webnovel

Mati Rasa

DOR!

Lentera sampai harus membekap mulutnya sendiri agar tak ada lolongan yang lolos. Kakinya diseretnya paksa ke belakang, tapi pada akhirnya ia ambruk tak kuasa menahan sakit di kisaran pahanya.

Sakit yang mengerikan.

Lentera tidak pernah merasakan sakit yang luar biasa mengancam seperti ini. Dress pendeknya dibobol oleh cairan merah yang mengucur dari pahanya.

Itu darah.

"Sayang nyawa kamu harus diambil saya, Lentera."

Mungkin saja kata-kata terakhir itu yang bisa ia dengarkan.

Karena selanjutnya, tembakan kedua sudah dilancarkan kepadanya. Entah mengenainya atau tidak, Lentera meringkuk melindungi bagian tubuh pentingnya. Setidaknya, itu usaha terakhirnya.

Namun, tak ada rasa sakit kedua yang ia rasakan. Yang ada hanyalah kehangatan yang melingkupi kedua bahu dan kepalanya. Serta juga ringisan berat yang didengar di telinga runcing Lentera. "Sshh … jangan bergerak. Tetap di sini."

Begitu berbalik, baku tembak tidak terhindarkan lagi. Ia tidak tahu yang terjadi selanjutnya, sekelilingnya hanya terasa begitu berputar dan ia pusing. Padu bunyi drastis itu merongrong indra pendengarannya. Mengetuk berkali-kali gendang telinga Lentera.

Tidak tahan lagi, kedua tangannya menutup telinganya sendiri. Bibirnya tak tahan untuk tak berteriak lagi. "CUKUP! CUKUP, DEVAN! BERISIK!"

Tapi pria itu tidak mendengarkan. Desing-desing berbahaya itu terus diluncurkannya bagai roket ke angkasa. Semuanya dilakukan tanpa beban. Kian lama kian menghilang, sampai tembakan terakhir menumbangkan Pramaya.

BRUK!

Di balik tubuh Devan, Lentera mengintip.

Pramaya mengenaskan. Tubuhnya diselimuti darah. Bersimbah hal merah serupa dengannya, tapi tak hanya dari satu tempat. Beragam, yang pasti membuatnya kehabisan darah dengan cepat.

"Jangan lihat," kata Devan pelan. Ia berbalik lagi, dengan wajah Lentera yang dihadapkan padanya. Jari Devan menjentik di depan Lentera. "Lentera, kamu bisa mendengarkan saya?"

Tidak ada suara selain embusan napas abstraknya. Pandangannya kosong tanpa makna. Lentera membeku, layaknya patung manekin.

"Lentera," panggil Devan sekali lagi, suaranya dikeraskan dengan guncangan singkat di bahu Lentera. "Lentera Kanaya!"

Ini tidak baik. Tujuan Devan membawa Lentera ke sini bukan untuk membuatnya shock begini. Lengan Lentera dirangkulkan Devan ke bahunya. Hati-hati membopong Lentera untuk berdiri.

Ringisan Devan keluar kedua kalinya tanpa bisa ditahan. Tapi ia urung menurunkan Lentera. Tangannya masih menuntun Lentera berdiri sampai tiba di kala … Lentera menolak rangkulan itu.

"Hei," protes Devan, sekaligus merintih sakit. "Jangan seperti ini sekarang. Ayo pulang, kamu harus diobati."

"Begitu juga pundak kamu." Walaupun reaksi Lentera masih kosong, lebih dingin dari awal, ia menarik Devan hingga menubruk lagi ia yang terduduk di tanah kosong. "Tunggu dulu."

"Kamu masih shock, Len." Devan hendak menepis tangan Lentera, tapi kembali Lentera memaksanya diam di tempat. "Lentera, jangan keras kepala. Ini bukan luka serius, kamu yang harus diobati."

Lentera menolak mendengar suara apa pun sekarang. Biar pun sebagaimana ia membenci Devan, Devan tetaplah tanggung jawabnya sejak ia setuju ikut ke sini.

Ucapan-ucapan aneh itu keluar bersamaan dengan erangan bebas Devan. Pria itu sama sekali tidak tahu apa yang terjadi di belakang sana. Menoleh saja tidak bisa. Pundaknya terasa terbakar, sangat panas layaknya sedang dipanggang bara api yang menjilat.

Beberapa saat setelahnya, klontangan besi terdengar di belakang sana. Beriringan dengan ambruknya Devan ke pundak Lentera, begitu juga Lentera yang langsung memejamkan mata di pundak satunya Devan.

Keduanya kelelahan. Embusan napas mereka mengejar satu sama lain. Peluh bercampur menjadi satu di terik matahari panas.

"Luka kamu …, Len?" tanya Devan terengah. "Kamu harus mengobati luka kamu dulu daripada saya."

"Devan." Lentera nyaris terkekeh miris. Mata berkacanya sudah terpejam sempurna kala air mata merembes dari pelupuknya. "Ada satu hal yang belum saya beritahu ke kamu. Saya tidak bisa mengobati diri saya sendiri."

Kepalanya semakin berputar. Pusing menghantamnya bertubi-tubi. Entah karena ia menghabiskan tenaga untuk menyelamatkan Devan, atau sebaliknya darahnya yang mengucur tidak berhenti ini yang menjadi faktor utamanya.

Yang jelas, nyeri ini tidak tertahankan lagi. Anehnya, semakin berjalannya waktu, tubuhnya terasa semakin ringan dan melayang. "Ya …, setidaknya saya memenuhi janji saya untuk berada di sisi kamu sewaktu kamu membutuhkan saya."

Setelah ucapan itu, Lentera mati rasa.

***

Untuk bernapas pun rasanya sulit. Terlalu sulit. Dadanya dihimpit beban terlalu banyak. Memori-memori tentang jalanan panas, aspal keras, juga darah kembali lagi ke kepalanya.

Reaksi tubuhnya tak bisa berbohong. Langsung berjengkit panik selagi menarik masker oksigennya ke atas. Sesak, itu yang dirasakannya. Semua ingatan itu membuat perutnya bergejolak. Adrenalinnya baru berdesir kuat sekarang.

Kedua tangan pucatnya dipandanginya sekali lagi. Kenapa ia masih hidup setelah melewati begitu banyak kengerian kemarin? Sungguh keajaiban.

"Kamu nggak sebaiknya bangun sekarang." Devan mengusap mata lelah kemerahannya singkat. Mendekat lagi ke Lentera sembari mendesak Lentera memakai masker oksigen itu. "Tidur, kamu butuh istirahat."

Plak!

"Minggir," sentak Lentera serak. "Jangan sentuh saya."

Di saat Devan tak mau menanggapi, maka di situ pula diamnya mereka tercipta lagi.

Entah apa yang ada di pikiran pria itu, Lentera tidak mau tahu. Membuatnya mual dan muak saja di sini. Semua kejadian itu tidak akan pernah menghilang dari kepalanya. Tidak akan. Bagaimana cairan kental itu keluar dari tubuh manusia, bagaimana orang tergeletak di jalan tak bernyawa lagi.

"Jangan takut pada saya." Devan berbicara selang beberapa detik diam. Kemudian, ia tersenyum tipis lagi dengan bibir pucatnya. "Saya ingin memberikan kamu waktu sendiri, tapi sepertinya saya tidak bisa."

Tangannya menunjuk infus yang tertancap di tangannya, juga lengan Lentera sendiri. "Kamu kekurangan darah, lumayan banyak. Karena tidak ada waktu mencari dan golongan darah kita sama, saya yang mentransfusikan darah ke kamu."

"Seharusnya kamu juga tidak bangun sekarang," lanjut Devan pelan. Intens kelamnya itu menembus retina bercahaya Lentera. "Saya mengira beberapa hari lagi kamu akan bangun, seperti biasa."

Tangan lemas Lentera diangkat untuk mencabut selang transfusi itu. Ia kesal bukan kepalang. Bisa-bisanya Devan tanpa beban dan tanpa rasa bersalah masih di sini, tertidur, juga menjelaskan tanpa perbuatan apa pun?

"Jangan," balas Devan datar. Tangan usil Lentera disingkirkan kilat. "Biar saya panggil Nanda dulu kalau memang kamu memaksa. Tunggu dulu."

"Saya bilang jangan sentuh saya!" Lentera berseru, walaupun suara yang terdengar adalah sayup-sayup angin. "Pergi. Cepat pergi."

"Tunggu dulu-"

"Pergi!" racau Lentera berteriak histeris. Persetan dengan tenggorokannya yang pedas dan panas. Terluka pun tidak masalah selagi bisa mengusir Devan dari gangguan pandangannya. "Saya membenci orang berdarah dingin seperti kamu. Kamu tidak punya hati. Kamu jahat."

Ucapan bertubi-tubi Lentera tak meluluhkan Devan untuk pergi. Sehabis menelepon Nanda, Devan menjajakkan bokongnya di sisi kasur Lentera.

Tangannya menepuk lembut kepala Lentera. "Nggak apa-apa. Benci saya sesuka kamu. Setidaknya saya sangat bersyukur kamu selamat."