulis dalam lembar cerita.

Mitha_14 · Teenager
Zu wenig Bewertungen
214 Chs

Terpaksa

Goresan 11 ; Terpaksa

----

Setelah melihat keadaan Ibu Ardan yang sudah membaik, kini Arunika dan Sandyakala berjalan kerumah yang bisa dibilang lebih layak dari beberapa rumah yang ada disini.

RUMAH SINGGAH LANGIT

Tulisan besar yang ada diplang saat masuk kedalam bangunan, membuat Sandyakala mengerti jika ini adalah rumah bagi anak-anak yang tidak memiliki rumah.

"Ini 'rumah' gue, tawa dan kesedihan yang mereka rasakan murni tanpa adanya kepura-puraan didalamnya." Arunika tertawa pelan kala ia sudah menaruh kantung pastik berisi baju untuk anak-anak singgah.

"Gue baru tau, lo bisa juga jadi orang baik." Perkataan Sanyakala membuat Arunika kembali tertawa, kini lebih lepas. Entah mengapa, ada rasa hangat yang menjalar dihatinya kala melihat senyum milik Arunika.

"Gue juga manusia yang juga punya sisi baiknya, maybe." Arunika kembali berucap setelah tawanya berhasil ia redam, dengan akhir nada ragu-ragu dengan perkataanya.

"Ikut gue yuk, gue tunjukin sesuatu."

Arunika berjalan terlebih dulu, setelah menaruh katung plastik ditangannya

Sandyakala mengikuti sosok perempuan itu yang membawanya kearah beberapa sudut rumah singgah.

"Gue bangun rumah singgah ini satu tahun yang lalu. Waktu itu, gue ngerasa kalau hidup ini nggak adil karena ngambil kak Gina sekaligus ngambil kasih sayang keluarga gue, dari gue." Arunika menghela nafas.

Rumah yang semulanya jadi tempat hangat, sekarang jadi tempat dingin yang nggak pernah mau gue pijakin lagi. Tuntutan Papa dan Mama yang harus sama seperti kak Gina, entah dalam keadaan sadar atau enggak. Gue bawa mobil disaat hujan deras dan bodohnya gue berharap ada mobil yang nabrak gue, ternyata nggak ada."

Gue milih untuk berhenti dipinggir jembatan," Arunika menunjuk jembatan yang terlihat dari rumah kolong, membuat Sandyakala melihat kearah dimana perempuan itu menunjuk.

Gue nggak perduli sama baju gue yang basah dan rasa sakit ditangan gue, karena goresan yang gue sendiri buat. Sampai pikiran itu muncul, pikiran dimana gue mau ngelenyapi diri gue dari dunia." Arunika menjeda perkatanya, mengapus diam-diam air mata yang juga tanpa ia harapkan jatuh. Meski begitu, Sandyakala tetap melihatnya lewat ekor matanya.

Ardan bawa Ibunya pakai gerobak dan teriak minta tolong, disaat itu gue yang denger dan hampir naik kepembatas jembatan urung buat ngelanjutin dan memilih buat bantu Ardan dan Ibunya. Sejak saat itu, gue kenal temen-temen Ardan yang nggak seberuntung Ardan karena masih punya kedua orangtua. Sampai akhirnya, gue milih bangunin rumah singgah ini dan beli tanah ini buat mereka."

Arunika menatap Sandayakala yang menatap kearahnya.

"Sorry, gue cerita cuman mau bagi pengalaman maybe, jadi jangan anggap gue perempuan lemah ya." Arunika tersenyum dan meninggalkan Sandyakala yang masih setia ditempatnya tanpa bergeming.

Wanita dengna usia empat puluh tahun, mendekati Sandayakala membuat laki-laki itu menatap Ibu Ardan dan tersenyum sopan.

"Ibu kenapa kesini Bu, apa ada yang bisa Sandyakala bantu?" Sandyakala menatap wanita yang sudah tak lagi mudah itu, tersenyum hangat kearahnya.

"Nggak papa Nak Sandykala, Ibu udah baik-baik aja kok."

Ibu Ardan menatap Arunika, membuat Sandyakala ikut memperhatikan kemana arah mata wanita yang sudah tidak lagi muda itu melihat.

"Arunika itu anak yang baik sebenernya, dia kaya gini karena dunia yang menyuruh buat tegar. Ibu sampai kaget dia bawa laki-laki kesini, karena sebelumnya dia selalu sendirian kesini. Ibu tau, kalau Arunika sudah menemukan kebahagiaanya dan kamu sosok terpercaya itu yang Arunika kasih akses masuk kedalam hidupnya." Setelah mendengarkan perkatan milik Ibu Ardan,

Sandyakala memperhatikan sosok Arunika, yang sedang sibuk bermain dengan anak-anak singgah. Tawa yang benar-benar tidak pernah ia lihat, berbeda dari tawa bebas waktu itu disekolah.

***

Matahari sudah tidak lagi berdiri temapt diatas sana, panasnya pun sudah tidak lagi sepanas saat Arunika menjajahkan koran dipinggir jalan, bersama Ardan.

"Kak Arunika, kapan-kapan main dong sama aku kerumah Bang Kala, Mami pasti seneng deh ada perempuan yang bisa bikin Bang Kala takluk." Hana memperhatikan Arunika, yang sedang sibuk menuang bubur didepannya.

"Aku udah ketemu sama Mami, kemarin malam. Kalau kesana lagi, aku nggak enak." Hana tertawa pelan dengan ucapan polos kakak yang sudah berumur delapan belas tahun didepannya ini,.

"Kakak nggak tau sih, Bang Kala tiap jam ditanyain terus kapan kak Arunika main, aku aja yang baru sampai dirumah, sampe bingung kak, siapa sih kak Arunika itu. Eh, ternyata bener apa yang dibilang Mami kalau kak Arunika emang seru." Arunika menatap Hana dan tertawa pelan.

"Kamu jangan nyanjung aku, nanti kalau aku terbang nggak ada yang bisa peganging."

"Nanti Bang Kala yang pegangin kakak, tenang aja."

Dan detik itu, mereka berdua tertawa bersama. Tanpa keduanya sadari, jika sejak tadi Sandyakala tak berhenti menatap keponakan dan sosok yang menyebalkan itu sangat dekat sekai, diambang pintu dapur yang tidak terlalu besar milik rumah singgah ini.

Deringan panjang dihandphone milik Arunika, membuat gadis itu menaruh bubur kesekian yang sudah ia taruh dimangkuk.

Tubuhnya menegang kala, melihat kontak siapa yang tertera disana, ia menatap Hana yang juga menatapanya, gadis itu merubah raut wajahnya dengan wajah gembirnya.

"Hana aku mau ngangkat telfon Papa dulu ya." Hana mengangguk antusias, dan mulai mengganti pekerjaan yang Arunika tinggalkan karena ia ditelfon oleh sang Papa.

Arunika berdiri jauh dari rumah singgah, gadis itu melihat kesekitar menurutnya aman tidak ada siapapun yang akan melihat atau bahkan mendengar percakapannya.

"Halo, Pa." Arunika membuka suaranya, kala tombol hijau sudah gadis itu geser.

"Pulang sekarang." Suara Papanya dingin.

"Tapi Pa, aku lagi dirumah singgah." Gadis itu berusaha membuat Papanya mengerti.

"Kamu pikir Papa nggak tau? Bediri dilampu merah menjajahkan koran, gimana bisa kamu dengan mudahnya menurunkan citra baik keluarga Nabastala?! Kamu kekurangan uang?! Papa bisa kasih! Berapa yang kamu mau? 1 miliyar?" Arunika sedikit menjauhkan handpnone dari telinganya karena suara nyaring Papnya, ia memejamkan mata.

"Pulang sekarang, Papa mau kamu makan malam dengan anak dari keluarga Baswara." Sambungan terputus. Arunika menghela nafas, ia memijit pelipisnya.

Setelah dirasa cukup untuk mengatur kesedihannya, supaya orang-orang didalam rumah singgah tidak perlu meihatnya sedih, gadis itu berbalik. Matanya membulat sempurna sebelum akhirnya raut wajah gadis itu berubah dingin.

"Sejak kapan lo disana?" Tanya Arunika dingin.

"Gue harap, lo dengerin perkataan gue."

Sandyakala kembali masuk kedalam rumah singgah dan meninggalkan Arunika yang hanya bisa menghela nafas.

"Kamu nggak tau Sandyakala, hidup ku sudah Papa kendalikan."

***

Arunika menatap makanan didepannya tanpa minat, ia hanya mengaduk-aduk makanan itu.

"Mau gue pesenin yang lain?" Alterio menatap Arunika, membuat gadis itu menggeleng.

"Kenapa sih, lo mau menerima perjodohan ini? Gue sukanya sama Sandyakala asal lo tau." Arunika menatap dingin Alterio.

Tanpa Arunika sadari, jika tangan laki-laki itu sudah terkepal dibalik meja menyembunyikan rasa kesalnya.

"Jadi miracle buat lo."

••••