webnovel

REWRITE THE STAR'S

"Kamu adalah kata semu, yang tak jua menemukan titik temu." Arunika Nayanika, gadis cantik pemilik netra hitam legam dan pipi bolong disebelah kiri. Terkenal tidak bisa diam juga asal ceplas-ceplos saat berbicara, membuat gadis itu banyak memiliki teman, meski hanya teman bukan sosok yang benar-benar berarti dalam hidupnya yang disebut sahabat. Gadis yang sering menguncir kuda rambutnya itu adalah gadis yang rapuh. Dibalik sifat bar-bar dan asal ceplosnya, ia memiliki trauma berat dengan segala hal yang disebut 'rumah'. 'Rumah' yang seharusnya menjadi tempat ternyaman untuk kembali, saat dunia menyakiti. Namun tidak, untuk sosok Arunika. Sekolah, menjadi tempatnya melepaskan luka dan trauma pada 'rumah'. Hingga, Tuhan mengirimkan sosok luar biasa bernama Sandyakala Lazuardi. Sosok dingin, ketus, pedas dan misterius. Yang mampu membuat Arunika menemukan arti 'rumah' sebenarnya. Namun, berbanding terbaik. Menurut Sandyakala bertemu Arunika adalah kesialan dalam hidupnya, yang tak seharusnya tertulis dalam lembar cerita.

Mitha_14 · Teenager
Zu wenig Bewertungen
214 Chs

Perhatian Alterio 2

Goresan 19; Perhatian Alterio 2

"Perasaan yang nyatanya bisa saja ku perlihatkan. Namun, aku memilih diam."

- Unknown

----

Laki-laki yang sejak tadi memandang langit-langit kamarnya, tak henti menghela nafas. Dalam keadaan Shirtless dan AC yang dinyalakan, sama sekali tidak membuat rasa gugup laki-laki itu berkurang.

Sudah dua jam lamanya, semenjak Papa dan Mamanya kembali dengan tatapan menyebalkan itu, mereka bertanya dan malah membantu Alterio untuk menjalankan hubungan lebih resmi dengan Arunika. Hubungan macam apa yang Papa dan Mamanya maksud? Padahal mereka sudah berteman, nyatanya. Maksud dari Papanya adalah bertunangan.

Sungguh diluar nalar sekali.

"Gue harusnya seneng, tapi malah kaya cewe yang jatuh cinta gini sih." Alterio menghela nafas.

Ketukan dipintunya membuat Alterio menghela nafas, sebelum akhirnya ia beranjak dan mendekat kearah pintu karena ketukan itu kembali terdengar.

Ngomong-ngomong soal Arunika, gadis itu masih menginap dirumahnya namun ia memilih untuk tidur dikamar tamu yang ada dilantai dasar, gadis itu menjelaskan dengan kebohongan yang ada. Rasanya Alterio ingin memberitahu kebenaranya saja pada sang Papa, tapi sayangnya Arunika mencegah laki-laki itu.

Alterio membuka pintu kamar, sebelum akhirnya ia menutup kuping karena teriakan nyaring milik Arunika. Buru-buru ia membekap mulut gadis itu dengan tangannya.

Membuat Arunika tak hentinya memukul dada bidang kotak-kotak yang Alterio dapatkan dari olahraga mengangkat besi-besi yang Arunika yakini sangat berat itu. Eh, tapi tunggu bukan itu yang menjadi fokus Arunika mengapa rasanya ada gelenyar aneh kala kulitnya bersentuhan dengan dada bidang milik Alterio.

Alterio melepaskan bekapan tangannya pada bibir Arunika, membuat gadis itu menatap tajam kearah laki-laki didepannya itu.

"Bisa nggak sih kalau keluar ya dipakai dulu tuh baju, emangnya di Mansion sebesar ini isinya cuman laki-laki aja apa." Arunika memutar bola matanya malas.

"Ya sorry, gue lupa." Arunika berbalik, menunggu Alterio yang sedang mengenakan bajunya.

"Udah." Tidak sampai semenit Alterio kembali berucap, membuat Arunika berbalik dan menatap laki-laki itu yang sudah kembali menggunakan bajunya.

"Ngapain lo kesini? Masih sakit tapi bisa jalan, gue curiga kalau lo cuman pura-pura aja."

"Gue nggak itu pujian. Tapi, gue kesini cuman mau bilang kalau Tante sama Om nunggu lo dibawah buat makan." Arunika berbalik dan berjalan menuju ambang pintu, belum langkahnya sampai disana. Tiba-tiba saja tubuhya jatuh.

Membuat Alterio panik dan mulai mengedong gadis itu ala bridal style dan membaringkan tubuh mungil dan tidak berat sama sekali itu, keranjang kamarnya.

Setelah mematikan AC dan menarik selimut sebatas dagu gadis itu, Alterio berlari keluar kamar. Wajah pucat gadis itu tidak bisa membohongi bahwa semua tidak sedang baik-baik saja, tapi mengapa gadis itu terus memaksa dirinya untuk bersikap layaknya tidak kenapa-kenapa?

Dasar Arunika!

Alerio yang baru saja keluar menarik sebelah alisnya kala melihat tingkah kembarannya itu, malam-malam begini laki-laki itu berlari, memangnya rumah ini lapangan?

Alterio berhenti didepan Mama dan Papanya yang sedang berbicara santai dimeja makan, menunggu dua anak laki-laki kembar mereka juga Arunika.

"Kenapa Alterio?" Mama tiri Alterio menatap anak tirinya itu dengan tatapan khawatir.

"Arunika pingsan, Ma." Wanita yang sudah tak lagi muda itu berdiri dari duduknya dan mulai berjalan kearah kamar.

"Telfon dokter keluarga kita." Alterio mengangguk dan buru-buru menelfon dokter itu. Sedangkan sang Papa mulai berjalan mengikuti sang Mama untuk ikut menuju dimana Arunika berada.

°°°

Perlahan dua kelopak mata yang tertutup itu, membuka menyesuaikan netranya pada cahaya kamar yang mampu membuatnya mengerutkan dahi.

Tangan kirinya seperti digenggam seseorang, kepalanya melihat kearah kiri, hampir saja ia berteriak kaget kala melihat sosok laki-laki dengan rambut acak-acakan menatap kearahnya.

"Udah bangun? Gue kira lo bakal terus-terusan pingsan atau malah nggak mau bangun buat selama-lamanya." Perkataan sarkas yang keluar dari bibir laki-laki didepannya membuat Arunika menghela nafas.

"Sorry, gue banyak ngerepotin kalian."

Alterio menatap Arunika dengan tangan yang melipat didepan dadanya. Gadis itu menunduk, ia merasakan jika kali ini ia sangat lemah dan mengapa harus ada orang yang melihatnya dalam keadaan seperti ini?

'Gue marah bukan karena lo yang nyusahin, tapi karena gue marah sama diri gue Nay, gue nggak bisa jaga lo.'

Perkataan itu terhenti di tenggorokan Alterio tanpa bisa, laki-laki itu keluarkan. Rasanya memang menyesakan, melihat sosok yang sangat teramat ia jaga malah tidak bisa ia jaga.

"Gue bawain bubur dulu, itu udah nggak panas lagi, sekalian gue bawain obat."

Arunika mendongak, menatap Alterio yang sudah berbalik.

"Udah berapa lama gue pingsan?" Pertanyaan Arunika berhasil menghentikan langkah Alterio.

"Lo udah tau kan berapa lama?" Arunika mengangguk ditempatnya, tanpa Alterio tau.

"Gue emang banyak nyusahin kalian, besok gue balik. Gue nggak mau ngerepotin Bokap dan Nyokap lo lagi."

"Lo keluar dari rumah ini sebelum bener-bener sembuh, gue nggak bakal batalin pertunangan itu." Alterio melangkahkan kakinya, meninggalkan Arunika yang tak bergeming ditempatnya.

"Makasih, Al."

°°°

Laki-laki dengan hoodie hitam yang merekat ditubuh atletisnya berjalan keluar dari Mansion megah, matanya menatap kearah bangunan disampingnya. Bangunan minimalis bertingkat dua yang berdiri berdampingan dengan Mansion bercat putih gading disampingnya.

Sudah dua hari lamanya, Arunika tidak terlihat batang hidungnya. Terakhir mereka bertemu saat masalah diarena skateboard waktu itu.

Sandyakala menghela nafas, mengapa ia jadi memikirkan gadis yang seharusnya tidak perlu ia pikirkan bukan? Arunika Nayanika Nabastala selalu memiliki banyak topeng wajah yang bisa ia gunakan untuk menutupi masalahnya. Tapi, Sandyakala lupa jika perasaan keingintahuan ini bisa saja berubah menjadi perasaan yang merekat entah akan kuat atau tidak.

Langkahnya mendekati Vespa putih kesayangannya.

"Lo kangen juga dicegat sama cewe gila itu?" Sandyakala tertawa renyah, ia menanyakan hal tidak jelas pada benda mati didepannya. Ah iya, ia ingin tahu apakah jika Vespa putih kesayangan Sandyakala bisa berbicara, apakah ia akan mengatakan jika ia begitu rindu pada gadis gila itu?

Suara halus dan khas dari motor Vespa itu, memenuhi pelataran Mansion, pagar terbuka otomatis. Membuat Sandyakala langsung menjalankan motornya menjauh dari Mansion megah dan mulai keluar dari gerbang kompleks.

Malam ini Jakarta terlihat lebih tentram atau lebih tepatnya tidak begitu? Sandyakala menghentikan Vespa nya kala lampu lalu lintas menyalakan lampu berwarna merah.

Ia menatap sosok yang mungkin ia kenali, ah lebih tepatnya ia kenali. Membuat Sandyakala. Membuat Sandyakala memanggil nama anak kecil yang sedang berjalan dengan gitar kecil yang ia peluk, juga bungkus permen didalamnya ada beberapa lembar uang.

"Ardan..."

Mungkin saja, ia bisa tau Arunika dimana dari Ardan. Ya, mungkin saja.

••••