Aku memainkan sumpit di tanganku, tanpa benar-benar menyentuh semangkuk kecil nasi di hadapanku. Panggilan ibuku bahkan tak aku hiraukan.
Rasa kecewa yang aku rasakan begitu amat menganggu, Aku hanya ingin waktu cepat berlalu. Lalu malamnya aku bisa membaca mantra itu dan kembali memutar waktu.
Mencoba lebih banyak cara agar Tsukasa bisa merubah pikirannya.
"Kau tak menghormati mamamu yang sudah susah payah memasakkan sarapan untuk kita?" tiba-tiba suara ayah menyadarkanku dari lamunan.
"Eh?!"
"Kau bahkan tak menghargai petani yang susah payah menanam dan memanen padi ini untuk menjadi makanan kita? bahkan tak bersyukur kepada Tuhan karena telah memberi kita kasih sayang, sehingga kita bisa makan setiap hari?"
Ayahku semakin terlihat kesal denganku. Aku mengerti maksudnya. Ayahku tak suka melihatku memainkan makanan di depan ibuku. Meski sebenarnya ibuku terlihat biasa saja.
Tidak, ibuku tidak terlihat biasa saja. Dia terlihat sedih melihatku yang lebih banyak diam akhir-akhir ini.
"Mama aku minta maaf, bukan maksudku untuk tidak menghargai makanan buatanmu." Aku meraih tangan ibuku yang hangat, menggenggamnya di atas permukaan meja makan.
Ia tersenyum lalu mengangguk, "Mama tahu kau masih sulit mengendalikan emosimu. Mama tidak mau kau memaksakan diri untuk berpura-pura baik-baik saja.
"Terimakasih, aku akan habiskan makanan ini pa." Aku menatap ayahku yang terlihat mulai melunak. rasa kesal telah hilang dari wajahnya.
"Papa tahu hari-hari kemarin sangat berat untukmu. Kami juga merasa sangat sedih, tapi jika kau terus menerus tenggelam dalam kesedihan dan murung di dalam kamar, Tsukasa juga akan sedih di atas sana."
Sedih katanya? Jika Tsukasa akan sedih melihatku begini, lantas kenapa ia memilih cara konyol untuk mati?
Benar-benar tidak bisa aku percaya!
"Aku akan berusaha." jawabku sekenanya, lalu langsung mulai melahap makanan di depanku.
mengunyah nasi, menyeruput semangkuk kecil sup miso buatan ibuku yang selalu terasa lezat.
Aku bisa melihat ayah dan ibuku mulai tersenyum. Ah.. andai saja, Tsukasa masih ada dan makan satu meja dengan kami saat ini.
Rasanya pasti bahagia.
***
Lembar demi lembar halaman buku matematika aku buka, mengerjakan soal yang sekiranya bisa aku mengerti. Sekarang tak ada lagi Tsukasa yang bisa aku tanyai dan aku mintai untuk mengajariku. Aku harus berusaha sendiri.
Suara pintu kamarku di ketuk, aku menunggu sejenak sambil melepaskan headset yang terpasang di telinga. Barangkali saja itu hanya halusinasiku, atau suara benda lain yang mirip dengan ketukan pada pintu. Ternyata suaranya terdengar lagi. Aku beranjak dan membukakan pintu, ibuku sudah ada di hadapanku.
"Ada temanmu di bawah, mama lupa siapa namanya." ibuku setengah tertawa ketika mengingat nama temanku itu. Aku tidak terlalu yakin siapa dia, karena biasanya aku hanya berdua dengan Tsukasa. Meski tidak jarang aku bermain dengan teman sekelas lain.
"Aku akan ke bawah ma," Aku meletakkan headset yang melingkar di leherku lalu turun mengikuti ibuku, tanpa menutup pintu kamar.
Saat aku sudah bisa melihat seseorang di ruang tamu, aku bisa tahu siapa itu.
"Keisuke? ada apa?" pemuda dengan rambut jabrik dan kulit yang lebih gelap dariku langsung menoleh dan bangkit. Tingginya sekitar 178 cm, cukup tinggi sehingga bisa membuatku mendongak ketika bicara dengannya. Dan itu membuatku risih.
Jangan tanya tinggiku! aku tidak sependek itu. Terakhir aku ukur saat pemeriksaan seragam tahun lalu. sekitar 168 cm, mungkin sekarang sudah mencapai 170an entahlah.
"Ada apa?" mengulang kembali pertanyaanku yang tadi belum dijawab Keisuke.
"Aku ingin mencoba mengerjakan tugas musim dingin bersama. Kebetulan aku sedang libur kerja sambilan." Katanya malu-malu, kurasa takut aku tolak mentah-mentah rencananya itu. Sebenarnya aku tak keberatan, mengerjakan bersama-sama artinya punya peluang lebih besar untuk bisa saling memberitahu kesalahan masing-masing. Itu pun kalau Keisuke termasuk orang cermat dan pintar dalam akademis seperti Tsukasa. Kalau tidak, mungkin saja malah dia yang mencontek tugasku.
Yang aku tahu, dia sebenarnya biasa saja di kelas. Lebih hebat dalam olahraga, tapi aku yakin dia bukan orang yang hanya mau menerima hasil jadinya saja.
"Ayo ke kamarku." Aku berjalan mendahuluinya, lalu berhenti di lorong dan melirik ke dapur. Ibuku sedang membuatkan minuman manis dan cemilan untuk kami, "Ma, aku akan belajar bersama dengan Keisuke di kamar ya."
"Oh oke, baiklah." Jawabnya sambil menoleh padaku.
Keisuke sendiri membungkuk cepat lalu mengikuti langkahku kembali, menaiki anak tangga dan sampai di depan kamarku yang memang sejak tadi pintunya terbuka.
Aku meraih meja lipat pendek persegi yang di simpan di sisi ranjang, membukanya di tengah-tengah ruang kamarku, agar Keisuke dan aku bisa menulis di atasnya. Meja ini sering aku gunakan bersama Tsukasa saat kami belajar bersama.
Meja penuh kenangan. Masih ada beberapa tulisan tangan Tsukasa di permukaannya. Beberapa rumus matematika, fisika dan beberapa lainnya umpatan konyol untukku.
Keisuke menyadarinya. Ia tak lantas meletakan buku-buku yang ia bawa di atas meja, masih terdiam menatap tulisan tangan Tsukasa.
"Ada apa Keisuke?"
"Aku turut berduka atas meninggalnya Tsukasa. Dia banyak membantuku belajar matematika." Keisuke menunduk, menatap tulisan tangan Tsukasa tepat di atas meja yang saat ini ada di bawah pandangannya.
'Belajar itu jangan menunggu ada PR!!' begitu isi tulisannya.
Aku tak mau terus menerus larut dalam kediaman yang suram ini. Aku meletakan buku materi yang harus kami kerjakan tepat di hadapan Keisuke. Ia terkejut lalu menatapku penuh kebingungan.
"Ayahku bilang, Tsukasa juga tak akan senang kalau kita muram terus menerus."
"Begitu ya.."
"Aku berterima kasih karena kau sangat peduli dengan Tsukasa. Aku sangat menghargai itu, Keisuke." tak dapat aku pungkiri, aku merasa bahagia saat tahu bahwa ada orang lain selain keluargaku yang merasa kehilangan Tsukasa. Bukan hanya kami yang peduli padanya.
Tatapanku masih fokus pada soal-soal yang saat ini aku kerjakan. Aku tak tahu apa yang sedang Keisuke pikirkan, ia masih terdiam melihatku aku rasa.
"Ada hal yang ingin aku sampaikan padamu." katanya tiba-tiba dengan suara yang berat.
Aku menatapnya, wajahnya begitu serius.
"Apa itu?"
"Aku pernah melihatnya duduk di dekat pembuangan sampah belakang sekolah. Aku tak terlalu ingat Itu hari apa. Saat aku mendekat, dia hanya diam dengan bagitu banyak abu rokok di rambutnya. Aku membantunya bangun dan membersihkan rambutnya.
Lalu dia berkata padaku untuk tidak memberitahukan padamu tentang kejadian ini." wajah Keisuke berubah sedih, "Aku telah melanggar janjiku pada Tsukasa. Tapi aku yakin dengan mengatakannya padamu aku akan merasa lega."
Apa itu?! perundungan? Tsukasa adalah korban Perundungan?!
Tapi kenapa dia tak ingin aku tahu? dia tak ingin aku terlibat dan ikut-ikutan menjadi korban atau memang ada alasan lain?!
Kenapa aku merasa ada yang tidak beres?!
***