webnovel

Manusia Seutuhnya

"Dev, mau dengar pengakuan saya, nggak?" tanya Lentera diselingi menengguk air putihnya usai menandaskan makanan berharga itu. Diusapnya tisu putihnya pada bibir yang mengkilap karena kadar minyaknya, turut juga menarik tisu untuk digunakan Devan.

"Asal jangan pernyataan cinta. Saya nggak siap untuk itu," katanya menanggapi santai. Tapi dirinya yakin Lentera tak pernah memikirkan itu. Terbukti dengan kepalan tangannya yang siap melayang, namun ditahannya. "Bercanda, Len. Tapi terima kasih atas tisunya."

"Justru kalau nggak bercanda ini beneran melayang, tahu?" ancamnya bengis. Lalu, menurunkan lagi tangannya yang melayang. "Selera kamu tentang makanan selalu begini, ya?"

"Maksud kamu?" Alis Devan nyaris menyatu karenanya. Agak-agak tersinggung akan perkataan Lentera. "Nggak suka?"

"Nggak," aku Lentera tanpa basa-basi lebih panjang. "Berminyak, Dev. Bukan takut gendut, tapi kalau kebanyakan kan nggak bagus juga. Coba lap tisunya ke bibir kamu, kuning semua jadinya."

"Itu yang kamu permasalahin?"

"Bukan itu aja," timpal Lentera belum selesai. "Makanannya bukan selera saya. Kurang rasa, walaupun memang dari restoran yang saya tahu sendiri nggak murah. Maksud saya, kalau memang kamu setiap kali nggak ada yang masakin, lebih baik saya aja yang masak."

"Itu dikasih, Len." Devan mendesah gusar, walaupun ia tahu Lentera mengatakan yang sejujurnya. "Bukan beli. Dan yang punya restoran ini itu teman saya."

"Tapi kamu nggak bisa menampik apa yang saya bilang itu benar, kan?"

Lagi-lagi Devan menghela napas yang cukup serius. Sebenarnya ia juga tidak satu selera dengan makanan ini. Tapi pemberian tidak boleh ditolak dengan cara yang kejam, bukan? Alhasil Devan sering menerimanya, terpaksa. "Benar."

Lentera mengangkat sunggingan simbol kemenangannya. Sejumput rambutnya diselipkan ke belakang telinga tanpa maksud mencuri perhatian Devan, tapi buktinya sudah. Devan terpancing akan gerak-gerik, juga pertanyaan lanjutannya.

"Teman dekat kamu dan Nanda, ya?" tanya Lentera sembari menikmati tiupan angin ringan yang melambaikan rambutnya. Udara segar menelungsup ke dalam rongga hidungnya, menyenangkan. "Setahu saya pemiliknya perempuan, kan?"

"Memang. Memang perempuan." Devan menjuruskan tatapannya lagi pada awan yang bergerak lambat. Tapi pergerakannya selalu ada kemajuan dari titik awalnya. "Ya, lumayan dekat dengan kami. Tapi sama, jangan terlalu dekat dengan orang selain saya. Jangan menceritakan hal yang kita berdua ketahui. Biarkan tetap menjadi rahasia pribadi."

"Itu juga yang mau saya tanyakan." Lentera beralih berhadapan lagi dengan Devan. Rasa penasarannya sudah memuncak di awal, tapi kian meningkat setiap waktunya. Lentera sendiri khawatir tak akan terbendung nantinya. "Kenapa?"

"Pokoknya jangan saja. Peringatan itu sudah lebih dari cukup."

"Dia teman kamu, Dev."

"Orang itu juga kakak saya tapi mau membunuh saya, Len." Devan tergesa membersihkan tumpukan kotak makan dengan paperbag kosongnya. Kata-katanya terasa dingin, sekaligus mematikan. Pertanda bahwa Devan malas melanjutkannya. "Saya balik ke basement dulu. Nanti saya minta Nanda ke sini bantu kamu."

"Dev," bujuk Lentera pelan. "I'm sorry. Saya hanya mau tahu alasannya."

"Nggak ada alasan kalau kamu nggak mau percaya sama saya, Len." Devan dengan mudahnya beranjak pergi. Senyumnya tergaris miring walau Lentera tak bisa melihatnya. "Kalau kamu memaksa, apa pun yang terjadi sama kamu, saya tidak akan bertanggung jawab."

Tapi, kalimat terakhirnya mampu menjawab pertanyaan Lentera. Di ambang pintu, dengan tatapan yang tajam. "Manusia bisa sebegitu rakusnya, Len. Yang kamu lihat selalu belum apa-apa saat 'mereka' menjadi manusia seutuhnya. Saat rasa sayang berubah jadi tamak. Kamu pernah dan masih merasakannya. Kamu tahu itu."

Tapi bukannya Lentera berada di sini juga karena ketamakan Devan? Gaun selututnya itu diremat merasakan pedih. "Semua orang menginginkan hal yang sama dari saya, Dev."

"Kalau kamu memang berpendapat seperti itu, kenapa kamu nggak berminat kembali ke ayah kamu saja?"

Tapi, Lentera tidak bisa mendapatkan jawaban yang tepat untuk menampik Devan.

Entahlah, kenapa?

Keduanya sama beresikonya, keduanya memiliki hasil akhir yang sama. Tapi ia lebih menjatuhkan pilihannya pada orang asing ketimbang ayah yang sudah bersamanya dari kecil.

Bersama, bukan merawatnya. "Kalau saya nggak dipecat, saya juga nggak mau di sini, Dev. Saya bilang saya sudah nggak ada pilihan lain, kan?"

Berganti Lentera yang bangkit tertatih. Melewati postur menjulang tinggi Devan yang tercenung di ambang pintu. "Ibu saya yang ngajarin saya pertahanan diri. Membidik, menembak, sedikit bela diri yang berguna untuk kabur. Dari siapa? Dari ayah saya sendiri."

Lentera menjeda sejenak. Tadinya sakit di kakinya adalah segalanya. Sekarang, denyut mengerikan itu tak lebih dari sebuah luka yang tidak terasa. Hatinya lebih sakit dari yang diduganya. "Kalau-kalau ayah berbuat jahat, ibu menyarankan saya memakai kekerasan fisik, karena bisa sembuh. Ketimbang luka dalam."

"Kalau kamu bilang tamak, semua orang juga punya sifat itu. Siapa yang nggak? Belum tentu juga kamu lebih mulia dari orang yang kamu ragukan, kan?"

Dengan segenap hatinya, Lentera menyeret sebelah kakinya menuruni Devan. Mengabaikan ratapan tak jelas dari pria itu yang terpancang kepadanya. Alih-alih mendapatkan simpati, yang dia dapatkan adalah singgungan.

Tapi Lentera juga tidak bisa senang setelah memenangkan perdebatannya. Karena mereka berdua tak lebih dari dua orang yang bernasib sama.

***

Sisa-sisa hari selanjutnya, dijalani Lentera tanpa kehadiran Devan. Kebiasaan, pria itu selalu lenyap tanpa kabar, lalu datang menghampirinya untuk berbicara atau menemaninya dalam diam. Entah apa tujuannya.

Tapi mungkin setelah kata-kata menusuk begitu, siapa yang sudi memaafkannya? Melihat wajahnya saja mungkin sudah muak, apalagi mendengar suara Lentera?

"Len? Lentera?"

"Ya?" Lentera mengedip cepat spontan, merasakan guncangan di bahunya cukup membuatnya menapak lagi ke bumi. "Maaf. Bisa diulangi?"

"Kaki kamu lebih cepat membaik dari yang seharusnya," kata Nanda sabar, mengulangi satu per satu penjelasannya dengan telaten, kemudian menambah informasi baru untuk Lentera. "Devan ada menyampaikan pesan kepada kamu."

"Nggak biasanya dia sampaiin melalui kamu, Nan," ucap Lentera tanpa sadar. Namun, ia juga tidak meralat kala mendapati Nanda menyetujui perkataannya.

Kasur Lentera bergerak damai. Tempat sebelahnya ditempati Nanda, layaknya yang biasa Devan lakukan. "Kamu lagi ada masalah, ya, sama Devan? Dia juga menghindar saat ditanya ini."

Ia bahkan tidak tahu apakah ia harus mengungkap masalah ini atau tidak. Devan memilih bungkam, sedangkan dirinya diambang dilema.

Percayalah, Lentera butuh orang untuk mencurahkan gundah hatinya. Tentang saran, tentang pendengar ..., tentang yang harus dilakukan selanjutnya. "Nan ... kamu bisa jaga rahasia nggak?"

"Saya cuman punya tiga teman, dan kamu termasuk orang ketiga, Len. Tentu saya bisa menjaga rahasia," tanggap Nanda menenangkan. "Kenapa sama Devan? Kali aja saya bisa bantu, Len."

"Itu ...." Lentera mendesah pelan. "Kemarin saya dan Devan makan bersama. Lalu, saya mengomentari tentang makanan yang biasa dia bawa. Setelah itu percakapan merembet ke-"

"Dia jawab apa?"

Suara itu bukan berasal dari sebelahnya. Jauh di belakang sana, daun pintu memunculkan sosoknya.

Seperti biasa. Devan.