Axel kini sudah berada di presidential suite room hotel Rayya. Saat ini, ia tengah duduk dengan menyilangkan kaki kanan dan tangan yang bersedekap di dada. Sedangkan netra kebiruannya tengah intens menatap ke arah pria dengan badan agak sedikit gempal yang berdiri menjulang di depannya.
Sementara itu, pria yang tak lain adalah seorang detektif terbaik di Jakarta, berkali-kali membungkukkan badannya karena ingin meminta maaf atas kegagalannya mencari keberadaan seseorang yang tengah dicari oleh kliennya.
"Mohon maafkan saya, Tuan Axel. Saya gagal mencari keberadaan dari orang yang Anda cari. Karena akibat kecelakaan yang dialami oleh pasangan suami istri itu, sehingga sangat menyulitkan kami untuk mencari keberadaan anaknya yang hilang saat kecelakaan terjadi. Karena saat polisi menemukan jasadnya di sungai, hanya ada pasangan suami istri tersebut yang berada di dalam mobil."
"Polisi pun sudah menegaskan bahwa anak dari pasangan suami istri itu pun tidak mungkin selamat setelah jatuh ke dalam sungai dengan aliran deras itu, Tuan Axel. Jadi, pencarian ini akan sia-sia saja."
Axel masih menampilkan wajah datarnya dan mulai meraih dokumen yang berisi data-data dari keluarga yang dicarinya. Ia mengamati foto keluarga yang terlihat sangat bahagia itu karena senyuman penuh kebahagiaan terpancar dari tiga orang di foto tersebut. Ia meraih Lighter korek bentuk ZIPPO silver shiny satu sisi yang merupakan barang kesayangannya karena merupakan pemberian dari sang kakek.
Kini, Axel membakar berkas-berkas itu dan saat ini hanya abu yang terlihat di atas meja kaca di depannya. Begitu juga dengan selembar foto yang saat ini tengah dipegangnya. Ia kembali menyalakan korek apinya dan membakar foto itu.
Namun, ia hanya menyisakan gambar seorang anak perempuan berusia sekitar sepuluh tahunan yang terlihat tersenyum manis. Seolah foto itu mengungkapkan bahwa kebahagiaan tengah dirasakan oleh anak pada foto yang berada di tangannya.
Kini, tinggal sebuah foto dari gadis kecil itu di tangannya, kemudian ia meraih dompet kulit yang ada di saku belakang celananya dan memasukkan foto itu ke sana.
Degub jantung dari pria yang masih berdiri menjulang dengan peluh yang sudah membanjiri wajahnya, jelas-jelas membuktikan bahwa saat ini tengah dilanda ketakutan yang amat besar karena mengalami kegagalan saat menjalankan tugas dari orang yang bukan merupakan pria sembarangan.
"Maafkan saya, Tuan Axel. Ini adalah kegagalan saya yang pertama dan yang terakhir. Saya janji pada Anda."
Axel sama sekali tidak menanggapi permohonan maaf dari pria yang masih menundukkan kepalanya tersebut. Namun, ia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan mendekati pria di depannya untuk berbisik di dekat daun telinga.
"Belikan aku makanan dan buah apel merah."
Refleks pria yang dari tadi sedang menundukkan kepalanya itu langsung mengangkat kepalanya. "Iya, Tuan Axel. Makanan?"
"Iya, cepat pergi!" Axel mengibaskan tangannya dan berjalan ke arah ranjang king size yang berada di sebelah kanan ia berdiri. Dengan kasar menghempaskan tubuhnya di sana dan memejamkan kedua mata.
Sedangkan detektif itu akhirnya bernapas lega dan buru-buru untuk pergi membelikan pesanan dari pria yang sangat ditakutinya tersebut tanpa berani menoleh ke belakang lagi karena ingin segera keluar dari tempat yang dianggapnya seperti sebuah tempat eksekusi.
Sementara itu, Axel yang saat ini masih berbaring telentang dengan posisi tangan di dahinya, refleks membuka ponselnya untuk menghubungi seseorang, yaitu anak buahnya yang berada di kamar sebelah.
"Bunuh detektif itu, karena dia sangat tidak berguna. Jangan sampai meninggalkan jejak, apalagi sampai polisi mencium jejak kita. Buat dia seolah-olah kecelakaan. Akan tetapi, tunggu sampai dia kembali membawa pesananku."
"Baik, Bos."
Axel bangkit dari ranjang dan berjalan ke arah balkon kamar hotel untuk menikmati pemandangan hiruk pikuk kota yang meninggalkan kenangan untuknya saat berusia 15 tahun.
Ia sudah mengeluarkan satu batang rokok dan menyalakan korek api. Hisapan dan sesapan yang ia lakukan, semakin lama membuat barang yang mengandung nikotin itu sedikit demi sedikit hampir habis, kemudian membuangnya ke lantai dan menginjak puntung rokok yang masih menyala itu dengan ujung sepatunya.
"Ok, let's start this game." (Oke, permainan akan segera dimulai)"
Axel kembali ke arah ranjang dan mendaratkan tubuhnya di sana setelah sebelumnya mengambil ponsel di saku celananya. "Aku sangat bosan dan ingin bermain-main dengan wanita itu. Bukankah aku tadi belum mengatakan telah memaafkannya?"
Tanpa membuang waktu, Axel sudah menghubungi Zelyn untuk segera datang ke hotel dan langsung mematikan sambungan telepon begitu selesai menyampaikan pesannya, lalu ia meraih pistol kesayangannya yang masih tersimpan di dalam tas.
"Kita akan bermain-main dengan wanita itu, Sayang. Rasanya menyenangkan sekali bisa melihat wajah cantik yang menggairahkan itu mengeluarkan peluh saat sedang ketakutan. Dia tadi terlihat seksi saat berkeringat, karena efek ketakutan. Apalagi jika dia berada di atas ranjang saat bersamaku."
"Wanita itu akan memohon padaku agar menidurinya, seperti wanita-wanita lain pada umumnya. Karena di dunia ini tidak ada yang bisa menolak pesona seorang Axel Alcatraz." Menatap ke arah mesin waktu yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
"Mungkin tiga puluh menit lagi dia akan tiba di sini. Lebih baik aku tidur dulu untuk melemaskan otot-ototku yang kaku sebelum memulai permainan."
Tanpa melepaskan sepatu pantofel hitam mengkilat di kakinya, Axel sudah berbaring telentang di atas ranjang king size tersebut dan memejamkan kedua matanya.
****
Tiga puluh menit kemudian, Zelyn telah tiba di hotel Rayya. Kakinya yang jenjang mulai melangkah ke arah resepsionis yang ada di loby hotel untuk menanyakan berapa nomor kamar tempat pria yang memanggilnya itu menginap.
Dengan tangan yang membawa kotak berukuran cukup besar berisi gaun pengantin yang merupakan hadiah dari sahabat bosnya, Zelyn yang sudah mengetahui nomor kamar Axel, buru-buru melangkah masuk ke dalam lift menuju ke lantai sepuluh.
"Rasanya aku ingin membuang gaun pengantin ini, tetapi aku takut jika nanti tuan Arman menanyakannya. Apalagi jika sampai si berengsek Axel itu tahu aku mendapatkan hadiah dari papanya. Mungkin dia akan berkali-kali menanyakannya untuk memastikan apakah aku membuangnya atau tidak."
Bunyi denting lift yang berbunyi, membuat Zelyn buru-buru melangkah keluar dari lift dan berjalan menuju nomor kamar terbaik yang dihuni oleh Axel. Manik bening miliknya sudah menatap satu persatu pintu kamar di depannya dan beberapa saat kemudian, ia sudah menemukan kamar Axel.
Dengan sangat gugup, ia berdiri mematung di depan pintu. "Apa aku sudah gila? Kenapa aku dengan bodohnya datang ke kamar hotel seorang pria? Bukankah aku sudah seperti seorang wanita penghibur? Astaga, aku benar-benar gila. Lebih baik aku segera pergi dari sini."
Zelyn berkali-kali menepuk jidatnya saat berjalan meninggalkan kamar presidential suite room tersebut. Namun, baru lima langkah berjalan, suara bariton tegas dari seseorang, membuat ia terdiam seperti patung.
"Aku akan membatalkan kerja sama ini jika kamu berani berjalan satu langkah saja!"
TBC ...